Bagian 15: Pertemuan Tak Terduga
Bagian 15: Pertemuan Tak Terduga
Hari-hariku sebagai admin di toko kecil berjalan tenang. Rutinitas baru
ini memberiku kesempatan untuk lebih banyak berpikir dan merenung. Aku sering
memandang lenganku yang telah diamputasi, bukan dengan rasa sesal, melainkan
dengan penerimaan. Bekas luka itu adalah pengingat konstan akan perjalanan yang
telah kulalui.
Suatu sore, saat aku sedang membereskan inventaris di gudang toko,
ponselku berdering. Nomor tak dikenal. Aku ragu mengangkatnya, tapi entah
mengapa, ada dorongan kuat untuk melakukannya.
"Halo?" sapaku.
"Afrizal?" suara seorang wanita terdengar di ujung telepon,
lembut namun sedikit ragu.
"Ya, ini saya. Dengan siapa?" tanyaku.
"Saya Rina. Saya... saya dulu bekerja di pabrik tempat Anda
mengalami kecelakaan."
Jantungku berdebar. Rina? Aku tidak mengenalnya. Apakah dia salah satu
karyawan yang sering kulihat tapi tidak pernah berinteraksi langsung? Atau
apakah dia salah satu dari mereka yang melihat nenek itu?
"Pabrik yang mana, ya?" aku mencoba memastikan, meskipun firasatku
sudah kuat.
"Pabrik giling yang di Bekasi itu, Pak," jawabnya. "Saya
dengar cerita Anda dari teman-teman yang masih kontak. Saya... saya sangat
prihatin dengan apa yang terjadi pada Anda."
"Terima kasih," kataku, masih sedikit bingung. "Ada yang
bisa saya bantu, Mbak Rina?"
"Saya hanya ingin... ingin tahu apakah Anda baik-baik saja,"
suaranya sedikit bergetar. "Dan juga... saya ingin tahu apakah Anda pernah
merasakan atau melihat sesuatu yang aneh di sana?"
Aku terdiam sejenak. Akhirnya, seseorang yang bisa memahami apa yang
kualami. "Mbak Rina juga mengalaminya?" tanyaku pelan.
"Dulu, saat saya bekerja di sana, saya sering merasa tidak nyaman,
Pak. Terutama di dekat area mesin giling. Kadang saya mencium bau aneh, atau
merasa seperti ada yang mengawasi. Teman-teman saya juga sering cerita hal-hal
aneh. Sampai akhirnya, setelah kejadian Anda, saya memutuskan untuk
berhenti."
Kami berbicara cukup lama. Rina menceritakan beberapa pengalaman aneh
yang dialaminya dan teman-temannya di pabrik. Cerita-cerita itu menguatkan
dugaanku bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tempat itu. Ternyata, bukan
hanya aku yang merasakan keberadaan nenek itu.
Di akhir percakapan, Rina mengajukan sebuah pertanyaan yang tak terduga.
"Saya dengar, pabrik itu akan dirobohkan, Pak. Apakah Anda ingin ikut
melihatnya?"
Aku terkejut. Pabrik itu akan dirobohkan? Entah mengapa, ada perasaan
campur aduk. Di satu sisi, aku ingin melupakan tempat itu. Di sisi lain, ada
rasa ingin tahu yang kuat untuk melihatnya terakhir kali.
"Kapan?" tanyaku.
"Minggu depan, hari Sabtu. Saya bisa jemput Anda kalau mau."
Aku berpikir keras. Ini adalah kesempatan untuk benar-benar menutup
babak kelam itu dalam hidupku. "Baiklah, Mbak Rina. Terima kasih."