Manipulasi Kerinduan Masyarakat: Antara Gelar dan Kepentingan Pribadi
Manipulasi Kerinduan Masyarakat: Antara Gelar dan Kepentingan
Pribadi
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Kerinduan masyarakat terhadap tokoh agama atau figur yang dianggap sebagai
pemimpin spiritual seringkali dimanfaatkan oleh individu atau kelompok untuk
tujuan tertentu, baik itu ekonomi, politik, atau bahkan untuk memperkuat posisi
sosial. Fenomena ini bukanlah hal yang baru dan tidak hanya terjadi di
Indonesia. Di berbagai belahan dunia, termasuk India, manipulasi terhadap
kerinduan masyarakat terhadap sosok yang dianggap keramat telah banyak
ditemukan. Di sana, terdapat makam-makam yang diklaim sebagai makam keramat,
namun setelah penyelidikan lebih lanjut, makam tersebut ternyata palsu. Hal ini
dilakukan untuk menarik perhatian peziarah dan mendapatkan keuntungan dari
aktivitas religius tersebut. Praktik seperti ini menggambarkan bagaimana
kerinduan dan keyakinan masyarakat bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang jauh
dari nilai-nilai moral dan keagamaan yang seharusnya ada.
Di Indonesia, manipulasi terhadap kerinduan masyarakat terhadap tokoh agama
sering kali terlihat dalam glorifikasi gelar tertentu, seperti gelar
"Gus". Gelar ini pada awalnya diberikan kepada anak keturunan kiai
atau tokoh pesantren, dengan harapan mereka akan menjadi penerus tradisi
keilmuan dan kepemimpinan agama. Namun, pada kenyataannya, gelar ini seringkali
disalahgunakan. Banyak pihak yang mengagungkan sosok yang menyandang gelar
"Gus" hanya berdasarkan gelar tersebut, tanpa melihat lebih dalam
pada kualitas pribadi, ilmu agama, atau kesungguhan dalam dakwah yang mereka
lakukan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara harapan masyarakat terhadap
figur yang mereka anggap sebagai pemimpin spiritual dengan kenyataan bahwa
tidak semua orang yang menyandang gelar tersebut memenuhi standar moral dan
intelektual yang seharusnya.
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa banyak orang yang lebih mengutamakan
aspek simbolis dari gelar atau status sosial daripada esensi dari ajaran agama
itu sendiri. Masyarakat cenderung mengagungkan sosok tokoh agama tanpa
mempertimbangkan sejauh mana penceramah atau pemimpin tersebut benar-benar
mampu mengemban tanggung jawab moral dan intelektual yang sesuai dengan ajaran
agama. Terkadang, individu yang memiliki gelar "Gus" dianggap lebih
layak menjadi panutan, meskipun perilaku atau pemikirannya tidak mencerminkan
nilai-nilai luhur agama. Dalam konteks ini, gelar telah menjadi sesuatu yang
lebih kepada simbol status daripada sebagai indikator kualitas dakwah dan
moralitas.
Manipulasi kerinduan masyarakat ini dapat berdampak negatif, terutama bagi
para penceramah muda atau tokoh agama yang terjebak dalam obsesi untuk mencapai
popularitas tanpa memperhatikan kualitas dakwah mereka. Ketika masyarakat lebih
tertarik pada status sosial yang melekat pada gelar ketimbang pada substansi
ajaran agama itu sendiri, maka nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi fokus
utama dalam dakwah justru terabaikan. Ini menciptakan ruang bagi penyebaran
ajaran yang dangkal atau bahkan salah kaprah, yang pada akhirnya bisa
menyesatkan umat dan merusak integritas dakwah itu sendiri.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat
agar tidak mudah terjebak dalam manipulasi yang dilakukan oleh individu atau
kelompok yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Masyarakat perlu
memfokuskan perhatian pada kualitas ajaran, integritas, dan moralitas seseorang
dalam menilai seorang tokoh agama, bukan hanya pada gelar atau status yang
melekat padanya. Di sisi lain, para tokoh agama dan penceramah juga perlu
menyadari tanggung jawab besar yang mereka emban sebagai panutan umat. Mereka
harus memastikan bahwa setiap kata dan tindakan mereka mencerminkan ajaran yang
benar dan tidak hanya mengejar popularitas semata. Agar dakwah dapat memberikan
manfaat yang besar bagi umat, kualitas dan tanggung jawab moral harus menjadi
landasan utama.