Pendidikan sebagai Pintu Perjuangan: Tan Malaka dan Perjuangan Keadilan Sosial di Deli
Pendidikan
sebagai Pintu Perjuangan: Tan Malaka dan Perjuangan Keadilan Sosial di Deli
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Pada
tahun 1921, Tan Malaka mulai mengajar di perkebunan di Deli, Sumatera Utara,
sebagai seorang guru bahasa Melayu. Namun, apa yang ia temui di lapangan sangat
berbeda dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Sebagai seorang pendidik, ia
mengharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat, tetapi
kenyataannya jauh lebih pahit. Di sana, ia menyaksikan penderitaan yang dialami
oleh kaum buruh perkebunan teh dan tembakau, yang hidup dalam kondisi sangat
memprihatinkan. Mereka bekerja dalam suhu yang panas, di bawah tekanan yang
luar biasa, dengan upah yang sangat rendah, dan hidup dalam ketidakpastian yang
terus-menerus. Lebih buruk lagi, buruh-buruh tersebut sering menjadi korban
penipuan karena tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung dengan baik, akibat
dari sistem pendidikan yang sangat terbatas untuk mereka. Tan Malaka menyadari
bahwa kebodohan ini adalah senjata yang digunakan oleh para pengusaha dan
kapitalis untuk memeras tenaga mereka tanpa memberikan imbalan yang layak. Di
hadapan penderitaan ini, Tan Malaka merasa sangat tergerak untuk bertindak demi
perubahan.
Tan
Malaka dengan cepat menyadari bahwa sistem sosial dan ekonomi yang ada di
perkebunan tersebut tidak hanya menindas fisik para buruh, tetapi juga merampas
hak dasar mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sistem kapitalisme
yang diterapkan oleh perusahaan perkebunan sangat bergantung pada eksploitasi
buruh yang tidak berpendidikan, yang memungkinkan para pengusaha untuk terus
menekan upah mereka dan memperpanjang jam kerja tanpa rasa iba. Tan Malaka,
sebagai seorang "inlander" yang berpendidikan, merasa bahwa ia
memiliki tanggung jawab moral untuk mengubah kondisi ini. Ia melihat dengan
jelas bahwa ketidakadilan sosial ini tidak hanya bersumber dari ketimpangan
ekonomi, tetapi juga dari kurangnya kesadaran pendidikan yang diberikan kepada
buruh. Dalam pandangannya, pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu-pintu
kebebasan bagi buruh dan masyarakat yang tertindas. Tan Malaka merasa bahwa
dengan pendidikan, buruh akan mampu membebaskan diri dari belenggu sistem yang
memiskinkan mereka.
Saksinya
akan penderitaan buruh dan ketidakmampuan mereka untuk memperbaiki nasib
menguatkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk
membawa perubahan sosial yang signifikan. Di perkebunan tersebut, para buruh
hidup dalam kekurangan, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara mental dan
emosional. Mereka terperangkap dalam ketidakpastian, tanpa harapan untuk keluar
dari lingkaran kemiskinan dan ketidakadilan. Tan Malaka percaya bahwa, tanpa
pendidikan, rakyat Indonesia, terutama kelas pekerja, akan terus menjadi objek
eksploitasi bagi para pemilik modal. Oleh karena itu, Tan Malaka berkomitmen
untuk memperjuangkan pendidikan sebagai alat pemberdayaan, tidak hanya untuk
meningkatkan kualitas hidup buruh, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran
politik dan sosial yang akan memperkuat gerakan pembebasan bangsa dari
penjajahan.
Selama di
Deli, Tan Malaka tidak hanya mengajar tetapi juga memperkenalkan ide-ide
tentang pentingnya pendidikan sebagai pintu perjuangan. Ia melihat pendidikan
sebagai jalan keluar dari ketimpangan sosial yang telah mengakar dalam
masyarakat kolonial. Bagi Tan Malaka, pendidikan adalah sebuah senjata untuk
memperjuangkan hak-hak dasar rakyat dan memperbaiki kehidupan mereka yang
terpinggirkan. Ia ingin membuka mata buruh bahwa mereka memiliki hak untuk menuntut
perubahan, dan pendidikan adalah kunci untuk mencapai kesadaran itu. Dalam
konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka melihat bahwa kemerdekaan
politik tidak akan cukup tanpa ada pemberdayaan sosial dan ekonomi bagi rakyat.
Oleh karena itu, ia memandang pendidikan sebagai bagian integral dari
perjuangan menuju kemerdekaan yang sejati, di mana seluruh rakyat dapat
merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Tan
Malaka menyadari bahwa perjuangannya di Deli bukan hanya tentang mengajar
anak-anak buruh, tetapi tentang membangkitkan kesadaran kolektif di kalangan
buruh mengenai pentingnya pendidikan dan perjuangan sosial. Sebagai seorang
intelektual dan aktivis, ia terus memperjuangkan hak-hak buruh untuk
mendapatkan pendidikan yang setara, yang bukan hanya terbatas pada pengetahuan
formal, tetapi juga pemahaman tentang hak-hak mereka sebagai manusia dan
sebagai warga negara. Pendidikan, menurut Tan Malaka, adalah langkah pertama
untuk menuntut perubahan sosial yang lebih luas. Ia percaya bahwa hanya dengan
pendidikan, rakyat Indonesia, terutama kaum buruh, dapat meraih kebebasan
sejati—kebebasan dari penjajahan kolonial, dan kebebasan dari ketimpangan
sosial yang selama ini mengekang kehidupan mereka. Tan Malaka, melalui
pengalaman mengajarnya di Deli, membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya
sekadar transfer ilmu, tetapi juga alat untuk membangkitkan semangat perjuangan
yang lebih besar untuk keadilan sosial.