BAB 18: Bara di Balik Jeruji
BAB 18: Bara di Balik Jeruji
By Akang Marta
Bab 18. Bab ini akan berfokus pada kehidupan Recky
di penjara, bagaimana ia terus berjuang dari balik jeruji, dan dampak jangka
panjang dari pengungkapan kebenaran. Ini juga akan menguatkan peran Bramastra
sebagai penjaga api kebenaran di luar.
Kehidupan di balik jeruji besi adalah sebuah
realitas yang keras, namun bagi Recky, itu juga menjadi semacam pengasingan
yang memberinya waktu untuk merenung dan menguatkan tekadnya. Dinding-dinding
penjara, meskipun membatasi geraknya, tidak mampu membatasi pikirannya. Ia
tahu, meskipun dinyatakan bersalah oleh hukum, ia telah memenangkan pertempuran
moral di hati banyak orang.
Selnya sempit, berbagi dengan beberapa narapidana
lain dengan kasus berbeda. Aroma lembap dan pengap menjadi teman sehari-hari.
Namun, Recky tak pernah merasa sendirian. Surat-surat dari Bramastra, walaupun
sering terlambat sampai, adalah jendela bagi dunia luar. Surat-surat itu
memberinya kabar tentang pergerakan di luar, tentang bagaimana api kebenaran
yang ia sulut terus dijaga oleh Bramastra dan kawan-kawan.
Bramastra, setia pada janjinya, tidak pernah
berhenti menyuarakan. Ia rajin mengunjungi Recky, membawa buku-buku, dan tak
lupa mengabarkan perkembangan terbaru. Buku yang sedang ditulisnya, yang
merangkum seluruh investigasi Recky dan kesaksian Deni, terus berjalan. Ia
bertekad untuk meluncurkannya, apapun risikonya.
"Rakyat mulai gerah, Recky," tulis
Bramastra dalam salah satu suratnya. "Mereka melihat ketidakadilan yang
menimpamu. Mereka melihat bagaimana hukum bisa dibengkokkan. Banyak yang mulai
mempertanyakan kembali legitimasi kekuasaan ini. Ini butuh waktu, tapi
kesadaran itu tumbuh."
Recky menghabiskan waktunya dengan membaca,
menulis, dan berinteraksi dengan narapidana lain. Ia mencoba memahami
perspektif mereka, mendengarkan cerita-cerita tentang ketidakadilan yang juga
mereka alami. Penjara, baginya, menjadi sebuah universitas kehidupan yang
keras, tempat ia belajar lebih banyak tentang sisi gelap sistem peradilan dan
kekuatan kesabaran.
Namun, di balik semua itu, ancaman tetap ada.
Beberapa kali, Recky menerima "kunjungan" tak resmi dari pihak yang
tidak ingin ia berbicara. Mereka mencoba mengintimidasi, mengancam keluarganya,
atau bahkan menawarkan "kesepakatan" untuk membebaskannya jika ia mau
mencabut semua pernyataannya.
Recky selalu menolak. "Saya sudah memilih
jalan ini," katanya kepada mereka. "Kebenaran tidak bisa
ditawar."
Di luar penjara, Bramastra merasakan beban yang
semakin berat. Penjualan buku yang ia tulis, meskipun belum resmi diluncurkan
secara luas, sudah menarik perhatian. Ia mendapati dirinya diawasi lebih
intens. Panggilan telepon dari nomor tak dikenal yang berisi ancaman, kini
lebih sering ia terima. Beberapa kali, ia merasa diikuti.
Ia tahu, risikonya semakin besar. Namun, ia tidak
bisa berhenti. Kematian Tado Kiemes yang menyimpan kekecewaan mendalam, wajah
Recky di persidangan, dan kesaksian Deni yang kini hidup dalam bayang-bayang,
semuanya memacu semangatnya. Ia adalah penjaga bara terakhir.
Ibrami Nasdi, meskipun channel-nya terus
menghadapi serangan siber, tetap menjadi corong. Ia mengundang aktivis hak asasi
manusia, pakar hukum, dan bahkan tokoh agama untuk membahas kasus Recky dan
implikasi yang lebih luas terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat di
Indonesia. Ia menggunakan setiap kesempatan untuk mengingatkan publik tentang
bahaya kekuasaan tanpa akuntabilitas.
"Kita tidak boleh lelah memperjuangkan
kebenaran," kata Ibrami Nasdi dalam salah satu siarannya. "Jika kita
diam, maka kebohongan akan menang. Dan jika kebohongan menang, masa depan anak
cucu kita akan dibangun di atas pasir kebohongan."
Sementara itu, Dani Mukidar, yang hidup dalam
persembunyian, mengikuti perkembangan dari jauh. Ia merasa lega bahwa Recky
telah mengungkapkan kisahnya, dan bahwa Bramastra terus menyuarakan. Namun, ia
juga merasakan ketakutan yang terus-menerus. Ia sering berpindah tempat,
mengubah identitasnya, hidup dalam ketidakpastian.
Janji Direktur Utama Pasar Jaya, yang dulu tampak
begitu menggiurkan, kini terasa seperti kutukan. Ia telah menjadi alat dalam
permainan kekuasaan, dan kini ia harus membayar harganya dengan kebebasan dan
kedamaian.
Ia seringkali bertanya-tanya, apakah kebenaran akan
benar-benar menang? Atau apakah ia dan Recky hanya akan menjadi catatan kaki
dalam sejarah, korban dari sebuah sistem yang terlalu kuat untuk digulingkan?
Di balik dinding Istana, Widakdos merasa situasi
sudah terkendali. Recky di penjara, Deni menghilang, dan narasi resmi telah
menang di mata media mainstream. Namun, ia tidak bisa
mengusir rasa gelisah yang tipis. Ada bara yang terus menyala di bawah
permukaan, dijaga oleh Bramastra dan orang-orang seperti Ibrami Nasdi.
"Ini belum berakhir," bisik suara di
kepala Widakdos. "Perjuangan kebenaran tidak pernah berakhir, hanya
berganti bentuk."
Widakdos menyadari bahwa meskipun mereka bisa
mengendalikan narasi di media mainstream dan
membungkam suara-suara kritis dengan jalur hukum, mereka tidak bisa mengontrol
pikiran dan hati masyarakat sepenuhnya. Semakin banyak orang yang mulai merasa
curiga, semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Di sebuah kunjungan rutin, Bramastra membawa koran
yang memberitakan tentang peningkatan utang negara kepada Cina. Recky
membacanya dengan seksama. Ia teringat ucapan Ibrami Nasdi di awal, tentang
hutang dengan Cina.
"Ini akan jadi bom waktu yang lain,
Recky," kata Bramastra. "Utang-utang ini. Nanti kalau Cina mau
nangkap mereka, bawa ke Cina, dihukum dengan hukum Cina. Itu urusan Cina."
Recky tersenyum tipis. Sebuah pemikiran yang
absurd, namun juga menyimpan ironi pahit. Mungkin, keadilan akan datang dari
arah yang paling tidak terduga.
Di balik jeruji, Recky tetap menulis. Bukan lagi
hanya investigasi, melainkan sebuah memoar. Sebuah catatan tentang perjuangan
yang ia jalani, tentang kebenaran yang ia yakini, dan tentang harapan bahwa
suatu hari nanti, keadilan akan benar-benar ditegakkan di tanah airnya. Bara di
balik jeruji itu, ia pastikan, tidak akan pernah padam. Ia akan terus menyala,
menjadi pengingat bagi setiap kebohongan yang terungkap.
Catatan:
Bab ini berfokus pada kehidupan Recky di penjara,
bagaimana ia menghadapi tekanan dan ancaman, serta bagaimana Bramastra terus
menjaga api kebenaran tetap menyala di luar melalui tulisan dan dukungan
publik. Ini juga menyentuh kembali pada Deni yang hidup dalam persembunyian,
dan kekhawatiran Widakdos meskipun ia merasa "menang". Terakhir,
mengulang kembali pemikiran tentang utang ke China sebagai potensi
"karma" atau keadilan yang tak terduga, memberikan sentuhan ironi dan
ketidakpastian masa depan.