Menguak Rahasia di Balik Rahasia: Tafsir Filosofis atas Sirr al-Asrār wa Maẓhar al-Anwār

Di tengah gelombang literatur sufistik Islam klasik, Sirr al-Asrār wa Maẓhar al-Anwār (Rahasia dari Segala Rahasia dan Manifestasi Cahaya) karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menempati posisi unik. Ia bukan hanya sebuah kitab tasawuf dalam pengertian moral atau asketik, melainkan sebuah teks mistik-filosofis yang berani menyibak lapisan terdalam dari eksistensi manusia dan realitas ilahiah. Kitab ini berdiri sebagai sebuah simpul antara gnostisisme Islam, filsafat eksistensial, dan spiritualitas profetik.


Sebuah Kitab Transendensi Bertingkat

Dalam pengantar kitabnya, Syaikh al-Jailani menyatakan bahwa manusia diciptakan bukan sekadar untuk mengenal Tuhan, tetapi untuk menjadi cermin bagi Tuhan. Maka, ia membagi jalan ruhani ke dalam tiga tahapan:

> “al-Syarī‘ah, al-Ṭarīqah, wa al-Ḥaqīqah.”

“Syariat adalah permukaan, thariqat adalah jalan, dan hakikat adalah kebenaran terdalam.”

Dari segi metodologi, kitab ini menyajikan perjalanan intelektual dan spiritual dalam bentuk hierarkis: dari zahir ke batin, dari kulit menuju inti, dari fenomena menuju noumena.


Tubuh Manusia sebagai Mikrokosmos

Salah satu pembahasan paling menarik dalam Sirr al-Asrār adalah tafsir metafisis tentang tubuh manusia. Al-Jailani mengembangkan gagasan bahwa tubuh bukanlah penghalang bagi ruh, melainkan wadah suci bagi realitas ketuhanan:

> “al-Jism ẓil al-rūḥ, wa al-rūḥ ẓil al-ḥaqq.”

“Tubuh adalah bayangan ruh, dan ruh adalah bayangan Tuhan.”

Ini adalah bentuk pemikiran simbolik yang mengingatkan kita pada filsafat emanasi dalam Neoplatonisme, tapi dibumikan dalam kerangka tauhid Islam. Manusia, dalam pandangan ini, adalah ‘ālam ṣaghīr—alam kecil yang memuat seluruh semesta dalam dirinya.


Rahasia Wudhu dan Simbolisme Purifikasi

Kitab ini juga membahas wudhu secara mendalam, bukan hanya sebagai ritual lahiriah tetapi juga simbol dari penyucian entitas batin:

> “Ghāyat al-wuḍū’ laisat ṭahārah al-jasad faḥasb, bal ṭahārat al-qalb min al-afkār al-dunyāwiyyah.”

“Tujuan wudhu bukanlah sekadar menyucikan tubuh, tetapi menyucikan hati dari pikiran duniawi.”

Dalam pembacaan filosofis, wudhu menjadi simbolisasi proses pembersihan kognitif dan eksistensial: air sebagai unsur primordial menyapu jejak keterikatan dan membuka jalan menuju cahaya.


Nur Muhammad dan Ontologi Pra-eksistensial

Al-Jailani juga memaparkan doktrin yang bersinggungan dengan konsep Nur Muhammad—sebuah realitas purba sebelum penciptaan segala sesuatu:

> “Awalu mā khalaqa Allāh nūra Muḥammad ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam.”

“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahaya Muhammad.”

Konsep ini bukan hanya berimplikasi teologis, tetapi juga ontologis: realitas eksistensial manusia tidak dimulai dari bumi, tetapi dari cahaya. Dalam ranah filsafat eksistensial Islam, ini membentuk fondasi bahwa asal-usul manusia adalah nurani, bukan jasmani.


Fanā’ sebagai Kehancuran Ego dan Penemuan Hakikat

Sebagai puncak perjalanan spiritual, Sirr al-Asrār menempatkan fanā’—lenyapnya diri dalam realitas Ilahi—sebagai kunci menuju baqā’ (kekekalan dalam Tuhan). Al-Jailani menulis:

> “Idhā fanā al-‘abd ‘an nafsihi wa hawāhu, dhahara al-ḥaqq fīhi.”

“Jika hamba telah lenyap dari dirinya dan hawa nafsunya, maka Tuhan tampak dalam dirinya.”

Ini bukan sekadar penghilangan ego secara psikologis, tetapi penghancuran ontologis terhadap kemelekatan pada wujud selain Allah. Dalam hal ini, pemikiran al-Jailani bersenyawa dengan jalan mistik Ibnu ‘Arabi maupun al-Hallaj, namun tetap dalam koridor sunnah.


Kritik atas Sains Tanpa Ruh

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak menolak ilmu rasional, tetapi mengkritik reduksionisme intelektual yang melepaskan ilmu dari ruh. Ia menyindir para ‘ulama zahir yang sibuk dalam spekulasi tanpa makrifat:

> “Man ta‘allama al-‘ilm wa lam ya‘mal bih, kāna ḥujjatan ‘alayh yawma al-qiyāmah.”

“Barang siapa belajar ilmu tetapi tidak mengamalkannya, maka ilmunya akan menjadi tuntutan atas dirinya di hari kiamat.”

Ini adalah seruan untuk mengembalikan ilmu ke dalam posisi sakralnya—yakni sebagai jalan menuju kebenaran, bukan sekadar akumulasi data atau argumentasi retoris.


Sebuah Kidung Ilahiah untuk Manusia Terlupakan

Sirr al-Asrār wa Maẓhar al-Anwār bukan kitab yang bisa ditelan sekaligus. Ia menuntut kontemplasi, keheningan batin, dan kesanggupan untuk bertanya pada diri sendiri tentang makna hidup. Di tengah dunia yang terlampau bising, kitab ini adalah kidung senyap yang mengajak manusia kembali pada keheningan suci: tempat di mana rahasia segala rahasia menampakkan cahayanya.

Di sana, pada puncak ma‘rifah, manusia menyadari bahwa ia tidak pernah memiliki apa-apa kecuali rahmat Allah. Dan dari rahmat itulah cahaya menyinari segala yang gelap, dari tubuh hingga ruh, dari dunia hingga Tuhan.


Penulis   :  MJ.Wijaya

NU SUDRA

Buana panca tengah 

26 Mei 2025

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel