MENG”AGAMAKAN” KEBATILAN

Ada sebuah pesan menarik dari kang Jaenudin sang orator dari Trisi bahwa politisi ulung adalah mereka yang mampu meyakinkan banyak orang bahwa batu itu adalah roti. Dengan narasi berulang-ulang maka publik akan meyakini itu adalah roti bukan lagi batu seperti aslinya. 

Atas pendapat beliau saya harus buka kembali bukunya Michael Foucault Madness and Civilization A History of Insanity in the Age of Reason (Kegilaan dan Ketidakbernalaran: Sejarah pada Masa Klasik). Rangkaian tanda dan tindakan dari penguasa Indramayu sedang mengubah “penampakan” perilaku koruptif mereka menjadi perilaku yang sangat agamis. Sedang dibangun stigma bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang paling benar menurut Tuhan Yang Maha Kuasa dan yang menentangnya adalah penganut setan yang durjana. Narasi dan gagasan itu akan terus diulang ulang sampai publik percaya bahwa “sebongkah batu itu adalah roti”.



Mari kita cermati rangkaian peristiwa di Indramayu ini dengan teori kitis dari Mazhab Frankfurt yang memiliki maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi. Seperti yang kita tahu bahwa sejak awal regim yang sudah berkuasa 20 tahun di Indramayu ini mengaku sangat religius, sehingga sangat wajar jika langkah langkah politik mereka adalah membungkus perilaku negatif mereka dengan agama agar publik percaya. Ikhtiar pembodohan ini akan semakin lengkap seperti kata Ibnu Rusyd “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama”.

Ibnu Rusyid, salah satu cendikiawan terjenius dalam sejarah Islam, memperingatkan umat islam akan bahaya “alih fungsi agama”.Ibnu Rusyid memperingatkan akan datangnya satu masa ketika Islam akan diselewengkan justru dijadikan “alat” untuk membenarkan yang batil. Jangan aneh dikemudian hari ada konsolidasi camat dan tokoh politik dengan tema kegiatan “tahajud berjamaah di masjid agung”. Pola pola seperti ini mengingatkan kita pada pola pilkada DKI di mana masjid Istiqlal dan masjid Sunda Kelapa menjadi sentral gerakan 212 untuk mengalahkan Ahok dengan isu agama. Dengan memainkan jurus ini maka peluang petahana memenangkan pertarungan akan sangat besar seperti visi pertama mereka dalam jargon Remaja yaitu religius. Agama adalah tonggak paling utama dalam ikhtirar pemenangan mereka.

Kita harus memulai gerakan edukasi warga nahdliyyin dan masyarakat Indramayu pada umumnya akan bahaya menggunakan agama demi kepentingan kekuasaan ini. Kita harus isi ruang publik dengan diskusi yang mencerdaskan tentang agama dan politik. Seperti kata Jurgen Habermas ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Mari terus kita ramaikan wacana wacana kritis mengenai gagasan “perubahan Indramayu” di ruang publik.

Selain mencermati pola langkah langkah memainkan agama sebagai bungkus kekuasaan, kita juga layak berhati-hati, mereka juga akan mengambil langkah langkah kritis dengan meng-capture statement, kemudian memotongnya sekehendak mereka sehingga didapat sudut yang sangat negatif. Dan akhirnya dengan isu agama mereka akan memainkannya secara beramai ramai seperti pada kasus Ahok. Emosi kita akan di aduk-aduk dan ditengah kebingungan orang orang bodoh muncullah sebuah stigma bahwa yang paling benar adalah mereka yang paling beragama. Orang yang paling beragama itu adalah “Sang Pemimpin atau Penguasa”, semoga kita tidak terjerembab pada lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Gabuswetan. 17 Februari 2020

Penulis : Yahya Ansori


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel