ABAH AFANDI KIAI ALIM INDRAMAYU MURID KESAYANGAN MBAH WAHAB
Salah satu kiai sepuh NU kebanggan warga Indramayu adalah KH Afandi Abdul Muin Syafi’I yang akrab disapa Abah Afandi, beliau berpulang ke rahmatullah, Rabu (13/7/2016) dalam usia 78. Beliau adalah pengasuh Pesantren Asy-Syafi’iyyah Kedungwungu Krangkeng Indramayu, Jawa Barat. Abah Afandi pernah menuntut ilmu di sejumlah pesantren besar, salah satunya di Pondok Pesantren Tambakberas Jombang mulai tahun 1953 sampai tahun 1962.
Untuk kitab
aJ-Jurumiyah (kitab dasar ilmu nahwu), Abah Afandi diajar langsung oleh Mbah
Yai Wahab diulang sampai empat kali khataman. Mbah wahab bilang: “Afandi, kalau
mengaji kitab aJ-Jurumiyah cuman sekali saja, itu belum sempurna, sedikitnya
empat kali khatam”. Menurut cerita abah saya (Mbah Kiai Fatah), saat menuntut
ilmu di Pesantren Tambakberas Jombang, selain sebagai santri yang
sungguh-sungguh, rajin dan tekun, kelebihan lain Abah Afandi (muda) juga
terletak di lisannya yang fasih, tutur katanya jelas dan suaranya keras ketika
mengajar, sehingga tidak aneh jika beliau disenangi oleh para santri.
Setiap Mbah
Kiai Fattah mengaji, maka pasti menyuruh santri bernama Afandi asal Indramayu
itu untuk membaca kitab yang diajarkan. Mbah Yai Fattah hanya mendengarkan dan
kemudian menjelaskan isi dari kitab yang dibaca oleh Afandi muda. Karena itulah
kalangan santri dan kiai Tambakberas waktu itu, Abah Afandi mendapat sebutan
“qori”, yaitu santri yang selalu ditugaskan oleh Mbah Yai Fattah sebagai
“tukang baca kitab” yang diajarkan oleh guru-guru dan kiainya. Demikian, cerita
paman saya, KH. Moh. Faiq Hasyim Idris Pondok Pesantren Kedunglo Kediri, Jawa
Timur.
Beberapa
tahun sebelum wafatnya Almaghfurlah KH Chudori, yang akrab di sapa Pak Chudori,
wali kelas Abah Afandi waktu sekolah di Madrasan Muallimin Tambakberas, dalam
beberapa kesempatan beliau bercerita, ”Bertahun-tahun saya mengajar di Madrasah
Muallimin, belum menemukan siswa yang pemahaman dan penguasaan kitab kuningnya
sangat luar biasa seperti Afandi. Ia belum ada yang menandingi dalam matangnya
pemahaman nahwu, sharaf, mantiq, dan balaghahnya,” tutur Pak Chudori.
Atas
prestasinya dalam belajar, meski masih muda dan masih menjadi siswa Madrasah
Muallimin, Abah Afandi selalu dipercaya oleh guru-gurunya setiap ada ujian
untuk mengoreksi lembaran-lembaran jawaban para santri seangkatannya. Karena
kemampuan penguasaan kitabnya Abah Afandi yang diakui oleh teman-temannya waktu
itu, banyak teman-teman sesama santri yang minta mengaji kitab tertentu pada
Abah Afandi kala muda itu di pesantren Tambakberas. Awalnya hanya satu-dua
santri, di dalam bilik atau kamar santri, namun seiring waktu, jumlah santri
yang ikut pun bertambah, sehingga peserta meluber di teras-teras depan asrama
santri,
Melihat
antusiasme para santri yang mengikuti pengajian kepada santri bernama Afandi
itu, Mbah KH Fattah Hasyim dan Mbah KH Wahab Chasbullah (sesepuh Pesantren
Tambakberas waktu itu) diam- diam memperhatikannnya, dan atas izin dua kiai
sepuh tersebut, akhirnya santri Tambakberas bernama Afandi kala itu,
dipersilakan mengaji di masjid Pesantren Tambakberas. Pesertanya pun
membeludak. Tidak sedikit para santri yang diajar oleh Abah Afandi sewaktu di
Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, di kemudian hari menjadi kiai besar,
seperti Almaghfurlah KH Masruri Abdul Mughni, yang pernah menjadi Rais Syuriyah
PWNU Jawa Tengah selama dua periode dan pengasuh Pesantren al-Hikmah Dua Benda
Sirampog, Brebes, Jawa Tengah dengan tujuh ribu santri, dan kini menjadi
besannya Abah Afandi.
Waktu Abah
Afandi berdiskusi dengan saya di Pesantren Gedongan, Astana Japura, Ender
Cirebon ( asuhan buyut KH Said Aqil Siroj) Abah Afandi dengan tawaduknya
bilang, “Dulu waktu di Pondok Pesantren Tambakberas Jombang yang mengajar saya,
tetapi ketika pulang yang menjadi kiai dia (Kiai Masruri). Pondoknya besar,
santrinya ribuan,” tuturnya . Hal ini mengingatkan saya kepada gurunya Abah
Afandi, yaitu Mbah KH Abdul Fattah Hasyim Idris.
Ketika mondok
di Tebuireng Jombang, beliau juga sering ditugasi “mbadali” ngaji di
masyarakat. Di samping itu juga ditugasi mengajar di kelas sifir awal dan
seterusnya sebagai guru kelas. Karena disenangi murid-muridnya, ketika beliau
Mbah yai Fattah pindah ke Denanyar Jombang memenuhi panggilan sang mertua,
yakni KH Bisri Syansuri, sekitar 25 muridnya ikut pindah ke Denanyar. Pada
akhirnya, mereka juga ikut boyongan ke Tambakberas ketika beliau diminta Pak
Denya, KH Abdul Wahab Chasbullah untuk kembali ke Tambakberas membantu pamannya,
KH. Hamid Chasbulloh. Antara Abah Afandi dan Mbah Kiai Fattah Hasyim ada
kesamaan dan perbedaan.
Keduanya sama-sama dipercaya oleh kiainya
untuk mengajar santri-santri junior. Keduanya sama-sama digemari
murid-muridnya. Keduanya sama-sama mempunyai lisan yang fasih, tutur kata yang
jelas, suara yang keras, dan seterusnya. Perbedaanya, yang paling nampak,
adalah ketika boyong, dari Tebuireng ke Denanyar dan dari Denanyar ke
Tambakberas, diikuti oleh murid-muridnya. Tidak demikian dengan beliau Abah
Afandi ketika beliau boyong dari Jombang ke kampungnya di Indramayu, tidak
diikuti oleh murid-muridnya.
Di antara
rutinitas Mbah Yai Fattah adalah membangunkan santri di sepertiga malam, agar
para santri shalat Tahajjud. Tetapi, di kala itu, setiap melewati bilik atau
kamar yag ditempati oleh santri bernama Afandi, Mbah Yai Fattah tidak akan
menggedor pintu tesebut. Karena kalaupun pintu diketuk atau dibuka, sudah
dipastikan santri dalam kamar tersebut sedang muthalaah (mempelajari)
kitab-kitab. Bukan sedang tidur seperti umumnya santri-santri yang lain.
Dalam
kesehariannya, setelah Abah Afandi menetap di kampungnya hingga wafatnya,
beliau menjadi rujukan para kiai pecinta kitab kuning, baik dari Indramayu
maupun daerah sekitarnya, yang bertanya tentang masalah-masalah “kelas berat”
yang berkaitan dengan kitab kuning papan atas. Bahkan Abah Afandi oleh Mbah Yai
Wahab, waktu masih di Pesantren Tambakberas mau dinikahkan dengan seorang gadis
putri kiai besar yang tak lain adalah sahabat dekatnya dan pengasuh pesantren
di Jawa Tengah. “Afandi, saya pilih kamu untuk menjadi menantu seorang kiai,
yang mencari menantu ahli kitab kuning,” kata Mbah Wahab dalam bahasa Jawa
Timur-an. Tetapi saat ditawari itu, Abah Afandi malah menangis. Mbah Wahab pun
menanggapi dengan becanda, “Lho mau saya nikahkan dengan gadis cantik, putrinya
kiai, pesantrennya besar, kok malah kamu menangis?” Afandi menjawab, “Mohon
maaf, Mbah Yai. Saya sudah menikah”. Mbah Wahab menimpali, “Oh, ya sudah,
berarti belum jodoh,” tuturnya. Karena memang Abah Afandi waktu itu sudah
menikah dengan seorang gadis bernama Sofiyah putri KH Habib Hasan, pilihan
orang tuanya yang menjadi pendamping hingga akhir hayatnya. Keduannya sudah
melalui akad nikah, meskipun waktu itu belum tinggal serumah, karena
masing-masing masih belajar di pesantren. Abah Afandi di Jombang, sedangkan
istrinya belajar di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.
KH DR (HC)
Fuad Hasyim Pesantren Buntet Cirebon Jawa Barat, salah satu kerabat terdekat
Abah Afandi, dalam beberapa kesempatan ia pernah bilang, “Abah Afandi ini
‘mutiara yang terpendam’. Beliau seorang kiai yang luar biasa penguasaan kitab
kuningnya, dan sangat tawaduk, sahabat dekatnya Gus Dur, namun sungguh sayang
beliau kurang begitu dikenal oleh masyarakat luas secara nasional.” Hal itu,
lanjut Kiai Fuad, kiranya disebabkan karena Abah Afandi menetap di Indramayu,
sedangkan sudah terkenal bahwa masyarakat Indramayu kurang bisa menghormati
para kiai. Padahal penghormatan masyarakat luas kepada kiai tertentu itu
tergantung bagaimana masyarakat sekitar tempat kiai itu menetap member
penghormatan. “Contoh paling sederhana: Masayarakat sekitar memanggil ‘gus’
maka masyarakat luas di luar daerahnya juga akan memangil ‘gus’. Kalau masyarakat
sekitar memanggil ‘Mbah Yai’, maka masyarakat luas di luar daerahnya pun pasti
akan memanggil demikian pada kiai itu. Selain itu, di Indramayu juga ada mitos
susah jadi kiai,” tutur Kiai Fuad.
Abah Afandi juga meninggal dunia dengan warisan karya tulis berjudul “Risalah al-Muin, fi Aqaid al-Khamsin”. Kitab ini mengulas penjelasan soal ilmu tauhid.
Penulis : KH
Abdul Nashir Fattah, Rais PCNU Jombang, Pengasuh Pesantren Al-Fathimiyah
Tambakberas, Jombang.
Sumber: https://nu.or.id/tokoh/abah-afandi-kedalaman-ilmu-kitab-kuningnya-diakui-para-kiai-aBJba