Tan Malaka: Perjalanan Hidup Seorang Pejuang yang Tak Pernah Padam

 

Tan Malaka: Perjalanan Hidup Seorang Pejuang yang Tak Pernah Padam

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 


Tan Malaka, nama yang tak asing bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia, adalah sosok yang telah menorehkan banyak cerita dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sejak 1942, setelah hampir dua puluh tahun melanglang buana sebagai buronan, Tan Malaka kembali ke Indonesia dengan tekad yang bulat untuk memperjuangkan kebebasan dan kemandirian bangsa. Pilihannya untuk kembali diam-diam ke Indonesia tidaklah tanpa alasan. Tahun 1942 menjadi momen penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, karena pada saat yang sama, Jepang melakukan serangan besar-besaran terhadap negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pada tanggal 1 Maret 1942, pasukan Jepang berhasil mendaratkan tentaranya di Pulau Jawa, di tiga titik strategis: Teluk Banten, Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Kranggan di Jawa Tengah. Selain itu, pasukan Jepang juga mendarat di kawasan Indramayu dan Tuban, yang tidak terduga oleh penjajah Belanda. Serangan mendalam ini mengubah situasi politik Indonesia secara drastis, dan pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jonkheer Van Starkenborg Stachouwer, terpaksa menyerah tanpa syarat kepada Jepang dalam sebuah pertemuan di Kalijati, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.

Momen inilah yang dimanfaatkan oleh Tan Malaka. Setelah bertahun-tahun melarikan diri dari pengejaran, Tan Malaka memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan cara yang sangat hati-hati. Ia menyeberangi Selat Malaka dengan perahu kecil secara diam-diam menuju Sumatera. Setibanya di Padang pada bulan Juli 1942, Tan Malaka menyamar dengan nama Ramli Hussein. Tak lama kemudian, Tan Malaka melanjutkan perjalanannya ke Jakarta, pusat pergolakan politik Indonesia saat itu, di mana ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang tengah berubah.

Di Jakarta, Tan Malaka beradaptasi dengan kehidupan yang sangat berbeda. Ia menyamar sebagai pegawai di Dinas Kesejahteraan Sosial, dan tinggal di sebuah bilik kecil di daerah Rawa Jati. Meski Jepang telah menguasai Indonesia, Tan Malaka yang sangat waspada terhadap ancaman pengungkapan identitasnya, tetap menjaga kerahasiaan jati dirinya. Di sinilah, di tengah keterbatasan hidup, Tan Malaka berhasil menyelesaikan karyanya yang terkenal, Madilog (Materialisme Dialektika dan Logika). Ia menulis buku ini dalam waktu yang sangat singkat, hanya dalam 720 jam, dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya berpikir rasional dan logis, serta menggugah semangat revolusi total.

Madilog menjadi karya monumental yang mengkritik mentalitas bangsa Indonesia yang sudah terlalu lama berada di bawah penjajahan dan ketergantungan. Tan Malaka mengamati bahwa selama lebih dari 3,5 abad di bawah penjajahan kolonialisme, bangsa Indonesia telah terbiasa dengan sistem perbudakan yang melemahkan pola pikir dan semangat kebangsaan. Ia menyebutkan bahwa banyak pikiran mistik dan tidak rasional yang berkembang dalam masyarakat, yang membuat bangsa Indonesia mudah dieksploitasi oleh kekuatan luar. Oleh karena itu, Tan Malaka berpendapat bahwa untuk mencapai kemerdekaan sejati, revolusi harus dilakukan secara total dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan mental bangsa.

Bagi Tan Malaka, mental yang perlu dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah mental yang rasional, dinamis, dan percaya diri, yang mampu berpikir dengan cara yang fleksibel dan realistis dalam menghadapi berbagai masalah. Dalam Madilog, Tan Malaka menekankan pentingnya mengembangkan pola pikir baru yang aktif dan kritis, yang dapat membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan mental.

Setelah beberapa waktu di Jakarta, Tan Malaka merasa perlu untuk mengenal lebih dalam perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia. Ia menghabiskan banyak waktu di Rawa Jati, mengamati kehidupan masyarakat sekitar dengan cara yang teliti dan mendalam, seolah menjadi seorang etnograf yang mengumpulkan data untuk memahami perubahan sosial yang terjadi. Meski hidup dengan serba keterbatasan, Tan Malaka tetap berfokus pada tujuannya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui pemikiran yang rasional dan revolusioner.

Di tengah kesederhanaan hidupnya, Tan Malaka merasa bahwa perubahan yang terjadi di Jakarta dan di Indonesia sangat signifikan. Ia merasa seperti bayi yang baru lahir, meninggalkan tanah air selama 20 tahun, dan kini telah kembali dalam bentuk yang sangat berbeda. Ia mencatat bahwa banyak teman-teman perjuangannya yang kini telah berusia lanjut, sementara Jakarta, kota yang dahulu dikenalnya, kini sudah banyak berubah.

Selama masa penjajahan Jepang, meskipun harga-harga barang pokok di Indonesia relatif murah, masyarakat tetap menderita akibat kelangkaan pangan yang parah, terutama pada tahap selanjutnya penjajahan Jepang. Tan Malaka menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia, termasuk di daerah Bayah, di mana banyak pekerja romusha (pekerja paksa) yang menderita sakit dan mati tanpa perawatan yang memadai. Keadaan ini semakin memperlihatkan kekejaman penjajahan Jepang yang tidak kalah buruknya dengan penjajahan Belanda.

Pada tahun 1943, Tan Malaka sempat menerima tawaran untuk bekerja sebagai pegawai di perusahaan pertambangan batu bara di Bayah, setelah ia berhasil menerjemahkan sebuah naskah asing dengan lancar. Tan Malaka, yang saat itu menyamar dengan nama Ilias Husin, bergabung dengan 29 pekerja lainnya dan berangkat ke Bayah. Namun, di sana ia menemukan kenyataan pahit: kehidupan pekerja romusha sangat mengenaskan. Mereka dipaksa bekerja keras tanpa pengawasan medis, dan banyak yang sakit atau meninggal dunia akibat kondisi kerja yang sangat buruk. Situasi ini mengingatkan Tan Malaka pada kesenjangan sosial yang ada di Indonesia, dan semakin menguatkan tekadnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sejati.

Dalam perjalanan panjang Tan Malaka, kita bisa melihat bahwa perjuangannya tidak hanya sebatas politik atau militer, tetapi juga tentang perubahan mentalitas bangsa. Dengan ide-ide yang rasional dan revolusioner, Tan Malaka berusaha membangkitkan semangat kebangsaan yang berakar pada pemikiran rasional, pragmatis, dan fleksibel. Melalui karya-karyanya, seperti Madilog, ia berharap bangsa Indonesia dapat berpikir dengan lebih aktif, dinamis, dan mandiri, sehingga mampu menghadapi tantangan global dengan kepala tegak. Tan Malaka adalah contoh nyata dari seorang pejuang yang tak pernah padam semangatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan bangsa, meskipun menghadapi rintangan yang tak terhitung jumlahnya.

Perjalanan hidup Tan Malaka mengajarkan kita bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal pembebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang pembebasan mental dan budaya. Sebuah revolusi tidak hanya bisa dilihat dari perjuangan fisik, tetapi juga dari perubahan cara berpikir dan bertindak, yang akhirnya akan membawa bangsa ke arah kemajuan yang berkelanjutan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel