Universitas yang Layak Diperjuangkan Dari Sekat Ilmu ke Komunitas Tak Terpisahkan

 Universitas yang Layak Diperjuangkan Dari Sekat Ilmu ke Komunitas Tak Terpisahkan

Oleh: Sumarta

Dosen dan Peneliti

IAI Padhaku Indramayu




Di era di mana kampus tak hanya menjadi tempat belajar tetapi juga medan tempur bagi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, dan kemajuan sosial, kita perlu kembali mengajukan satu pertanyaan mendasar: Apa yang sebenarnya kita perjuangkan ketika berbicara tentang universitas? Pertanyaan ini tidak hanya tentang infrastruktur akademik atau kualitas pengajaran, tetapi tentang jiwa institusi pendidikan tinggi itu sendiri.

Dalam refleksi mendalam dari berbagai tokoh akademisi dan pemimpin institusi seperti Cathy, Nancy, Bill Kelly, dan Maurice Wallace dalam diskusi publik, tersingkap bahwa perjuangan untuk mempertahankan dan menghidupkan universitas bukan sekadar soal anggaran atau otonomi akademik. Ini adalah soal visi, keberanian moral, dan relasi antara kampus dengan masyarakatnya. Dan dalam konteks ini, dua kata kunci mencuat sebagai pusat gravitasi perdebatan: komunikasi dan keberpihakan yang membedakan antara sekadar menjadi sekutu (ally) dan menjadi kawan seperjuangan (comrade).

 

Sekat Ilmu dan Disintegrasi Kehidupan

Cathy membuka perenungan dengan menyentil cara sekolah telah memisah-misahkan hidup ke dalam “mata pelajaran.” Teknologi, seni, narasi, dan sains seolah menjadi entitas yang tak saling bersinggungan. Padahal, dalam hidup nyata, semua itu saling bertaut dan tak bisa dipisahkan.

Di sinilah letak tantangan utama pendidikan tinggi: bagaimana universitas bisa menghidupkan kembali keterhubungan antardisiplin, agar sains tidak terasing dari nilai kemanusiaan, agar teknologi tidak lepas dari etika, dan agar seni serta cerita tidak menjadi pelarian, tetapi menjadi cara berpikir yang menggerakkan.

Universitas yang layak diperjuangkan adalah yang menolak sekat-sekat semu ini. Ia merayakan keterhubungan antarmanusia dan antarpengetahuan. Ia membangun ruang di mana cerita dan data duduk berdampingan, di mana kreativitas dan logika saling menguatkan, dan di mana pengajaran bukan soal mengisi otak, tetapi menyalakan hati.

 

Pergeseran Relasi antara Universitas dan Publik

Bill Kelly, dengan pengalaman panjang sebagai pemimpin universitas dan lembaga riset, menyoroti satu hal penting: terputusnya hubungan antara universitas dan komunitas pendananya rakyat. Di era awal pembentukan institusi publik seperti Universitas Michigan, semangat land-grant yang diusung melalui Morrill Act 1862 menjanjikan bahwa pendidikan tinggi adalah hak bersama, bukan hak istimewa.

Namun kini, menurut Bill, relasi itu telah melemah. Banyak masyarakat tak lagi merasa universitas adalah bagian dari hidup mereka. Bahkan dalam banyak kasus, dukungan masyarakat lebih banyak didasari sentimen emosional terhadap kesebelasan sepak bola kampus daripada terhadap riset atau program sosial kampus tersebut.

Bill menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk kembali menyatu dengan publik adalah dengan menjadi “indispensable” tak tergantikan. Artinya, universitas harus membuktikan bahwa keberadaannya sangat berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat: melalui riset terapan, layanan publik, pendidikan bermakna, dan kehadiran nyata dalam isu-isu sosial.

 

Sekutu vs. Kawan Seperjuangan: Krisis Keberanian?

Shelly dan Maurice Wallace memperdalam diskusi dengan membedah relasi internal dan eksternal universitas: apakah kita saling menjadi sekutu, atau kawan seperjuangan? Jodi Dean, dalam bukunya Comrade, menyatakan bahwa sekutu hanya hadir ketika situasi nyaman, sementara kawan seperjuangan hadir bahkan saat risiko besar membayangi.

Pertanyaannya kemudian: apakah para pemimpin institusi saat ini masih memiliki keberanian untuk menjadi comrade? Ataukah mereka lebih nyaman menjadi ally tampil simbolik tapi tanpa risiko?

Maurice menggarisbawahi bahwa kawan seperjuangan bukan hanya hadir, tetapi bertanggung jawab dan bersedia menanggung risiko bersama. Dan universitas pun, jika ingin mendapatkan kawan seperjuangan dari masyarakat, harus terlebih dahulu menunjukkan bahwa ia juga bersedia menjadi bagian dari masyarakat, bukan menara gading yang memandang publik dari kejauhan.

 

Krisis Komunikasi, Bukan Hanya Krisis Dana

Banyak masalah universitas hari ini bukan karena kurangnya dana semata, tapi karena gagal menjelaskan kepada publik mengapa mereka layak diperjuangkan. Ketika ribuan hibah dari lembaga seperti National Endowment for the Humanities (NEH) dipotong, masyarakat tidak tahu apa maknanya bagi kehidupan mereka.

Ini adalah kegagalan naratif.

Kita tidak sedang kekurangan penelitian bermutu, tetapi kita kekurangan cerita yang bisa dirasakan publik. Kita tidak sedang kekurangan program pengabdian, tapi kita kekurangan jembatan untuk menjelaskan dampaknya ke kehidupan nyata. Kita tidak sedang kekurangan kerja keras akademisi, tetapi kita kekurangan cara menyampaikan bahwa kerja keras itu menyentuh dapur dan harapan rakyat banyak.

Dengan kata lain, universitas harus belajar kembali bercerita bukan untuk menjual, tetapi untuk membangun kepercayaan dan keterhubungan. Karena dalam dunia yang dipenuhi informasi, yang paling didengar adalah yang paling menyentuh.

 

Universitas sebagai Ruang Komunitas, Bukan Hanya Akademik

Maurice Wallace menyampaikan gagasan kuat bahwa universitas bukan hanya milik “mereka yang bekerja atau belajar di kampus.” Universitas juga adalah milik tukang kebun yang merawat halaman kampus, warga sekitar yang ikut terkena dampak pembangunan gedung baru, pedagang kecil di sekitar area, dan bahkan masyarakat luas yang menjadi bagian dari ekosistem sosial-ekonomi kampus.

Jika universitas ingin mengklaim diri sebagai institusi publik, maka ia juga harus menjadikan komunitas sebagai bagian dari dirinya sendiri, bukan objek yang dilayani secara sepihak. Ini bukan tentang siapa di dalam dan siapa di luar. Ini tentang kita tentang bagaimana universitas bicara tentang “kami” dan benar-benar merujuk pada semua pihak, bukan hanya segelintir elite akademik.

 

Daya Tarik: Menjadi Tak Tergantikan dan Tak Terbantahkan

Bill mengatakan universitas harus menjadi “indispensable,” tapi Maurice menambahkan satu dimensi penting: selain tak tergantikan, universitas juga harus menjadi tak terbantahkan atau dalam kata lain, irresistible. Ini bukan soal pameran citra, tetapi soal bagaimana universitas bisa memancarkan energi dan gairah yang membuat orang ingin terlibat, ingin mendukung, ingin menjadi bagian darinya.

Bagaimana caranya?

·         Dengan menghadirkan ruang dialog yang nyata, bukan sekadar seminar tertutup.

·         Dengan mengundang masyarakat dalam kuliah umum, bukan sekadar lewat undangan simbolik.

·         Dengan memanfaatkan media publik untuk menjangkau suara publik.

·         Dengan hadir dalam isu-isu rakyat, bukan hanya riset jurnal bereputasi.

 

Kesimpulan: Universitas Layak Diperjuangkan Bila Ia Menjadi Ruang Kemanusiaan

Dari diskusi yang mengalir dan jujur ini, kita bisa menyimpulkan satu hal: universitas layak diperjuangkan bila ia menjadi ruang untuk membangun kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Bukan sekadar tempat belajar atau bekerja, tetapi tempat bertumbuh bersama sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak.

Universitas masa depan bukan hanya diukur dari peringkat global atau jumlah publikasi. Ia diukur dari sejauh mana ia menyentuh hidup rakyat, menggerakkan perubahan sosial, dan membangun solidaritas lintas batas.

Dan untuk itu, kita semua harus memilih: akan menjadi sekutu yang nyaman, atau kawan seperjuangan yang berani?

Karena hari ini, universitas tidak hanya butuh pembela.

Ia butuh pejuang. Dan perjuangan itu, dimulai dengan cerita yang kita pilih untuk kita bagikan—dan hidupkan.

Catatan akhir: Artikel ini merupakan refleksi dan interpretasi bebas berdasarkan pidato dan diskusi dalam acara The Future of Higher Education di CUNY.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel