Menurut Bennett dan Segerberg (2013), penggunaan data pribadi untuk menciptakan pesan yang sangat personal dan emosional dapat melanggar hak privasi individu. Data pribadi yang dikumpulkan dari platform media sosial atau survei dapat digunakan untuk merancang pesan-pesan yang sangat spesifik yang mengeksploitasi perasaan pemilih tanpa sepengetahuan mereka. Hal ini menimbulkan masalah besar terkait dengan perlindungan privasi. Pemilih mungkin tidak menyadari bagaimana data mereka digunakan atau bagaimana pesan politik yang mereka terima telah disesuaikan untuk mempengaruhi emosi mereka. Manipulasi semacam ini berisiko merusak integritas pemilu dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem politik. Oleh karena itu, penting untuk memikirkan regulasi yang lebih ketat terkait dengan penggunaan data pribadi dalam kampanye politik, untuk melindungi hak privasi pemilih dan memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan cara yang adil dan bertanggung jawab.
Selain itu, penggunaan algoritma rasa dalam politik berisiko menciptakan polarisasi sosial yang lebih dalam. Dalam dunia yang semakin terpecah oleh perbedaan politik dan ideologi, pesan yang dirancang untuk memanfaatkan perasaan negatif seperti ketakutan dan kemarahan dapat memperburuk ketegangan yang ada. Politisi atau tim kampanye yang memanfaatkan emosi-emosi ini dapat menyebabkan masyarakat merasa lebih terpisah, alih-alih memperkuat rasa persatuan dan kebersamaan. Seperti yang dijelaskan oleh Marcus et al. (2000), emosi yang kuat seperti ketakutan dan kemarahan sering kali mempengaruhi pengambilan keputusan lebih banyak daripada logika atau alasan. Ketika pesan politik memanfaatkan emosi negatif tersebut, hasilnya bisa menciptakan perpecahan yang lebih besar di antara kelompok masyarakat. Misalnya, kampanye yang menyoroti ancaman dari kelompok tertentu atau menggunakan isu-isu sensitif untuk membangkitkan rasa takut dapat memperburuk polarisasi politik dan memperkuat stereotip atau prasangka yang ada.
Untuk mengatasi tantangan ini, regulasi yang ketat dan transparansi dalam penggunaan data menjadi sangat penting. Agar algoritma rasa digunakan secara etis, harus ada batasan yang jelas mengenai jenis data yang boleh dikumpulkan, serta bagaimana data tersebut digunakan dalam konteks kampanye politik. Kandidat dan tim kampanye perlu memastikan bahwa mereka hanya menggunakan data yang diperoleh secara sah dan dengan izin pemilih. Lebih dari itu, mereka harus menyampaikan pesan yang berbasis pada informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Transparansi dalam hal bagaimana data digunakan dan bagaimana pesan politik disampaikan akan membantu memastikan bahwa proses pemilihan tetap adil dan terbuka. Jika publik dapat melihat bahwa penggunaan data dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab dan jujur, ini dapat meningkatkan kepercayaan mereka terhadap proses politik dan mengurangi potensi penyalahgunaan.
Selain regulasi, literasi digital juga menjadi kunci penting dalam mengatasi tantangan etis yang timbul dari penggunaan algoritma rasa. Masyarakat perlu diberdayakan dengan pemahaman yang cukup tentang bagaimana data mereka dikumpulkan dan digunakan dalam kampanye politik. Dengan memiliki literasi digital yang memadai, pemilih dapat lebih kritis terhadap pesan-pesan yang mereka terima melalui media sosial atau platform lainnya. Mereka akan lebih mampu mengenali taktik manipulatif yang mungkin digunakan oleh tim kampanye untuk memanipulasi emosi mereka. Literasi digital ini juga penting untuk membantu pemilih memahami bagaimana algoritma bekerja dalam menyajikan pesan yang disesuaikan dengan perilaku online mereka. Jika pemilih memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara kerja algoritma ini, mereka dapat membuat keputusan yang lebih informasional dan tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi emosi yang tidak etis.
Penting juga untuk menciptakan ruang dialog yang lebih terbuka tentang penggunaan data pribadi dalam politik. Masyarakat harus dilibatkan dalam diskusi mengenai batasan-batasan yang perlu diterapkan untuk melindungi privasi mereka, sambil memastikan bahwa teknologi dapat tetap digunakan untuk memperkaya proses demokrasi. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan teknologi memiliki peran penting dalam menyusun kebijakan yang menjamin bahwa algoritma rasa digunakan dengan cara yang menghormati hak asasi manusia. Melalui kolaborasi antara berbagai pihak, diharapkan akan ada kesepakatan mengenai regulasi yang mengatur penggunaan data dalam kampanye politik yang memastikan bahwa setiap individu tetap dihargai haknya tanpa ada pihak yang merasa dirugikan oleh manipulasi teknologi.
Namun, meskipun ada berbagai tantangan etis yang harus dihadapi, algoritma rasa tetap memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan partisipasi politik dan memperkaya cara-cara kampanye berinteraksi dengan pemilih. Ketika digunakan dengan benar dan bertanggung jawab, algoritma rasa dapat memperkuat komunikasi politik dengan cara yang lebih personal dan relevan. Ini bisa membantu kandidat untuk lebih terhubung dengan pemilih mereka dan memahami kebutuhan serta harapan mereka dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, meskipun tantangan yang ada tidak boleh diabaikan, potensi positif dari algoritma rasa dalam kampanye politik harus tetap dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan memperhatikan regulasi yang tepat dan pengawasan yang ketat.
Penulis
Sumarta
Referensi:
Bennett, W. L., & Segerberg, A. (2013). The logic of connective action: Digital media and the personalization of contentious politics. Information, Communication & Society, 16(5), 739-768.
Marcus, G. E., Neuman, W. R., & MacKuen, M. (2000). Affective Intelligence and Political Judgment. University of Chicago Press.