Tan Malaka: Dari Gerakan Rakyat hingga Penyingkiran Sejarah yang Terlupakan

 

Tan Malaka: Dari Gerakan Rakyat hingga Penyingkiran Sejarah yang Terlupakan

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 


Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner yang berjuang tanpa henti untuk kemerdekaan Indonesia, meninggalkan jejak yang dalam dalam sejarah perjuangan bangsa. Kisahnya penuh dengan konflik politik, perpecahan, dan pengorbanan. Pada 7 November 1948, di tengah situasi genting pasca-Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia, Tan Malaka dengan tekad bulat mengumpulkan pengikut setianya dan mendirikan Partai Murba (Partai Musyawarah Rakyat Banyak) di Yogyakarta. Langkah ini bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap perjanjian yang ia anggap merugikan, tetapi juga sebagai upaya membangkitkan semangat juang rakyat yang mulai surut akibat perundingan yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.

Perjanjian Renville yang ditandatangani pada Januari 1948 memang memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Salah satunya adalah pengakuan Belanda atas wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, yang akan tetap berada di bawah kendali Republik Indonesia, sementara daerah lainnya tetap dikuasai oleh Belanda. Bahkan, dengan adanya garis demarkasi yang memisahkan wilayah Republik Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, TNI dipaksa mundur dari wilayah yang masih dikuasai Belanda, seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dalam menghadapi kenyataan pahit ini, Soekarno dan Hatta memutuskan untuk membekukan pemerintah Indonesia dan membentuk pemerintahan darurat yang berpusat di Bukittinggi. Namun, ketika Belanda kembali menyerang Indonesia dengan Agresi Militer Kedua pada 19 Desember 1948, situasi semakin kritis. Pada saat itulah, Tan Malaka, yang sejak awal sudah tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah Soekarno dan Hatta, bergabung dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk melancarkan perlawanan gerilya di Yogyakarta.

Sayangnya, meskipun ada usaha untuk melawan, Tan Malaka dan Sudirman akhirnya berpisah setelah penyerbuan Belanda semakin intensif. Sudirman, yang menderita sakit, bersembunyi di hutan Jawa Tengah, sementara Tan Malaka melanjutkan perjuangannya di Kediri, Jawa Timur. Di Kediri, ia bergabung dengan pasukan Sabarudin, pemimpin Divisi 6 TNI, dan membentuk Gerilya Pembela Proklamasi. Di sana, Tan Malaka menyerukan untuk tidak mengakui perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan Belanda, dan untuk terus berjuang demi kemerdekaan penuh Indonesia.

Namun, usaha Tan Malaka untuk membangkitkan semangat rakyat sering kali membuatnya berada dalam posisi yang bertentangan dengan pemerintah. Ia mengkritik keras sikap Kolonel Sungkono, pimpinan Divisi Jawa Timur, yang ia anggap tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Konflik ini akhirnya memunculkan keputusan yang tragis. Pada 19 Februari 1949, Tan Malaka ditembak mati oleh regu tembak yang dipimpin oleh Sungkono di Selo, Jawa Timur, setelah pasukannya kalah dalam pertempuran melawan tentara Indonesia.

Namun, nasib Tan Malaka yang tragis tidak mengurangi pengaruhnya dalam sejarah perjuangan Indonesia. Jenazahnya tidak pernah ditemukan, dan hingga kini misteri seputar kematiannya masih menyisakan tanda tanya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa jenazah Tan Malaka dikuburkan secara rahasia, sementara ada pula yang berpendapat bahwa jenazahnya dibuang ke Kali Brantas. Tetapi, meski begitu, pengaruh dan pemikiran Tan Malaka tetap hidup, bahkan di era yang kelam.

Pada tahun 1963, Tan Malaka akhirnya diangkat menjadi pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno, yang mengakui jasa-jasanya dalam perjuangan untuk kemerdekaan. Sejarawan Muhammad Yamin menegaskan bahwa Tan Malaka layak mendapatkan gelar pahlawan nasional, karena pemikiran dan perjuangannya telah menginspirasi gerakan kemerdekaan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam bukunya, Yamin menggambarkan Tan Malaka sebagai "Bapa Rakyat Indonesia" yang lebih tahu tentang pembentukan republik ini dibandingkan tokoh-tokoh besar lainnya seperti Jefferson dan Washington di Amerika Serikat.

Namun, pengakuan terhadap Tan Malaka sebagai pahlawan nasional tidak berlangsung lama. Pada masa Orde Baru, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, nama Tan Malaka sengaja dihapuskan dari sejarah resmi Indonesia. Pemerintahan Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh yang terlalu dekat dengan gerakan kiri dan komunis, yang dianggap sebagai musuh besar oleh pemerintah saat itu. Bahkan, meskipun Tan Malaka pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia, banyak pihak yang menganggapnya sebagai tokoh Islam. Salah satunya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kita kenal sebagai Buya Hamka. Dalam kata pengantarnya untuk buku "Islam dan Tinjauan Madilog", Hamka mengungkapkan bahwa Tan Malaka memiliki keberpihakan yang jelas terhadap Islam.

Meskipun dihapuskan dari sejarah resmi Indonesia selama puluhan tahun, karya-karya Tan Malaka tetap dicetak ulang dan pemikirannya terus dibicarakan. Ia tetap menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, terutama golongan pemuda. Seperti yang pernah Tan Malaka yakini menjelang eksekusi kematiannya, "Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi." Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun ia telah tiada, pemikiran dan perjuangannya akan terus menginspirasi dan membakar semangat perjuangan generasi penerus bangsa Indonesia.

Tan Malaka adalah simbol dari perlawanan yang tidak pernah padam, meski sering kali terpinggirkan oleh kekuatan politik yang dominan. Keberanian dan keteguhannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meskipun harus membayar harga yang sangat mahal, menjadikannya seorang pahlawan yang tak terhitung nilai perjuangannya. Walaupun sejarah resmi Indonesia sempat mengabaikan namanya, Tan Malaka tetap menjadi bagian penting dari perjuangan Indonesia yang harus terus dikenang dan dihargai.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel