Humor dalam Dakwah: Batasan dan Tantangan
Humor dalam Dakwah: Batasan dan Tantangan
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Dalam Islam, humor tidak hanya diterima, tetapi juga dianggap sebagai bagian
dari kepribadian Rasulullah Muhammad SAW yang penuh kebaikan dan kedekatan
dengan umatnya. Terdapat banyak kisah yang menunjukkan bagaimana Rasulullah
menyampaikan humor untuk mencairkan suasana dan mempererat hubungan dengan para
sahabatnya. Salah satu kisah terkenal adalah ketika Rasulullah menyekap
sahabatnya dari belakang sebagai candaan yang menggambarkan keakraban dan kasih
sayang. Humor seperti ini tidak hanya menggembirakan, tetapi juga menciptakan
ikatan yang lebih kuat antar umat. Ini menunjukkan bahwa humor yang tidak
merendahkan dan tidak menyakiti perasaan orang lain bisa menjadi sarana untuk
memperkuat pesan dakwah. Oleh karena itu, humor dalam dakwah sangat mungkin
digunakan selama tetap menjaga nilai-nilai etika dan kesopanan yang sesuai
dengan ajaran Islam.
Namun, di era modern, humor dalam dakwah tidak selalu diterima dengan baik
oleh masyarakat. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan media sosial,
setiap ucapan atau candaan yang disampaikan seorang penceramah dapat dengan
mudah tersebar luas dan mendapat sorotan publik. Salah satu contoh yang cukup
banyak dibicarakan adalah humor yang disampaikan oleh Gus Miftah. Sebagai
seorang dai yang dikenal sering berdakwah di tempat-tempat yang dianggap
"tidak biasa" seperti diskotek, Gus Miftah seringkali menggunakan
humor yang dinilai kontroversial. Meskipun niatnya mungkin untuk menghibur dan
mendekatkan diri kepada jamaah yang mungkin tidak berada di tempat-tempat
tradisional dakwah, beberapa netizen menganggap bahwa candaan tersebut
cenderung merendahkan dan bahkan menyakiti perasaan pihak tertentu. Kritik ini menggambarkan
tantangan besar dalam menggabungkan humor dengan dakwah di era modern yang
serba terbuka ini.
Humor dalam dakwah memang memiliki peran yang penting, tetapi ada batasan
yang perlu dipahami dengan baik oleh seorang penceramah. Salah satu contoh
menarik adalah sosok Gus Mik dari Kediri, yang meskipun berdakwah di kalangan
komunitas yang tidak biasa, seperti di kalangan hostes, tetap menjaga etika
dalam berbicara. Gus Mik tidak pernah menggunakan humor yang menghina atau
merendahkan orang lain, meskipun tempat dakwahnya mungkin dianggap tidak
konvensional. Dalam hal ini, Gus Mik menunjukkan bahwa humor dalam dakwah bukan
berarti harus melanggar norma atau merendahkan martabat orang lain. Ia
mengajarkan bahwa humor yang bijaksana dapat tetap menyampaikan pesan agama
tanpa harus menyakiti perasaan atau menghina siapapun. Hal ini menjadi contoh
penting bagi penceramah lainnya dalam memilih cara menyampaikan dakwah yang
tetap menjaga martabat semua pihak.
Penting untuk memahami bahwa humor dalam dakwah bukanlah tujuan utama,
tetapi lebih kepada alat untuk mempermudah penyampaian pesan-pesan agama. Humor
yang digunakan dalam dakwah seharusnya dapat mencairkan suasana, membuat
pendengar merasa lebih dekat dengan penceramah, dan menjadikan ajaran agama lebih
mudah dicerna. Namun, ketika humor tersebut disampaikan tanpa pertimbangan yang
matang, maka bisa berpotensi merusak reputasi penceramah dan bahkan dapat
menciptakan perpecahan. Humor yang baik adalah humor yang tidak menyinggung
perasaan orang lain, tidak merendahkan martabat siapapun, dan tetap
memperhatikan etika dalam menyampaikan dakwah. Penceramah perlu berhati-hati
dalam memilih kata-kata, terutama di zaman yang penuh dengan sorotan publik
seperti saat ini, di mana hampir setiap ucapan dapat direkam dan disebarkan ke
seluruh dunia.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu lebih bijaksana dalam menilai humor yang
disampaikan oleh penceramah. Tidak semua humor dalam dakwah memiliki niat buruk
atau untuk merendahkan. Sebagai pendengar, kita harus mampu membedakan antara
humor yang membangun dan yang merendahkan. Selain itu, masyarakat harus
memberikan ruang bagi penceramah untuk mengekspresikan diri dengan cara yang
sesuai dengan konteks dan audiens yang mereka hadapi, selama humor tersebut
tidak melanggar batas-batas etika. Dalam hal ini, kesadaran literasi keagamaan
yang lebih tinggi akan membantu umat dalam memahami nilai-nilai yang ada dalam
dakwah serta membedakan mana humor yang dapat diterima dan mana yang berpotensi
menyakiti perasaan orang lain. Humor dalam dakwah tetap harus menjaga martabat
agama dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan kasih
sayang dan kedamaian.