Pelajaran dari Koperasi Venezuela: Menjelajahi Ideal dan Realitas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan
Pelajaran
dari Koperasi Venezuela: Menjelajahi Ideal dan Realitas Pembangunan Ekonomi
Kerakyatan
Pengalaman pembangunan ekonomi di berbagai negara
seringkali menjadi cermin berharga yang memantulkan baik keberhasilan maupun
tantangan. Salah satu contoh yang paling menarik dan penuh pelajaran adalah
kisah program koperasi di Venezuela di bawah kepemimpinan
mendiang Presiden Hugo Chavez. Kisah ini adalah narasi kompleks yang
sarat dengan idealisme sosialis, ambisi besar, namun juga dihadapkan pada
realitas implementasi yang rumit. Bagi Indonesia, yang kini sedang menggulirkan
program masif seperti Koperasi Merah Putih, pengalaman Venezuela menawarkan
perspektif krusial tentang pentingnya tata kelola yang kuat, pemahaman pasar
yang mendalam, dan integritas dalam menjalankan program ekonomi kerakyatan.
Chavez, seorang pemimpin yang sangat populis dengan
visi sosialis yang kuat, meyakini bahwa koperasi adalah alat
revolusioner untuk melunasi "utang sosial" negara kepada
rakyatnya, terutama mereka yang terpinggirkan oleh sistem kapitalis. Ia
memandang koperasi sebagai jalan tercepat untuk memberdayakan ratusan ribu
pekerja miskin yang selama ini "dizalimi". Visi mulianya adalah
mengubah kepemilikan yang berbasis kapitalis, di mana properti dan kekayaan
dikuasai oleh segelintir pemilik modal, menjadi milik kolektif bersama melalui
wadah koperasi. Ini adalah jantung dari filosofi Revolusi Bolivarian yang
digaungkannya, sebuah gerakan politik yang berjanji untuk mengurangi kemiskinan
dan kesenjangan sosial ekstrem dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam
negara, khususnya minyak.
Untuk mewujudkan visinya, Chavez tidak memulai
dengan gelontoran dana langsung. Sebaliknya, ia meluncurkan program pelatihan
kerja nasional bernama Mission Vuelvan Caras. Program ini
dirancang untuk melatih masyarakat miskin, membekali mereka dengan keterampilan
kerja dasar yang relevan, mulai dari bercocok tanam, perawatan pembibitan,
pembuatan pupuk organik, hingga pengelolaan koperasi itu sendiri. Pelatihan ini
bukan sekadar kursus singkat; durasinya bervariasi antara enam bulan hingga dua
tahun, dan yang lebih menakjubkan, pemerintah bahkan membayar gaji upah minimum
kepada para peserta pelatihan selama mereka belajar. Langkah ini brilian karena
berupaya mengatasi akar masalah sebelum mengucurkan dana, memastikan bahwa
penerima manfaat memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk
mengelola usaha mereka.
Setelah dinyatakan lulus dari program pelatihan,
para peserta diberi kebebasan untuk membentuk koperasi. Pemerintah Venezuela
memberikan berbagai kemudahan untuk mendorong inisiatif ini: pendaftaran
pendirian koperasi digratiskan, koperasi dibebaskan dari pajak penghasilan, dan
yang terpenting, mereka diberikan akses ke kredit mikro atau pinjaman
kecil dengan bunga yang sangat rendah dari kas negara. Ini adalah paket
stimulus yang sangat atraktif, dirancang untuk menghilangkan hambatan finansial
dan birokrasi yang seringkali menghambat pertumbuhan usaha kecil.
Hasilnya pun fantastis secara kuantitas. Hanya
dalam kurun waktu dua tahun, hingga tahun 2007, tercatat ada 140.000 koperasi baru yang lahir di seluruh Venezuela.
Angka ini jauh melampaui ambisi program Koperasi Merah Putih di Indonesia yang
menargetkan 80.000 unit. Koperasi-koperasi ini didirikan atas inisiatif mandiri
dari masyarakat yang telah melewati pelatihan, menunjukkan semangat partisipasi
yang tinggi. Namun, di balik angka yang mengagumkan ini, tersembunyi sebuah
realitas pahit.
Sayangnya, meski telah diberi bekal pengetahuan,
dukungan finansial, dan berbagai kemudahan, mayoritas koperasi yang lahir dari
program Chavez gagal bertahan. Sebanyak dua pertiga dari total
140.000 koperasi tersebut akhirnya gulung tikar, hanya menyisakan sekitar
48.000 unit yang berhasil bertahan. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa
program yang begitu idealis dan didukung penuh oleh negara ini mengalami
tingkat kegagalan yang begitu tinggi?
Analisis mendalam mengungkap tiga alasan utama di
balik keruntuhan massal koperasi di Venezuela:
1. Kurangnya Permintaan atas Produk atau Jasa
Koperasi: Banyak koperasi yang berhasil meningkatkan
produktivitas pertanian atau menghasilkan berbagai produk, namun dihadapkan
pada masalah klasik: tidak ada pasar yang jelas untuk menampung
hasil produksi mereka. Koperasi-koperasi ini tidak tahu bagaimana cara
menjual produk mereka, apalagi mengekspornya. Akibatnya, barang-barang
menumpuk, membusuk, atau musnah, dan koperasi kesulitan membayar anggota
mereka. Ini menunjukkan bahwa fokus hanya pada produksi tanpa strategi
pemasaran dan distribusi yang kuat adalah resep kegagalan.
2. Penyalahgunaan Dana oleh Pengurus (Good Corporate
Governance/GCG): Meskipun ada pengawasan, praktik korupsi dan
penyalahgunaan dana oleh pengurus koperasi ternyata marak terjadi. Dana yang
seharusnya digunakan untuk pengembangan usaha dan kesejahteraan anggota justru
diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Hal ini menggerogoti kepercayaan
anggota dan merusak fondasi koperasi. Kasus ini seolah menggemakan persoalan
yang juga kerap muncul dalam program dana desa di Indonesia, di mana dana yang
disalurkan seringkali menjadi sasaran empuk praktik korupsi.
3. Kesulitan dalam Menjual Hasil Produksi:
Meskipun beberapa koperasi memiliki "pembeli siaga" (standby buyer),
mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengelola
rantai pasok dan menemukan pasar yang tepat. Ide bahwa koperasi akan menampung
hasil produksi anggotanya adalah bagus, namun realitasnya, koperasi itu sendiri
seringkali tidak siap untuk menjadi entitas bisnis yang mampu memasarkan produk
secara efektif.
Meskipun demikian, tidak semua cerita berakhir
tragis. Beberapa koperasi berhasil bertahan dan bahkan menunjukkan kisah sukses
yang inspiratif. Salah satunya adalah koperasi Keko Sesola, sebuah
entitas yang sangat beragam, mengelola bisnis makanan, layanan kesehatan
(memiliki klinik dan puskesmas), dan bahkan bisnis pemakaman. Omzet tahunan
mereka yang mencapai miliaran rupiah menunjukkan bahwa dengan manajemen yang
baik dan adaptasi terhadap kebutuhan pasar, koperasi bisa menjadi entitas
bisnis yang sangat menguntungkan. Contoh lain adalah koperasi Tagum, yang bergerak di bidang asuransi dan jasa pengiriman
uang, dengan total aset yang mencapai triliunan rupiah. Kisah-kisah sukses ini
membuktikan bahwa koperasi bukanlah sekadar organisasi sosial,
melainkan juga entitas bisnis yang memiliki potensi besar jika dikelola
secara profesional dan transparan.
Pengalaman Venezuela ini memberikan pelajaran
krusial bagi Indonesia. Niat baik dan dukungan finansial yang masif dari
pemerintah, seperti yang terlihat pada program Koperasi Merah Putih senilai
Rp550 triliun, adalah modal awal yang sangat penting. Namun, modal saja tidak
cukup. Dibutuhkan tata kelola yang kuat dan transparan (GCG)
untuk mencegah penyalahgunaan dana, pemahaman pasar yang mendalam
agar produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan, dan integritas tinggi dari para pengurus koperasi.
Indonesia, dengan pengalaman program dana desa yang
juga menghadapi tantangan GCG, harus belajar dari Venezuela. Skema Koperasi
Merah Putih yang menyalurkan dana langsung dari APBN ke koperasi, lalu ke
petani, dengan harapan produk petani kembali ke koperasi, memang memendekkan rantai pasok dan menjamin pembelian hasil produksi.
Ini adalah sebuah perbaikan signifikan. Namun, pertanyaan tetap ada: apakah
koperasi-koperasi ini akan memiliki kapasitas manajerial dan pemasaran yang
memadai untuk menjual hasil produksi dalam skala besar, atau akankah mereka
menghadapi masalah "kelebihan pasokan tanpa permintaan" seperti yang
dialami koperasi di Venezuela?
Pentingnya pengawasan berlapis dalam struktur
koperasi, yang melibatkan pengurus, pengawas, pembina, dan terutama partisipasi
aktif anggota dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT), diharapkan dapat mengurangi
risiko penyimpangan. Ini berbeda dengan sistem dana desa yang pengawasannya
cenderung lebih terpusat pada kepala desa. Melalui struktur koperasi yang lebih
partisipatif, banyak mata diharapkan dapat ikut mengawasi, memastikan dana dan
operasional berjalan sesuai koridor.
Pada akhirnya, program Koperasi Merah Putih adalah
sebuah pertaruhan besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan
menggerakkan ekonomi dari bawah. Kisah koperasi Venezuela adalah pengingat yang
kuat bahwa jalan menuju pembangunan ekonomi kerakyatan penuh dengan tantangan.
Keberhasilan tidak hanya bergantung pada gelontoran dana dan idealisme, tetapi
juga pada kemampuan adaptasi, manajemen yang profesional, serta komitmen
terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Semoga Indonesia dapat
mengambil pelajaran berharga ini, membangun fondasi yang kokoh, dan menuliskan
kisah suksesnya sendiri dalam sejarah pembangunan ekonomi kerakyatan.
Konten Kreator
Akang Marta
Indramayutradisi