Investigasi Kompas: Menguak Jaringan Buzzer, dari Politik Hingga Penipuan Ulasan
Latar Belakang dan Dampak Buzzer
Irene Sarwian Ningroom, Wakil Kepala Divisi Investigasi dan Jurnalisme
Data Harian Kompas, menjelaskan bahwa investigasi ini dilatarbelakangi oleh
semakin kaburnya kebenaran di internet. Sulitnya membedakan mana yang benar,
mana yang salah, atau bahkan yang abu-abu, telah menjangkau berbagai level
masyarakat, bukan hanya di tingkat elit. Kompas khawatir bahwa jika praktik
buzzer dibiarkan, masyarakat akan semakin bingung dan narasi yang sesuai dengan
kepentingan buzzer akan menguasai ruang publik, bukan lagi demi kepentingan
umum.
Identifikasi Aktivitas Buzzer: Organik atau Mesin?
Nova Mujahid, Senior Analis Drone Emprit, menjelaskan bahwa ada berbagai
cara untuk mengidentifikasi postingan atau akun yang organik atau yang
dilakukan oleh mesin (bot). Verifikasi dapat dilakukan dengan mengunjungi
profil pengguna, melihat pola postingan sebelumnya, dan keragaman aktivitas
mereka (misalnya, apakah mereka pernah menyukai atau me-retweet). Akun yang
organik cenderung memiliki aktivitas yang lebih beragam.
Namun, mengidentifikasi apakah akun organik tersebut adalah buzzer juga
bisa dilakukan. Buzzer cenderung memposting unggahan yang lebih emosional.
Platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram juga memiliki
mekanisme untuk mendeteksi akun non-organik. Jika terindikasi bukan akun
organik, platform dapat menangguhkan akun tersebut untuk sementara.
Modus Operandi Buzzer
Irene menjelaskan bahwa kerja buzzer bermacam-macam, mulai dari
membelokkan narasi, membuat berita bohong (hoax), hingga memotong-motong
informasi agar narasi publik berbelok sesuai kepentingan mereka. Bahkan, mereka
juga melakukan "basing produk" dengan cara yang tidak etis. Meskipun
narasi mereka seringkali terkesan punya kepentingan publik dan menyentuh emosi,
di baliknya selalu ada kepentingan yang akan diuntungkan jika narasi tersebut
menjadi pembicaraan masif di ruang digital.
Aktivitas buzzer kini merata di berbagai sektor, termasuk produk
(bisnis), politik, dan kampanye yang membutuhkan perhatian publik. Nova
menambahkan bahwa aktivitas buzzer sebenarnya sudah lama ada, setidaknya sejak
2008 di Amerika Serikat, dan di Indonesia mulai marak sejak 2013-2014, awalnya
justru untuk kegiatan politik. Setelah 2019, aktivitas politik buzzer sedikit
menurun, dan setelah pandemi COVID-19, bergeser ke bisnis, termasuk judi
online. Sejak 2020, penggunaan buzzer untuk bisnis meningkat di Indonesia,
sehingga pada 2023-2025, masyarakat kesulitan membedakan review produk yang
asli atau buatan buzzer di marketplace atau Google Review.
Jaringan dan Struktur Buzzer
Irene mengungkap bahwa buzzer memiliki jaringan yang luas. Orang-orang
dalam jaringan tersebut bisa saling menggunakan, dan meskipun jumlah pastinya
tidak terukur, ada yang mengaku memiliki akses ke antara 5.000 hingga 70.000
"pasukan". Pasukan ini adalah manusia, dan masing-masing dari mereka
kemungkinan memiliki beberapa akun sekaligus. Bahkan, satu orang bisa memegang
ratusan hingga ribuan akun dengan alat seperti "font farming" (ternak
akun) dan panel platform di internet untuk meningkatkan kekuatan akun mereka.
Struktur kerja buzzer terbagi dalam beberapa tingkatan atau lapis. Ada
koordinator yang mengelola beberapa grup, dengan satu grup berisi sekitar 200
hingga 250 orang. Sistemnya mirip piramida, di mana informasi dan instruksi
disebarkan dari koordinator ke bawah. Para koordinator ini memiliki data
orang-orang yang dipercaya dalam jaringan mereka, dan mereka tersebar di
berbagai wilayah, dari Aceh hingga Papua. Mereka bekerja di tempat
masing-masing, bahkan sambil santai.
Profesi para buzzer sangat beragam, mulai dari ibu rumah tangga,
karyawan swasta, hingga pekerja media sosial atau analis media sosial.
Menariknya, mereka yang berada di tingkat atas, yang merancang kampanye, justru
memiliki pendidikan tinggi dan kemahiran serta ilmu komunikasi yang canggih
dalam mengenali narasi di dunia maya.
Tarif dan Biaya Operasi Buzzer
Investigasi Kompas juga mengungkap besaran bayaran buzzer. Untuk tingkat
tinggi, satu proyek bisa menghasilkan miliaran rupiah untuk satu orang
koordinator. Namun, jumlah miliaran rupiah ini dianggap "kecil" oleh
koordinator tersebut, karena akan dibagi ke jaringannya.
Untuk buzzer di tingkat bawah, terutama untuk kampanye politik,
bayarannya bisa mencapai Rp80.000 hingga Rp100.000 per aksi (misalnya, komen,
like, atau live). Sementara itu, untuk isu-isu yang tidak berisiko, bayarannya
lebih rendah, sekitar Rp15.000 hingga Rp25.000. Bahkan, karena adanya
perantara, ada yang hanya menerima beberapa ratus hingga ribu rupiah.
Konten yang diposting buzzer juga dikoordinasikan. Narasi umum dirancang
di tingkat atas, kemudian diterjemahkan lebih spesifik oleh koordinator, dan ada
pula content creator. Di tingkat paling bawah, perintah sudah sangat spesifik
dan sederhana, seperti "komen begini-begini".
Total biaya yang dikeluarkan untuk mengorganisir buzzer dalam satu
proyek politik bisa sangat besar. Salah satu koordinator mengaku mendapat Rp6
miliar untuk satu proyek. Dari penelusuran dokumen, ditemukan bahwa sekitar
Rp1,4 triliun terindikasi digunakan untuk proyek buzzer dalam dua tahun
terakhir (2024-2025). Angka ini kemungkinan hanya puncak gunung es, menunjukkan
betapa efektifnya praktik ini dalam membelokkan opini. Isu-isu yang diviralkan
oleh buzzer mencakup politik, ekonomi, lingkungan, dan banyak lagi.
Peran Buzzer dalam Penipuan Ulasan Produk
Data jajak pendapat Litbang Kompas (19-22 Mei 2025) menunjukkan bahwa
84,3% konsumen toko daring pernah tertipu ulasan saat berbelanja online. Mereka
kecewa karena membeli produk berdasarkan ulasan yang ternyata tidak sesuai
kenyataan. Sebanyak 98% responden menyatakan membaca ulasan sebelum membeli
barang secara daring. Ini menunjukkan bahwa teori "mulut ke mulut"
atau ulasan sangat berpengaruh dalam keputusan pembelian.
Irene menjelaskan bahwa ini adalah salah satu industri yang ditemukan,
yaitu "bisnis pembelian dan ulasan". Buzzer, kebanyakan ibu-ibu,
dibayar untuk memberikan ulasan positif dan bahkan membeli barang sendiri agar
ulasan terlihat asli. Ada juga yang pura-pura membeli (melakukan pembayaran
resmi, checkout resmi) tetapi barang tidak dikirim. Ada pula yang benar-benar
membeli dan barang dikirim, tetapi mereka tetaplah buzzer yang dibayar.
Tujuan utama praktik ini adalah untuk meningkatkan poin atau kepercayaan
toko tertentu, membuat barang terlihat bagus, dan akhirnya meningkatkan
penjualan. Buzzer ini melakukan "soft selling" dengan memberikan
kesaksian.
Sulitnya Membedakan Ulasan Asli dan Buzzer
Masyarakat awam kesulitan membedakan ulasan yang benar-benar organik
dari ulasan buzzer, bahkan ketika ada foto atau video. Irene menjelaskan bahwa
jika jumlah pembelian sudah sangat banyak (puluhan ribu), kemungkinan besar
ulasan dapat dipercaya. Namun, di luar itu, sulit untuk membedakannya. Jika
pembelian masih di bawah 20.000, sangat sulit dideteksi. Bahkan agensi yang
sering mengatur pun kesulitan membedakannya, mereka mengakui bahwa ulasan di
berbagai platform sudah tidak bisa lagi diandalkan.
Nova menyarankan agar masyarakat melihat ulasan yang paling buruk
terlebih dahulu. Selain itu, perhatikan berapa lama toko itu sudah berdiri. Jika
toko baru berusia 1-3 bulan tetapi penjualannya sangat tinggi, patut dicurigai.
Nova mengakui bahwa memang sulit untuk membedakan ulasan yang benar dan yang
dibuat-buat.
Solusi dan Peran Berbagai Pihak
Untuk mengatasi masalah ini, Irene menekankan pentingnya peran
pemerintah dalam meningkatkan literasi digital masyarakat di tingkat bawah.
Literasi ini harus praktis dan bisa diaplikasikan, bukan hanya teoritis. Hal
ini membutuhkan kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk
melakukannya secara masif.
Nova menambahkan bahwa mengatur buzzer secara langsung mungkin sulit,
tetapi kolaborasi antara pemerintah dan netizen sangat penting untuk
menciptakan ruang digital yang sehat. Pondasi dari semua ini adalah literasi.
Selama ini, literasi di media sosial banyak dilakukan oleh komunitas, sementara
pemerintah lebih banyak berkutat pada peraturan. Kolaborasi antara netizen,
komunitas, dan pemerintah tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Penting bagi pengguna media sosial untuk selalu berpikir kritis dan
meningkatkan literasi. Ketika sesuatu menjadi trending topik atau ramai
dikampanyekan, patut dipertanyakan apakah ada hal lain di balik narasi
tersebut. Nova juga menyarankan untuk kembali pada jurnalisme. Jika ada
informasi yang mencurigakan, periksa di media massa yang memiliki kredibilitas.
E-commerce besar juga mulai memerangi praktik buzzer ini dengan berbagai
cara dan langkah tegas, karena merasa sangat dirugikan.
Secara keseluruhan, fenomena buzzer ini adalah ancaman serius bagi
kesehatan ruang digital dan kepercayaan publik. Diperlukan upaya kolektif dan
sinergis dari pemerintah, platform media sosial, jurnalis, dan masyarakat untuk
memerangi praktik ini dan memastikan kebenaran dapat tetap menjadi panduan di
era digital.
Kontren Kreator
Akang Marta
Indramayutradisi.com