RAJA AMPAT: ANTARA ILUSI KEMAJUAN EKONOMI DAN REALITAS KERUSAKAN YANG TAK TERNILAI
RAJA AMPAT: ANTARA ILUSI KEMAJUAN
EKONOMI DAN REALITAS KERUSAKAN YANG TAK TERNILAI
Dosen Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
IAI Pangeran Dharma Kusuma Indramayu
Perdebatan mengenai pertambangan nikel di Raja
Ampat kembali mencuat, khususnya setelah tayangan di Kompas TV yang
mempertemukan perwakilan Greenpeace dan Tokoh NU. Sebagai seorang Dosen Hukum
Ekonomi Syariah, saya merasa perlu untuk meluruskan dan mengoreksi berbagai
sesat pikir serta logical fallacies yang banyak
digunakan oleh pihak yang mendukung pertambangan ini. Diskusi ini bukan hanya
soal idealisme lingkungan, tetapi juga tentang perhitungan untung rugi secara
ekonomi, ekologi, sosial, dan jangka panjang. Mari kita tuntun kembali arah
pikiran yang tersesat ini.
Menelanjangi Sesat Pikir Pro-Tambang: Bukan Hanya Soal Lingkungan
Salah satu sesat pikir yang paling mencolok dalam perdebatan ini adalah Strawman Fallacy. Pihak pro-tambang seolah-olah
menyederhanakan posisi lawan dengan menggambarkan mereka sebagai "aktivis
lingkungan yang anti industri dan kemajuan." Narasi ini mencoba
mengecilkan dan menyerang posisi penolak tambang seolah-olah alasan penolakan
hanya sebatas masalah lingkungan. Ini adalah penyederhanaan yang berbahaya dan
jauh dari fakta.
Faktanya, penolakan
terhadap tambang nikel di Raja Ampat bukan sekadar soal idealisme lingkungan.
Ini adalah hasil dari perhitungan yang matang mengenai kerugian
ekonomi, ekologi, sosial, dan jangka panjang yang jauh lebih besar
daripada keuntungan semu yang dijanjikan. Argumentasi bahwa penolakan ini hanya
didasari oleh "wahabi lingkungan" adalah bentuk pengalihan isu yang
tidak substansial. Penolakan ini didasarkan pada data dan analisis
komprehensif.
Coba kita lihat realitasnya: jika pertambangan nikel ini benar-benar
bisa membuat penduduk sejahtera, meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki
kualitas hidup, mengapa provinsi-provinsi kaya sumber daya alam seperti Riau,
Jambi, Papua, dan Maluku, yang sudah puluhan tahun menjadi lumbung tambang,
masih masuk dalam daftar provinsi termiskin di Indonesia? Papua Barat Daya, di
mana Raja Ampat berada, masih masuk dalam 10 besar provinsi termiskin, bahkan
Raja Ampat sendiri termasuk dalam tiga kabupaten termiskin di sana. Ini
menunjukkan bahwa janji kesejahteraan dari tambang seringkali hanya isapan
jempol, atau setidaknya, manfaatnya tidak merata dan hanya dinikmati segelintir
pihak.
Saya bahkan harus menegaskan kembali: saya bukan aktivis lingkungan,
saya tidak anti tambang nikel, dan tidak anti hilirisasi atau industri handphone (karena ponsel saya pun membutuhkan nikel).
Saya hanya anti kebodohan dan pemaksaan proyek yang jelas-jelas merugikan.
Mengapa memaksakan penambangan di daerah yang, tanpa risiko kerusakan apa pun,
bisa menghasilkan pendapatan jauh lebih besar jika dibiarkan sebagai daerah
konservasi? Ini jelas menunjukkan adanya masalah kognitif dalam pengambilan
keputusan.
False Dichotomy: Pilihan Semu Antara
Ekonomi dan Lingkungan
Sesat pikir berikutnya adalah False Dichotomy, di
mana seolah-olah kita harus memilih antara pertumbuhan ekonomi melalui tambang
atau menjaga lingkungan. Narasi ini keliru total. Faktanya, kedua hal ini
bisa saling mendukung jika kita menggunakan pendekatan yang benar dan
berkesinambungan.
Seperti yang telah dijelaskan berkali-kali, ekowisata, konservasi,
perikanan, dan jasa lingkungan di Raja Ampat dapat memberikan
penghasilan berkali-kali lipat dengan risiko kerusakan yang nyaris tidak ada
atau jauh lebih kecil. Belum lagi potensi blue carbon dan jasa
lingkungan lainnya yang bisa diserap sebagai bagian dari mekanisme pasar karbon
global. Gus Ulil, dalam tayangan tersebut, terjebak dalam dikotomi palsu ini.
Menjaga lingkungan di Raja Ampat justru bisa menghasilkan nilai ekonomi yang
lebih tinggi dan berkelanjutan. Ini bukan kontradiksi, melainkan sinergi.
Discounting the Future: Mengabaikan
Kerugian Jangka Panjang
Sesat pikir ketiga adalah Discounting the Future,
yang berarti fokus pada nilai jangka pendek (yang bahkan tidak terlalu besar)
dan mengabaikan kerugian jangka panjang. Kerugian ini mencakup hilangnya
ekosistem, kerusakan biodiversitas, dan hilangnya peluang ekonomi lintas
generasi.
Faktanya, Raja Ampat
memiliki nilai konservasi dan reputasi global yang dapat dimonetisasi selama
ratusan tahun. Kerusakan pada Raja Ampat tidak hanya akan menghancurkan
kekayaan alam kita, tetapi juga kredibilitas Indonesia dalam negosiasi global
mengenai iklim dan konservasi. Isu iklim dan konservasi kini menjadi prioritas
utama di seluruh forum internasional, termasuk G20. Ironisnya, pemerintah kita
justru melakukan sebaliknya dengan mendukung tambang di Raja Ampat.
Appeal to Pragmatism Tanpa Kalkulasi
Akurat
Keempat adalah Appeal to Pragmatism. Argumen
seperti "kita harus realistis, tambang itu perlu" seringkali
terdengar pragmatis, namun sebenarnya ini adalah pembenaran kosong tanpa
kalkulasi cost-benefit yang akurat.
Faktanya, bahkan secara
ekonomi, tambang nikel di Pulau Gag (Raja Ampat) bukanlah opsi optimal.
Cadangan nikel sebesar 59 juta ton diperkirakan akan habis dalam 20 tahun,
dengan fluktuasi harga dan biaya operasional yang besar. Ini belum menghitung
dampak kerugian yang ditimbulkan dari aktivitas tambang, seperti gugatan
internasional, kerusakan reputasi, konflik sosial, dan kehancuran ekosistem
laut tropis terpadat di dunia. Realisme tanpa data komprehensif hanyalah ilusi
semu.
Membantah Tujuh Poin Keliru dari ASN
Pro-Tambang
Selain argumen Gus Ulil, saya juga menemukan komentar menarik dari
seorang ASN di video saya sebelumnya yang memberikan tujuh poin mengapa video
saya salah dan Raja Ampat harus ditambang. ASN ini bahkan menyebut penolak
tambang sebagai "SDM rendah yang mudah terprovokasi." Sebuah
pernyataan yang sangat disayangkan. Sebagai mantan PNS selama 10 tahun, saya
akan bedah satu per satu poin-poin tersebut yang sekilas terlihat solid, namun
sebenarnya sangat lemah dan mudah dipatahkan.
Poin 7: "Beberapa tempat"
vs "Semua tempat"
ASN ini mengklaim bahwa video saya menyebut "semua tempat" di
Raja Ampat bisa ditambang. Ini kesalahan tata bahasa dan pemahaman yang fatal.
Jelas dalam video saya disebutkan "beberapa tempat," karena tentu
saja, daerah yang bisa ditambang adalah yang memiliki cadangan. Tidak mungkin
menambang di daerah yang tidak ada barangnya.
Poin 6: Proporsi Nikel Raja Ampat dan
Trade-off yang Tidak Masuk Akal
"Nikel kita banyak," klaimnya. Betul, nikel kita memang
banyak, tapi tahu berapa persen nikel di Raja Ampat dari total cadangan
nasional? Hanya sekitar 2-3%, salah satu yang terkecil jika dibandingkan dengan
Sulawesi dan Maluku. Apakah masuk akal mengorbankan potensi ekonomi raksasa
yang jauh lebih besar hanya untuk 2% cadangan nikel? Trade-off
cost-benefit ini sama sekali tidak masuk akal, bahkan
dengan perhitungan paling sederhana sekalipun. Nikel bisa didapatkan di
berbagai tempat lain di Indonesia, tetapi kita hanya punya satu Raja Ampat.
Poin 5: Klaim "Tidak Ada Tambang
yang Tidak Merusak" dan Good Mining Practice
yang Absurd
Klaim bahwa "tidak ada tambang yang tidak merusak ekosistem"
adalah pernyataan yang gila. Tentu saja, setiap aktivitas tambang pasti
menimbulkan dampak, tetapi masalahnya adalah apakah tambang nikel di Pulau Gag
oleh PT GAG Indonesia termasuk good mining practice?
Praktik
penambangan yang baik ("good mining practice") seringkali menjadi
klaim yang menyesatkan. Jika kita hanya berpegang pada standar pemerintah yang
terkadang dapat disesuaikan, suatu proyek mungkin terlihat patuh. Namun, untuk
menilai secara objektif, kita harus merujuk pada standar internasional yang
lebih ketat dan komprehensif. Inilah yang mengungkapkan kesenjangan antara
klaim dan realitas di lapangan, khususnya terkait proyek-proyek di wilayah
sensitif seperti Raja Ampat.
Penerapan
standar internasional menyoroti beberapa pelanggaran krusial. Pertama, prinsip Free
Prior and Informed Consent (FPIC) yang merupakan syarat mutlak bagi praktik
penambangan yang bertanggung jawab, seringkali tidak terpenuhi. Artinya,
masyarakat adat atau lokal tidak memberikan persetujuan bebas, didahului
informasi lengkap, dan tanpa paksaan. Kedua, aturan tentang pulau-pulau kecil
yang melarang kegiatan pertambangan di wilayah tersebut jelas-jelas diabaikan,
padahal ini adalah regulasi yang dirancang untuk melindungi ekosistem rentan.
Terakhir,
lokasi penambangan berada di daerah yang sangat sensitif dan bernilai tinggi.
Batas perlindungan yang seharusnya jauh lebih luas, tidak hanya 40 km, bahkan
berpotensi hanya 5 km dari batas terluar taman laut Raja Ampat. Bandingkan
dengan Norwegia yang melarang penambangan dalam radius 50 km dari kawasan
konservasi lautnya. Mengingat Raja Ampat adalah pusat biodiversitas nomor satu
di dunia, wilayah ini seharusnya mendapatkan perlindungan yang jauh lebih
ekstensif untuk menjaga kekayaan alamnya yang tak tergantikan.
Pertanyaan selanjutnya: mana daerah bekas pertambangan yang berhasil
direstorasi dan pulih kembali? Pertambangan mana yang ekosistemnya kembali ke
awal? Sebutkan satu saja. Tidak ada.
Poin 4: Multiplier Effect
yang Keliru dan Kutukan Sumber Daya Alam
ASN ini mengklaim tambang nikel akan memberikan multiplier effect yang besar. Faktanya, tambang adalah
industri high capital, low labor. Artinya, modalnya besar,
tetapi tenaga kerjanya kecil. Uang dari tambang tidak banyak berputar di warga
lokal, melainkan ke pusat, ke vendor luar, dan ke pembeli luar negeri.
Definisi multiplier effect sangat tergantung
pada jumlah uang yang diputar di lokal. Bandingkan dengan pariwisata dan
konservasi, atau perikanan. Uang dari wisatawan masuk ke warung, penginapan
rakyat, dan berputar di sekeliling masyarakat. Sementara tambang, membayar
royalti ke pusat, alat dan bahan baku impor, serta sebagian besar uang tenaga
kerjanya justru keluar dari daerah.
Ada ratusan tenaga kerja lokal dibandingkan dengan potensi keseluruhan
ekonomi yang jauh lebih besar. Banyak studi menunjukkan tambang justru bisa
jadi penyebab deindustrialisasi lokal karena nominal besar belum tentu
sama dengan dampak besar bagi masyarakat. Inilah mengapa World Bank dan IMF
mendefinisikan pertambangan sebagai resource curse atau kutukan sumber daya alam. Sebagian besar daerah tambang
justru miskin karena multiplier effect yang rendah dan
volatilitas yang tinggi. Inilah mengapa Papua, Riau, Jambi, dan Maluku tetap
stagnan; hanya segelintir orang yang mendapatkan manfaatnya, sementara seluruh
masyarakat menanggung bebannya.
Poin 3: Analogi PDRB yang Menyesatkan
dan Ekonomi Lingkungan
ASN ini membandingkan PDB Indonesia ($1,4 triliun) dengan PDB Singapura
($575 miliar) dan menyimpulkan bahwa Indonesia lebih sejahtera. Ini analogi
yang gila. PDB/PDRB adalah nilai bruto output produksi,
bukan yang berputar di masyarakat.
Perbandingannya bukan dengan makanan, tetapi dengan sektor perikanan dan
kehutanan yang menghasilkan lebih dari 1 triliun. Angka-angka ini adalah langit
dan bumi. Saya bahkan belum menghitung cost dan beban yang
harus ditanggung masyarakat Papua dan pemerintah setelah 59 juta ton nikel
habis ditambang.
Dalam ekonomi lingkungan, dikenal konsep nilai sekarang bersih
dan tingkat diskonto antar generasi. Pendekatan visioner
meminta kita membandingkan skenario pembangunan hingga 50-100 tahun ke depan.
Konservasi bertujuan untuk menangkap nilai total ekonomi dan jasa ekosistem
yang terus mengalir. Tambang mungkin menghasilkan lonjakan PDRB sesaat, tetapi
dalam waktu singkat. Setelah 20 tahun, daerah pertambangan berisiko ditinggal
dengan lubang tambang dan hutan gundul, menghambat pertumbuhan jangka panjang,
belum lagi pencemaran kimia.
Studi pariwisata di Raja Ampat menunjukkan jumlah wisatawan melonjak
dari 20.000 (2023) menjadi 30.000 (2024), ini adalah compounding
growth yang bisa menghasilkan ekonomi jauh lebih stabil. Membatasi
analisis pada 20 tahun dan mengabaikan kerugian jangka panjang adalah
ketidakadilan dalam ekonomi.
Poin 1: Kekeliruan Konseptual: DBH vs
PAD
Ini adalah poin yang paling konyol dari ASN tersebut. Ia membandingkan Dana Bagi Hasil (DBH) dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ini adalah kekeliruan total secara konseptual dan teknis fiskal.
PAD menjelaskan
seberapa aktif aktivitas ekonomi masyarakat lokal sehingga mampu menghasilkan
pajak, retribusi, dan pendapatan asli dari aset atau layanan daerah. Secara
sederhana, PAD adalah ukuran kesehatan ekonomi lokal, karena merupakan refleksi
langsung produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, yang memungkinkan
pemerintah daerah mendapatkan pemasukan dari aktivitas masyarakat.
Sebaliknya, DBH adalah mekanisme transfer fiskal
dari pemerintah pusat ke daerah sebagai kompensasi karena sumber daya alam
daerah dieksploitasi. DBH tidak berasal dari aktivitas ekonomi langsung
masyarakat, melainkan dari pembayaran royalti perusahaan tambang ke pemerintah
pusat. Dengan kata lain, DBH adalah dana kompensasi—uang
pengganti karena SDA sudah dikeruk, diambil, atau "dirampok."
Menyamakan DBH dengan PAD adalah kesalahan konsep yang serius. DBH
adalah transfer fiskal, sementara PAD adalah hasil aktivitas ekonomi nyata dari
masyarakat lokal. DBH sama sekali tidak menggambarkan kesejahteraan lokal.
Meskipun jumlahnya besar, alokasi dan penggunaannya sangat spesifik, dan tidak
otomatis menciptakan kesejahteraan di tingkat akar rumput. Faktanya, banyak
daerah penghasil SDA besar yang menerima DBH tinggi, namun kemiskinan dan
ketimpangan ekonominya juga sangat tinggi. Mengapa? Karena DBH hanya sekadar
transfer fiskal, bukan bukti aktivitas ekonomi masyarakat. Ketika tambangnya
habis, DBH-nya juga habis. Sementara PAD bisa terus bergulir jika ekosistemnya
baik, ekonominya baik, dan masyarakatnya sejahtera.
Membandingkan DBH dengan PAD seperti membandingkan uang ganti rugi
karena rumah dirusak dengan penghasilan rutin dari usaha sendiri. Sumbernya
beda, sifatnya beda, dan dampaknya beda total.
Kesimpulan: Konservasi adalah
Investasi, Bukan Beban
Melalui pembedahan sesat pikir dan argumen-argumen keliru ini, menjadi
jelas bahwa narasi pro-tambang nikel di Raja Ampat dibangun di atas fondasi
yang rapuh. Klaim kemajuan ekonomi seringkali adalah ilusi semu yang menutupi
realitas kerusakan ekologi, sosial, dan kerugian ekonomi jangka panjang yang
tak ternilai.
Konservasi di Raja Ampat bukan hanya sekadar upaya menjaga lingkungan,
tetapi juga investasi jangka panjang yang memberikan jaminan hidup
kepada masyarakat adat, nelayan, dan semua orang yang hidup bergantung pada
laut Raja Ampat. Tambang seharusnya menjadi pilihan paling terakhir, ketika
Raja Ampat sudah kehabisan potensi lain, karena daya rusaknya yang masif.
Kita harus berani menolak argumen-argumen yang menyesatkan dan melihat
Raja Ampat sebagai aset tak ternilai yang harus dijaga untuk generasi sekarang
dan mendatang. Pilihan kita hari ini akan menentukan masa depan Raja Ampat dan,
pada akhirnya, kredibilitas Indonesia di mata dunia. Mari kita tuntun kembali
arah pikiran yang tersesat itu menuju kebenaran yang berdasarkan data, logika,
dan keberlanjutan.
Catatan ini diambil dari Monolognya Ferry Irwandi Channel Youtube yang
tayang pada tanggal 20 Juni 2025