BAB 19: Setelah Badai: Bara dalam Abu

 BAB 19: Setelah Badai: Bara dalam Abu

By Akang Marta

 


Tahun-tahun berlalu, namun ingatan akan kasus ijazah dan pengorbanan Recky tak pernah sepenuhnya padam. Recky menjalani masa hukumannya di balik jeruji besi, sebuah ironi pahit bagi seorang jurnalis yang hanya ingin mengungkap kebenaran. Namun, bahkan dari dalam penjara, ia terus menjadi simbol perlawanan, bara yang tetap menyala di tengah abu ketidakadilan.

Bramastra, sang penjaga bara, tak pernah surut langkah. Buku yang ia tulis tentang investigasi Recky, tentang kesaksian Deni, dan tentang intrik politik di balik layar, akhirnya berhasil diluncurkan. Peluncurannya dilakukan secara sederhana, dengan dukungan dari komunitas netizen dan aktivis. Meskipun tidak mendapatkan liputan luas dari media mainstream, buku itu menyebar dari mulut ke mulut, dari satu diskusi daring ke diskusi daring lainnya, menjadi bestseller di kalangan mereka yang haus kebenaran.

Buku Bramastra menjadi semacam "kitab suci" bagi para skeptis, sebuah referensi yang terus-menerus dikutip dalam setiap perdebatan tentang integritas kepemimpinan. Di dalamnya, ia menguraikan secara rinci bagaimana ijazah itu diduga diproduksi di Pasar Premedia, janji-janji yang tidak ditepati, dan serangkaian peristiwa aneh yang mengiringi upaya penutupan rahasia ini.

Ibrami Nasdi, meskipun channel-nya terus menghadapi tantangan, tetap vokal.1 Ia sering mengundang Bramastra untuk berdiskusi, membahas perkembangan kasus, dan mengulang kembali seruan untuk transparansi dari UGGMNN dan pemerintah. Mereka berdua menjadi suara perlawanan yang konsisten, menjaga isu ini tetap relevan di tengah banjir informasi dan upaya penguasaan narasi oleh pihak berwenang.

 

Di balik Istana, meskipun Wiwirana telah menyelesaikan masa jabatannya, bayang-bayang isu ijazah terus membayangi. Penerusnya, yang juga berasal dari lingkaran kekuasaan yang sama, dihadapkan pada warisan yang kompleks. Setiap kali ada keraguan publik terhadap legitimasi kekuasaan, isu ijazah ini kembali mencuat, menjadi senjata bagi pihak oposisi dan elemen masyarakat yang kritis.

Widakdos, yang kini menjadi salah satu penasihat utama di belakang layar, terus memantau situasi dengan cermat. Ia tahu bahwa meskipun Recky dipenjara dan Deni menghilang, file kasus ijazah itu tidak pernah benar-benar ditutup. Ia tahu, di era digital ini, kebenaran tidak bisa sepenuhnya dikubur. Video wawancara Recky dengan Ibrami Nasdi, analisis Rai Satia, dan kesaksian Deni yang terekam, semuanya tetap ada di dunia maya, menunggu saat untuk kembali disulut.

Ia seringkali memikirkan Dani Mukidar. Sosok yang dikhianati oleh janji-janji politik, yang kini hidup dalam pelarian. Widakdos tahu, Deni adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak lagi jika ia memutuskan untuk kembali bersuara atau jika ia tertangkap oleh pihak yang berlawanan.

Pasar Premedia sendiri, setelah insiden kebakaran, telah dibangun kembali. Namun, bagi sebagian orang, bangunan baru itu tetap menyimpan kenangan pahit tentang rahasia-rahasia gelap yang pernah diproduksi di sana. Dua pelaku ijazah palsu yang tertangkap di tahun 2015, dan kemudian menghilang dari peredaran berita, tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan. Apakah mereka masih hidup? Apakah mereka tahu lebih banyak?

 

Di balik jeruji, Recky menerima berita tentang pembebasan Bombong Edi dan Gus Uru. Mereka telah menyelesaikan masa hukuman mereka. Meskipun dibebaskan, mereka tetap menjadi korban dari hukum yang tidak adil. Namun, keberadaan mereka di luar, meskipun dibungkam oleh ancaman, menjadi pengingat bahwa Recky tidak sendirian.

Recky sendiri mulai mempersiapkan diri untuk kebebasannya. Ia telah memanfaatkan waktunya di penjara untuk belajar, untuk menulis, dan untuk merancang langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa ketika ia bebas, perjuangan ini belum selesai. Justru, mungkin ia akan menjadi lebih kuat, lebih bertekad, dengan pengalaman pahit yang telah menggemblengnya.

Ia sering memikirkan perkataan Bramastra tentang hutang dengan Cina, tentang kemungkinan keadilan datang dari arah yang tak terduga. Itu adalah pemikiran yang absurd, namun di tengah situasi yang begitu kompleks, terkadang keadilan memang menemukan jalan yang tidak biasa.

Pada akhirnya, bagi Recky, ini bukan lagi tentang memenjarakan seseorang atau membuktikan sebuah kejahatan di mata hukum formal. Ini adalah tentang memastikan bahwa kebenaran itu sendiri tidak mati. Bahwa masyarakat tidak dibutakan oleh ilusi.

Ia yakin, bahwa suatu hari nanti, sejarah akan memberikan penilaiannya sendiri. Bahwa entah melalui cara apa, kebenaran tentang ijazah itu akan terungkap sepenuhnya, bukan hanya di ruang sidang yang manipulatif, tetapi di hadapan mata seluruh rakyat.

Bara dalam abu itu, yang ia sulut, yang dijaga oleh Bramastra dan Ibrami Nasdi, dan yang kini juga menyala di dalam dirinya, akan terus membara. Menunggu momen yang tepat untuk kembali menjadi kobaran api yang akan menerangi kegelapan dan menuntut keadilan sejati.

TAMAT.

 

Catatan:

Bab ini menjadi epilog yang merangkum dampak jangka panjang dari kasus ini. Fokusnya adalah pada Recky di penjara sebagai simbol perlawanan, bagaimana Bramastra menjaga api kebenaran tetap menyala melalui publikasi buku dan kolaborasi dengan Ibrami Nasdi, serta bagaimana isu ijazah tetap menjadi bara yang membara di bawah permukaan kekuasaan. Ada sentuhan pada nasib Widakdos dan Pasar Premedia, serta pembebasan Bombong Edi, dan pemikiran Recky tentang masa depan. Bab ini mengakhiri novel dengan nada bahwa meskipun keadilan formal mungkin belum tercapai, perjuangan kebenaran terus b

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel