Banjir Rob Semarang, Early Warning System dan Penurunan Tanah
SEMARANG; Pengamatan lapangan pada hari ketiga setelah terjadinya tanggul penahan air laut jebol akibat tidak mampu menahan air yang cukup besar, menunjukkan bahwa genangan banjir masih terlihat di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Kota Semarang.
Beberapa faktor berkontribusi pada terjadinya banjir besar tersebut, dan fokus pada tanggul jebol sebagai penyebab banjir dapat membuat kita lengah dalam penanganan bencana ke depan. Setidaknya ada empat faktor yang terkait dengan besarnya dampak banjir rob yang terjadi di Semarang yaitu: 1) early warning system yang tidak optimal, 2) kualitas kontruksi dan pemeliharaan tanggul, 3) penurunan tanah, dan 4) hal yang terkait dengan air laut baik ketinggian air laut, kecepatan gelombang dan lainnya. Faktor keempat merupakan kompetensi dan kewenangan dari badan-badan terkait.
Pertama, sistem peringatan dini sudah ada dan berjalan. BMKG terus melakukan
prediksi cuaca dan membuat peringatan. Pertanyaannya adalah apakah sosialisasinya
berjalan efektif, semua pihak yang potensial terkena dampak sudah memperoleh
informasi? Kalau semua pihak sudah memperoleh, apakah mereka mengabaikan
peringatan tersebut atau ada hal lain yang terjadi. Video yang beredar sesaat
setelah tanggul jebol yang menggambarkan para pekerja berlarian dari tempat
kerja mereka dan banyak yang menuntun sepeda motor yang terendam total air laut
menunjukkan peringatan tersebut tidak berjalan optimal.
Di
beberapa negara, sistem peringatan dini yang dipatuhi dengan baik membawa
manfaat besar. Saat penduduk yang potensial terkena dampak mendapat peringatan,
mereka bekerja dari rumah untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Kedua, faktor tanggul yang terkait dengan kualitas material dan metode yang
digunakan saat konstruksi. Dengan kata lain, pada saat dibuat tanggul didesain
untuk mampu menahan gelombang laut setinggi apa, kecepatan berapa dan hal-hal
teknis lainnya. Informasi tersebut sangat penting diikutsertakan dalam setiap
pengambilan keputusan. Hal ini juga terkait dengan pemeliharaan tanggul yang
harus sesuai dengan desain dan konstruksi awal dan perubahan lingkungan yang
terjadi. Apakah dilakukan pemeliharaan berkala yang sesuai atau tidak. Biasanya
kerusakan besar pasti sudah memiliki indikasi berupa kerusakan-kerusakan kecil
terlebih dahulu.
Ketiga, penurunan tanah adalah fenomena yang terjadi di berbagai kota pesisir di
dunia. Salah satu hasil penelitian terbaru tahun 2022 dari Pei-Chin Wu, Meng
(Matt) Wei, dan Steven D’Hondt dengan judul “Subsidence in coastal cities throughout
the world observed by InSAR” menyimpulkan bahwa Semarang adalah kota dengan
laju penurunan tanah tercepat kedua diantara 99 kota tepi pantai yang diteliti.
Urutannya adalah Tianjin, Semarang dan Jakarta dengan laju maksimal 30 mm per
tahun LOS. Data yang digunakan penelitian ini adalah PS Interferometric
Synthetic Aperture Radar method and Sentinel-1.[1]
Penurunan
tanah menjadi faktor penting saat banjir terjadi (baik banjir akibat limpasan air
laut (rob) maupun banjir akibat air hujan). Tanah yang sudah turun meningkatkan
daya tampung air di daratan sehingga membuat genangan menjadi makin dalam dan
makin sulit dialirkan ke laut. Pada saat air pasang kondisi menjadi lebih parah
karena air akan menggenang lebih lama di darat dan sukar dialirkan ke laut.
Penurunan tanah adalah turunnya permukaan tanah sebagai respon terhadap peristiwa geologi atau penyebab yang terkait aktivitas manusia. Untuk Semarang, beberapa hal yang terkait dengan penurunan tanah adalah ekstraksi air tanah berlebihan, pembebanan bangunan dan struktur, dan kompaksi/konsolidasi sedimen aluvial muda terutama di kawasan Semarang bawah. Peristiwa tektonik di bawah Semarang juga dapat menyebabkan penurunan tanah.
Nila Ardhianie
Direktur Amrta Institute for water literacy, mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro.