Masa Depan Pendidikan Tinggi: Mewujudkan Universitas yang Layak Diperjuangkan
Masa Depan Pendidikan Tinggi: Mewujudkan Universitas yang Layak
Diperjuangkan
Oleh: Sumarta
Dosen dan Peneliti
IAI Padhaku Indramayu
Pendidikan Tinggi, Masihkah Ia Memiliki Masa Depan?
Pendidikan tinggi di abad ke-21 sedang berada di persimpangan jalan yang
genting. Ketika teknologi berkembang pesat dan tekanan sosial-ekonomi
meningkat, pertanyaan yang mengemuka bukan hanya soal kualitas akademik, tetapi
juga tentang eksistensi dan relevansi institusi pendidikan tinggi itu sendiri.
Apakah pendidikan tinggi masih memiliki masa depan? Bila iya, masa depan
seperti apa yang layak diperjuangkan?
Sebuah diskusi yang digelar di The Graduate Center, City University of
New York (CUNY), berjudul The Future of Higher Education, menjadi ruang
refleksi dan proyeksi yang penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Acara ini bukan hanya sebuah forum diskusi, tetapi juga sebuah
perayaan 10 tahun berdirinya Futures Initiative—sebuah inisiatif yang
telah menjadi motor penggerak keadilan dan inovasi dalam riset, pengajaran, dan
pelayanan publik dalam pendidikan tinggi.
Namun di balik perayaan itu, tersirat kegelisahan yang nyata: gelombang
defunding terhadap institusi publik, hilangnya kepercayaan terhadap sains dan
humaniora, serta ancaman ideologis terhadap pendidikan sebagai public good.
Semua ini menantang kita untuk merumuskan kembali apa itu pendidikan tinggi dan
mengapa ia perlu dipertahankan, bahkan diperjuangkan.
Pendidikan Tinggi sebagai Aset Publik
Salah satu tema sentral dari diskusi ini adalah bahwa pendidikan tinggi
bukanlah semata produk pasar, melainkan public good—barang publik yang
manfaatnya melampaui individu. Seperti yang dikemukakan oleh Cathy Davidson,
pendiri Futures Initiative, pendidikan tinggi berdampak tidak hanya pada
peningkatan pendapatan seseorang, tetapi juga pada kesehatan, stabilitas
sosial, bahkan harapan hidup.
Namun sayangnya, narasi pendidikan sebagai investasi jangka panjang bagi
masyarakat kini kalah oleh narasi neoliberal yang menekankan efisiensi,
kompetisi, dan keuntungan jangka pendek. Akibatnya, seni, humaniora, dan bahkan
sains kini menjadi sasaran penghematan anggaran dan delegitimasi politik.
Dalam hal ini, Cathy dengan tajam menunjukkan bahwa masyarakat
sebenarnya belum kehilangan kepercayaan terhadap pendidikan tinggi—mereka hanya
kehilangan keyakinan bahwa institusi pendidikan mampu menjadi solusi bagi
problem nyata masyarakat. Orang tua masih berjuang keras agar anak-anaknya
masuk universitas. Mahasiswa generasi pertama, seperti yang banyak ditemukan di
CUNY, adalah bukti optimisme yang hidup tentang transformasi sosial melalui
pendidikan.
Melampaui Sekat Disiplin: Kolaborasi sebagai Kunci
Dalam diskusi panel tersebut, pertanyaan menarik yang diajukan adalah: Bagaimana
seni, humaniora, dan sains bisa bekerja sama membela pentingnya pengetahuan dan
pemahaman kritis?
Jawabannya tidaklah sesederhana menggabungkan mata kuliah atau
menciptakan kurikulum lintas disiplin. Lebih dari itu, kita perlu membangun ekosistem
kolaboratif antara universitas dan masyarakat. Seperti yang ditegaskan oleh
Nancy Cantor, Presiden Rutgers University-Newark, penting bagi institusi
pendidikan untuk turun ke lapangan, menjalin hubungan dua arah dengan
komunitas, dan mengakui adanya komunitas ahli di luar kampus—mereka yang
punya pengalaman, pengetahuan lokal, dan kapasitas untuk menjadi mitra sejajar
dalam memproduksi solusi.
Inisiatif seperti Humanities Action Lab, yang melibatkan
mahasiswa dan dosen dalam proyek cerita komunitas tentang ketimpangan iklim dan
keadilan sosial, menjadi contoh konkret dari pendekatan ini. Pendekatan semacam
ini menggeser posisi universitas dari menara gading menjadi aktor sosial yang
aktif dan relevan.
Krisis Legitimasi dan Urgensi Narasi Baru
Dalam atmosfer politik yang penuh dengan disinformasi, skeptisisme
terhadap sains, dan retorika anti-intelektual, universitas dituntut untuk tidak
hanya berkontribusi melalui riset, tetapi juga melalui narasi. Seperti
yang dikatakan Cathy Davidson, kita harus belajar menceritakan kembali
kisah pendidikan tinggi—kisah yang menyentuh manusia, menampilkan dampaknya
secara nyata, dan membuktikan bahwa kampus bukan hanya tempat kuliah, tetapi
juga tempat harapan dilahirkan dan masa depan dibentuk.
Di sinilah pentingnya storytelling dalam mengubah persepsi
publik. Kepala Uber, dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa dua hal paling
berguna yang ia pelajari di kampus adalah keterampilan bisnis dan kemampuan
bercerita. Ini mengilustrasikan bahwa integrasi antara ilmu dan narasi bukan
hanya mungkin, tapi perlu.
Universitas perlu lebih proaktif dalam menceritakan peran mereka dalam
menyelesaikan krisis iklim, meningkatkan kualitas hidup, dan memperluas
kesempatan sosial. Bukan sekadar memproduksi jurnal ilmiah, tetapi menyampaikan
pesan dengan cara yang bisa dipahami dan dirasakan oleh publik luas.
Masa Depan: Endurance, Inklusi, dan Tanggung Jawab Antar-generasi
Shelly Eversley, direktur baru Futures Initiative, mengangkat ide
penting tentang endurance—ketahanan dan daya hidup ide-ide untuk masa
depan yang belum kita lihat. Ia mengajak kita semua untuk memikirkan apa yang
bisa kita lakukan hari ini demi masa depan 30 atau 50 tahun mendatang.
Bagaimana generasi mendatang akan memandang keputusan-keputusan yang kita buat
hari ini?
Pendidikan tinggi harus menjadi institusi yang mempersiapkan masa depan,
bukan sekadar beradaptasi dengan tuntutan pasar jangka pendek. Ia harus
mempertahankan nilai-nilai dasar seperti pemikiran kritis, kebebasan akademik,
dan keterbukaan terhadap keberagaman perspektif. Ini tidak bisa dicapai jika
kampus menjadi tempat yang tunduk pada tekanan politik, ideologis, atau
ekonomi.
Justru pada saat inilah, menurut para pembicara, kampus perlu menjadi
ruang perlawanan produktif—melawan pengkerdilan ilmu pengetahuan,
melawan komersialisasi pendidikan, dan melawan penghapusan seni dan humaniora
dari peta kebijakan.
Universitas yang Layak Diperjuangkan
Satu pertanyaan mendalam yang menggema dalam diskusi ini adalah: What
is the university worth fighting for?
Jawabannya tentu bukan universitas yang eksklusif, elitis, dan berorientasi
pada keuntungan. Yang layak diperjuangkan adalah universitas yang menjadi rumah
bersama bagi ide-ide progresif, keberagaman sosial, dan keberanian
intelektual. Universitas yang menampung mahasiswa generasi pertama, minoritas,
imigran, dan semua yang selama ini termarginalkan oleh sistem.
Universitas masa depan haruslah demokratis, terbuka, dan partisipatif.
Ia harus menjadi tempat di mana ilmu pengetahuan bertemu dengan keadilan
sosial, dan di mana kreativitas bersanding dengan keberanian moral.
Menyalakan Obor Harapan
Diskusi tentang masa depan pendidikan tinggi tidak hanya penting, tetapi
juga mendesak. Di tengah tantangan politik, ekonomi, dan sosial, kita
dihadapkan pada dua pilihan: menyerah atau berjuang. Dan seperti yang ditunjukkan
oleh Futures Initiative selama satu dekade terakhir, perjuangan itu
tidak sia-sia.
Dengan kolaborasi antar-disiplin, penguatan hubungan dengan komunitas,
dan narasi yang menggugah, pendidikan tinggi dapat tetap menjadi mercusuar
harapan. Kita hanya perlu keberanian untuk merebut kembali definisi
universitas—bukan sebagai perusahaan, tetapi sebagai komunitas berpikir yang
dibangun untuk kepentingan publik.
Jadi, apakah pendidikan tinggi masih memiliki masa depan? Jawabannya
adalah: ya, bila kita mau memperjuangkannya. Bukan untuk diri kita sendiri,
tapi untuk generasi yang belum lahir—demi dunia yang lebih adil, cerdas, dan
manusiawi.
Penutup
Dalam semangat refleksi dan aksi, marilah kita hidupkan kembali mimpi
tentang universitas yang bukan hanya tempat mencari gelar, tetapi tempat
membangun masa depan bersama. Universitas yang worth fighting for
bukanlah utopia, tetapi sebuah tanggung jawab moral dan sosial yang menuntut
komitmen kita hari ini.
Masa depan pendidikan tinggi bukan ditentukan oleh anggaran atau
kebijakan semata, tetapi oleh keberanian kita untuk terus berpikir, bertanya,
dan bermimpi. Sebab sebagaimana sejarah telah mengajarkan, peradaban yang besar
lahir dari keberanian untuk membayangkan dunia yang lebih baik dan itu selalu
dimulai dari ruang-ruang belajar yang merdeka.
Catatan akhir: Artikel ini merupakan refleksi dan interpretasi bebas
berdasarkan pidato dan diskusi dalam acara The Future of Higher Education di
CUNY.