Syech Abdul Manan bin Asnawi Paoman Indramayu (1)

Syekh Abdul Manan bin Asnawi bin Ki Baludin bin Pangeran Surya Negara Cirebon adalah seorang ulama dari kelurahan Paoman Indramayu. Beliau adalah ulama dan sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. 

Banyak dimensi kehidupan dari tokoh kelahiran Paoman tersebut yang dapat dipelajari untuk diambil nilai-nilainya. Mulai dari keintelektualannya sampai garis perjuangannya untuk masyarakat Indramayu. 

Untuk mengabadikan namanya, pemerintah Kabupaten Indramayu menjadikan nama Syekh Abdul Manan menjadi nama Masjid di Islamic Center Indramayu.




Keberadaan Syekh Abdul Manan dapat ditelusuri dari keberadaan situs-situs yang terkait padanya. Rumah, makam, dan karya-karyanya yang berada dan ditemukan di Kelurahan Paoman merupakan beberapa hal yang menunjukan keberadaannya. 
Paoman sendiri adalah salah satu kelurahan yang terletak di kecamatan Indramayu, Indramayu, Jawa Barat, Indonesia,

Situs pertama yang dapat digunakan untuk menelusuri jejak Syekh Abdul Manan adalah sebuah rumah yang terletak di Kelurahan Paoman. 
Rumah tersebut selain digunakan sebagai tempat tinggal juga digunakan sebagai tempat mengajar. Otentisitas dari rumah tersebut dapat dirujuk dari pernyataan salah satu keturunan Syekh Abdul Manan sendiri, yaitu Apiah, yang selama ini menempati rumah tersebut. 

Menurut Apiah, rumah yang dulu ditinggali Syekh Abdul Manan hingga kini struktur bangunannya tidak ada yang diubah. Dia mengaku hanya mengubah bagian belakang rumahnya saja. “Rumah ini umurnya sudah ratusan tahun. Kayu-kayu di rumah ini masih asli seperti dulu. Syekh Abdul Manan itu bapak dari buyut saya,” terang Apiah (Pikiran Rakyat, 2018).

Selain keberadaan rumah sebagai tempat tinggal dan tempat mengajar, jejak Syekh Abdul Manan dapat dilihat dari karya-karyanya yang ditemukan di musala dan beberapa tempat yang tidak jauh letaknya dari rumah tersebut. 

Karya-karya yang ditemukan berupa tujuh buah naskah yang ditulis menggunakan tulisan arab pegon atau arab gundul berbahasa Jawa Dermayu. 
Menurut Penasihat Sanggar Aksara Jawa Ki Tarka Sutarahardja, berdasarkan kajian sementara dari tim, naskah tersebut sangat erat kaitannya dengan perkembangan Thariqah Qadariyah wa Naqsabandiyah. 

“Syekh Abdul Manan merupakan murid Syekh Tolhah Bin Talabudin asal Cirebon," tuturnya

Adapun makam Syekh Abdul Manan terletak di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kelurahan Paoman, tepatnya di belakang SD Paoman Kecamatan Indramayu. 
Posisi makamnya cukup mudah untuk ditelusuri karena beratap genteng dengan warna dinding yang mengitarinya cukup mencolok, biru.

Seorang Mursyid Tarekat

Salah satu dimensi kehidupan Syekh Abdul Manan yang akan dibahas pada tulisan ini adalah dimensi kehidupannya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah (TQN). 
Hal ini dilandasi pada kegunaan praktis tarekat. 

Menurut Bruinessen, pembahasan hubungan seseorang dengan tarekat menjadi penting karena tarekat memiliki kegunaan praktis: sebagai sumber kekuatan spiritual sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja (Bruinessen, 1995, hlm. 197).



Keberadaan awal tarekat di Pulau Jawa dapat ditelusuri jauh hingga abad ke-19. 
Ada tiga tarekat yang berperan besar dalam mengorganisasikan gerakan keagamaan di Pulau Jawa, yaitu Syatariah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah. 

Ketiga aliran sufi ini muncul sebagai penentu gerakan kebangkitan Islam di daerah-daerah tertentu di Pulau Jawa (Kartodirjo, 1984, hlm. 227). 

Tarekat Syatariah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Syattar di India mulai menyebar ke Aceh dibawa oleh Abdurrauf Sinkel pada abad ke-17, kemudian di Jawa disiarkan oleh muridnya bernama Syekh Abdul Muhyi di wilayah Priangan, tepatnya di daerah Pamijahan, Tasikmalaya. Hingga kini makam Syek Muhyi banyak diziarahi orang, meski Pemijahan sekarang merupakan salah satu pusat Tarekat Qadiriyah di Priangan Timur (Sunarjo, 1985, hlm. 9).

Tarekat Qadiriyah adalah tarekat tertua yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Tarekat ini dikembangkan di Indonesia secara intensif oleh Syekh Hamzah Fansuri di Aceh pada abad ke-17. Demikian pula penyebaran tarekat ini di Jawa telah berlangsung sejak abad tersebut, sebab Fansuri pada masa hayatnya sempat mengunjungi beberapa tempat di Jawa dalam lawatan keagamaan (Kartodirjo, 1984, hlm. 212).

Pengaruh Tarekat Qadiriyah kemudian mengalami penurunan sejak pertengahan abad ke-19 dengan munculnya tarekat baru yang bernama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). TQN adalah tarekat yang menggabungkan antara ajaran Qadiriyah dan ajaran Naqsyabandiyah. 
Tarekat Naqsyabandiyah sendiri adalah tarekat yang didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin an-Naqsyabandi. 

Tarekat Naqsyabandiyah sendiri masuk ke Indonesia melalui para pelajar yang menuntut ilmu di Mekah. Orang pertama yang dilantik menjadi khalifah Naqsyabandiyah pertama untuk wilayah Nusantara adalah seorang ulama Minangkabau yang pernah lama belajar di kota suci, yaitu Syekh Sulaeman Effendi pada tahun 1840.

Lanjutan tulisan klik DISINI

Penulis : Roni Tobroni

Sumber : Buku Jejak Ulama Nahdlatul Ulama Kab. Indramayu


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel