Pertarungan Pemikiran: Agama Nabi Adam sebagai Jalan Kebenaran
Pertarungan
Pemikiran: Agama Nabi Adam sebagai Jalan Kebenaran
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Sayyidina
Alwash, sebagai salah satu keturunan Nabi Adam, meyakini bahwa agama yang
dibawa oleh Nabi Adam adalah jalan kebenaran yang harus diikuti. Dalam
pandangannya, ajaran Nabi Adam tidak hanya merupakan wahyu dari Tuhan, tetapi
juga petunjuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat. Sayyidina Alwash yang
tumbuh dalam ajaran tersebut, memandang agama sebagai dasar moral yang tak bisa
diganti. Baginya, setiap perintah dan wahyu yang diturunkan melalui Nabi Adam
adalah kebenaran absolut yang tidak boleh diragukan. Mengikuti ajaran ini
adalah kewajiban, dan tidak ada jalan lain yang lebih benar. Ia percaya bahwa
dengan berpegang teguh pada agama yang diwariskan oleh Nabi Adam, umat manusia
dapat mencapai hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu hidup yang penuh
dengan kebenaran dan ketaatan. Dalam pandangan Sayyidina Alwash, agama yang
diberikan kepada Nabi Adam adalah jalan yang sempurna, dan tak ada yang perlu
ditambahkan atau diubah.
Namun, di
sisi lain, Sayyidina Anwar, saudara dari Sayyidina Alwash, memiliki pandangan
yang jauh lebih luas dan tidak terbatas pada ajaran yang ada. Meskipun ia tetap
menghormati Nabi Adam dan ajaran-ajarannya, Sayyidina Anwar memandang
pengetahuan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh lebih luas dan tidak bisa dibatasi
hanya pada wahyu yang diterima melalui Nabi Adam. Ia percaya bahwa Tuhan adalah
sumber dari segala pengetahuan yang ada, dan kebijaksanaan-Nya jauh melampaui
apa yang dapat dipahami oleh manusia. Dalam pandangan Sayyidina Anwar,
pemahaman tentang Tuhan tidak harus terpaku pada kitab-kitab yang ada,
melainkan harus berlandaskan pada pencarian yang lebih dalam dan terbuka. Bagi
Sayyidina Anwar, ajaran yang diberikan oleh Nabi Adam memang sangat mulia,
tetapi pengetahuan Tuhan lebih besar daripada apa yang diungkapkan melalui satu
nabi saja.
Pandangan
ini kemudian menciptakan celah pemahaman yang mendalam antara Sayyidina Anwar
dan Sayyidina Alwash. Bagi Sayyidina Alwash, agama Nabi Adam adalah
segala-galanya. Ia tidak mempertanyakan ajaran tersebut karena baginya agama
tersebut sudah sempurna dan tidak perlu dicari-cari lagi. Namun, bagi Sayyidina
Anwar, keyakinan ini terasa sempit dan membatasi pencarian kebenaran. Ia
bertanya-tanya, jika ajaran Nabi Adam adalah jalan kebenaran yang mutlak,
mengapa manusia tetap harus menghadapi kenyataan kematian, yang tidak bisa
dihindari oleh siapapun, termasuk Nabi Adam? Pertanyaan ini menggugah keyakinan
Sayyidina Anwar dan memicunya untuk mencari jalan lain yang lebih luas, yang
mungkin bisa memberikan jawaban atas teka-teki kehidupan yang lebih besar.
Kematian
Nabi Adam, meskipun dia adalah manusia pilihan yang diberi pengetahuan yang
luar biasa, justru menjadi titik awal bagi Sayyidina Anwar untuk meragukan
kebenaran ajaran yang selama ini diterimanya. Bagi Sayyidina Anwar, jika ajaran
Nabi Adam adalah jalan yang benar, maka mengapa kematian yang dianggap sebagai
takdir Tuhan, tetap menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh manusia,
bahkan oleh Nabi Adam yang begitu mulia? Ini menjadi pertanyaan filosofis yang
dalam, yang kemudian mendorong Sayyidina Anwar untuk mencari jawaban yang lebih
dalam. Ia merasa bahwa mungkin ada pengetahuan yang lebih luas dan lebih tinggi
yang belum ditemukan, yang melampaui apa yang diajarkan oleh Nabi Adam.
Perdebatan
antara Sayyidina Anwar dan Sayyidina Alwash menggambarkan perbedaan pandangan
yang tajam mengenai agama, pengetahuan, dan kehidupan. Sayyidina Alwash
memandang agama sebagai jalur yang sudah final dan tidak dapat dipertanyakan
lagi, sementara Sayyidina Anwar merasa bahwa pencarian kebenaran harus terus
berkembang seiring dengan waktu dan pemahaman manusia yang semakin luas. Kisah
ini mengajarkan kita tentang pentingnya keberanian untuk berpikir kritis, untuk
tidak terjebak dalam dogma yang ada, dan untuk terus mencari pengetahuan yang
lebih mendalam tentang Tuhan dan kehidupan. Meskipun kedua saudara ini memiliki
pandangan yang sangat berbeda, mereka masing-masing berusaha mencari kebenaran
dengan cara mereka sendiri, yang mencerminkan betapa luasnya perjalanan
spiritual manusia dalam memahami hakikat kehidupan dan Tuhan.