DANA DESA DAN HANTU KEKUASAAN

Oleh : Yahya Ansori

Dana Desa adalah instrumen paling keren dalam sejarah pembangunan desa berdasar Undang Undang nomor 6 tahun 2014. Pemerintah Desa berdasar asas subsidiaritas diberikan subsidi dana dengan besaran milyaran rupiah untuk membangun secara mandiri berdasar asas kemandirian desa. Selain Dana Desa, pemerintah desa juga diberikan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Bantuan Provinsi (Banprov). Dan atas hak asal usul dalam UU nomor 6 tahun 2014 desa juga bisa mendapatkan Pendapatan Asli Desa (PAD) dengan mengelola secara mandiri tanah bengkok, titisara dan pangonan.

Penulis ingin melakukan telaah sejauh mana kemandirian desa di Indramayu berhadapan dengan kekuasaan pemerintah daerah kabupaten Indramayu. Tata kelola politik pemerintah daerah berpengaruh terhadap tata kelola pemerintahan desa. Sudah kita maklumi setiap pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif, praktek politik uang selalu mewarnai hajat 5 tahunan tersebut, begitupun praktek dalam pemilihan kuwu, syarat praktek politik uang. Siapa dengan anggaran terbesar biasanya menang dalam pemilihan tersebut.

Pasal 3 huruf h Undang Undang desa disebutkan pengaturan desa berdasarkan demokrasi kemudian dilanjut huruf i kemandirian. Atas asas demokrasi dan kemandirian itu seringkali ditemukan semacam “geseran” atas posisi yang harus diputuskan oleh kuwu kuwu di Indramayu. Tekanan atas keputusan kuwu sangat terasa di masa awal dicaikannya dana desa 2015, 2016, 2017. Dan keputusan transfer langsung dana desa ke rekening pemerintah desa tanpa melalui kas daerah sangat melegakan kepala desa atau kuwu kuwu di Indramayu. Sudah mulai berkurang kuitansi yang harus ditanda tangani kuwu agar dimasukkan ke pengeluaran penggunaan dana desa oleh oknum birokrasi pemerintah daerah. 

Semakin mandiri pemerintah desa mengelola keuangannya semakin baik bagi kemandirian pemerintah desa. Mudah-mudahan di kemudian hari tidak ada tekanan dari pemerintah daerah untuk memenangkan calon kepala daerah terutama dari partai penguasa, sehingga tidak menguras keuangan pemerintah desa, yang salah satu pos nya adalah dana desa tadi.

Faktor yang membuat banyak kuwu terjerat ketergantuangan kekuasaan politik dinasti juga salah satunya adalah instrumen penegakan hukum. 

Proses politik yang sarat uang biasanya menyisakan hutang yang harus dibayar, dan iming-iming bahwa semuanya akan dibackup oleh mereka yang sedang berkuasa, membuat kuwu menyandarkan segalanya kepada “penguasa”. Bak gayung bersambut beragam praktek saling ketergantungan itu akhirnya mereduksi asas kemandirian dalam pasal 3 Undang undang desa nomor 6 tahun 2014 tersebut. 

Jerat ketakutan atas kekuasaan itu seringkali membuat langkah kuwu terseok. Beragam cara agar ketergantungan itu dipangkas, diantaranya dengan pengajuan secara online lewat SISKUDES, memang ada peran verifikasi namun semoga saja ini dikemudian hari tidak menjadi instrumen untuk menghadang kuwu dipersimpangan jalan.

Kini sudah mulai renggang ikatan  pemerintah desa bisa dikondisikan secara politik. Ini adalah sebuah kondisi yang menggembirakan, sesuai pasal 4 d Undang Undang desa mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. 

Semakin mandiri desa semakin baik, semakin menjadi subordinasi berarti semakin buruk masa depan masyarakat desa. Desa adalah masa depan kita. Mari kita lawan segala upaya menjadikan pemerintahan desa sebagai alat kekuasaan pemerintah daerah karena itu bertentangan dengan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Terakhir sebuah sajak Iwan Fals dalam sebuah lagu berjudul Desa, Desa harus diutamakan.... untuk apa punya pemerintahan kalau hidup terus terusan susah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel