Konflik dengan Kolonial Belanda: Tan Malaka dan Pertentangan Sosial di Deli

 

Konflik dengan Kolonial Belanda: Tan Malaka dan Pertentangan Sosial di Deli

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 


Perjalanan perjuangan Tan Malaka tidak terlepas dari konflik yang semakin tajam dengan pihak kolonial Belanda, yang membentuk arah perjuangannya di Indonesia. Dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menggambarkan secara mendalam empat permasalahan utama yang menjadi sumber pertentangan antara dirinya dan pemerintah kolonial. Pertama, Tan Malaka mencatat bahwa adanya diskriminasi rasial yang tajam antara pribumi dan orang-orang Belanda, yang menimbulkan kesenjangan sosial yang sangat besar. Diskriminasi ini tidak hanya terasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam sektor pendidikan dan pekerjaan, di mana orang Belanda mendapat fasilitas yang jauh lebih baik daripada kaum pribumi. Masalah kedua adalah pendidikan yang tidak memadai bagi anak-anak buruh, yang menurut Tan Malaka, merupakan salah satu cara sistem kolonial untuk mempertahankan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Ia merasa bahwa kaum buruh yang tidak terdidik akan terus menjadi objek eksploitasi yang mudah diperalat oleh para pengusaha perkebunan dan pemerintah kolonial.

Tan Malaka juga menyuarakan keprihatinannya tentang terbatasnya kebebasan untuk menulis dan berkarya di media massa, khususnya di Deli. Menurutnya, pihak kolonial sengaja membatasi ruang bagi kaum pribumi untuk menyuarakan pendapat mereka, terutama yang berkaitan dengan permasalahan sosial dan ketidakadilan yang ada. Tan Malaka merasa bahwa kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat adalah hak dasar yang seharusnya dimiliki setiap warga negara, namun di bawah pemerintahan kolonial, hal itu menjadi sangat terbatas. Hal ini semakin memperburuk hubungan antara Tan Malaka dan pemerintah kolonial, yang semakin merasa terancam dengan keberadaan tokoh-tokoh yang berani mengkritik dan menentang kebijakan mereka. Selain itu, pihak kolonial juga mulai merasa terganggu dengan kedekatannya dengan buruh-buruh perkebunan, yang dianggap oleh Belanda sebagai ancaman yang berpotensi memicu pemberontakan.

Ketegangan antara Tan Malaka dan pemerintah kolonial semakin meningkat ketika ia memutuskan untuk memberikan pendidikan yang lebih baik kepada anak-anak buruh di Deli. Tan Malaka, yang memiliki keyakinan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka kesadaran kelas buruh, berusaha untuk mengajarkan anak-anak buruh dengan cara yang lebih humanis dan progresif. Namun, niat baiknya ini malah disalahartikan oleh pihak kolonial sebagai upaya untuk menghasut buruh dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Bagi pihak kolonial, upaya Tan Malaka ini dianggap sebagai tindakan subversif yang berbahaya dan bisa merusak tatanan sosial yang telah mereka bangun. Akibatnya, hubungan antara Tan Malaka dan pemerintah kolonial semakin tegang, dengan pihak Belanda semakin intensif memantau gerak-gerik Tan Malaka dan aktivitasnya di Deli.

Tan Malaka merasa semakin terjepit antara dua pihak yang berseberangan. Di satu sisi, ia tidak dapat terlalu dekat dengan pihak Belanda karena dianggap sebagai pengkhianat oleh buruh dan rakyat Indonesia yang tengah memperjuangkan kemerdekaan. Di sisi lain, jika ia terlalu dekat dengan buruh, pihak Belanda akan semakin curiga dan menanggapinya sebagai ancaman serius bagi kepentingan mereka. Keadaan ini memaksa Tan Malaka untuk berpikir ulang tentang strategi perjuangannya di Deli. Meskipun ia memiliki semangat dan niat untuk terus memperjuangkan kesejahteraan buruh dan keadilan sosial, Tan Malaka mulai merasakan bahwa perjuangannya semakin sulit dilakukan di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial yang terus menindas gerakan progresif seperti yang ia usung. Hal ini akhirnya membuatnya memutuskan untuk meninggalkan Deli pada tahun 1921 dan melanjutkan perjuangannya di Jawa, tempat yang dianggapnya lebih strategis untuk melawan kekuasaan kolonial.

Keputusan Tan Malaka untuk meninggalkan Deli dan melanjutkan perjuangannya di Jawa bukanlah sebuah kemunduran, melainkan langkah strategis untuk melanjutkan perlawanan yang lebih besar. Konflik yang ia hadapi dengan pemerintah kolonial Belanda memberikan pelajaran penting tentang bagaimana sistem kolonial beroperasi untuk menjaga status quo dan menghindari perubahan sosial yang dapat menggugat kekuasaan mereka. Tan Malaka semakin menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya tentang mengusir penjajah, tetapi juga tentang menggulingkan sistem ketidakadilan yang mendalam dan mengakar dalam masyarakat. Meskipun terpisah oleh ruang dan waktu, pengalaman-pengalaman yang dihadapinya di Deli semakin memperkuat tekad Tan Malaka untuk berjuang demi hak-hak buruh dan rakyat tertindas di Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel