Keadilan dan Transparansi dalam Kasus Dugaan Ijazah Palsu Pejabat Publik
Menuntut
Keadilan dan Transparansi dalam Kasus Dugaan Ijazah Palsu Pejabat Publik
Wacana publik di Indonesia belakangan ini diwarnai oleh polemik dugaan
ijazah palsu seorang pejabat tinggi negara, yang telah memicu berbagai
spekulasi dan perdebatan sengit. Kasus ini, yang seharusnya ditangani secara
lugas berdasarkan hukum, justru semakin berbelit dan menciptakan kebingungan di
tengah masyarakat. Pernyataan dari mantan Wakapolri, Komjen Purnawirawan Polisi
Ugroseno, dalam sebuah wawancara baru-baru ini, memberikan perspektif yang
sangat penting tentang bagaimana seharusnya kasus semacam ini ditangani oleh
aparat penegak hukum. Inti dari permasalahan ini bukan sekadar perdebatan
tentang keabsahan selembar kertas, melainkan mengenai integritas sistem hukum,
akuntabilitas pejabat publik, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi
negara.
Urgensi Penanganan Kasus Sebagai
Pidana Murni
Komjen Ugroseno dengan tegas menyatakan bahwa masalah dugaan ijazah
palsu ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), melainkan harus dilihat sebagai pidana murni. Pendekatan ini sangat krusial karena UU ITE,
dalam praktiknya, seringkali menjadi pasal karet yang dapat diperluas ke
mana-mana, mengaburkan fokus pada inti permasalahan. Dugaan penggunaan ijazah
palsu, terutama jika dokumen tersebut telah digunakan dalam proses pencalonan
kepala daerah atau kepala negara, merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal
263 ayat 2 KUHP, yang mengatur hukuman bagi orang yang sengaja menggunakan
surat palsu atau surat yang dipalsukan seolah-olah asli dan menimbulkan
kerugian.
Fokus pada pasal ini akan menyederhanakan proses hukum dan mencegah
pengalihan isu. Apabila ijazah yang diduga palsu tersebut telah digunakan di
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di Solo, Jakarta, dan KPU Pusat, maka kepolisian harus segera menangani kasus tersebut sebagai
penggunaan dokumen palsu di tiga lokasi tersebut. Ini adalah langkah
yang logis dan langsung, memungkinkan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan
penggunaan ahli forensik untuk membuktikan keaslian dokumen. Data yang hilang
atau disembunyikan pun, dengan teknologi saat ini, seharusnya dapat dilacak dan
dimunculkan kembali. Menutup-nutupi atau memperumit masalah hanya akan
melahirkan beragam tafsiran di masyarakat, memicu keresahan, dan memperkuat
dugaan adanya intervensi atau ketidakberesan.
Sentralisasi Penanganan Kasus di
Bareskrim: Menjaga Netralitas dan Efisiensi
Saat ini, penanganan kasus dugaan ijazah palsu ini terfragmentasi di
beberapa forum, yaitu gugatan perdata di Pengadilan Negeri Solo, penyelidikan
di Bareskrim, dan laporan pencemaran nama baik yang diajukan oleh Presiden
Jokowi di Polda Metro Jaya. Fragmentasi ini tidak hanya memecah
konsentrasi massa dan sumber daya, tetapi juga dapat memicu kebingungan
dan kecurigaan publik.
Komjen Ugroseno mengusulkan agar seluruh persoalan yang
berkaitan dengan dugaan ijazah palsu ini ditangani secara terpusat oleh
Bareskrim Polri. Argumentasinya kuat: Polri adalah Kepolisian Negara
Republik Indonesia, tidak ada polisi Jakarta, Solo, atau Jogja yang berdiri
sendiri. Sentralisasi penanganan akan memastikan bahwa kasus ini ditangani
secara tuntas, tidak memihak, dan tidak menjadi objek politisasi. Ini juga akan
mencegah penegakan hukum berbiaya tinggi, di mana saksi-saksi yang sama harus
diperiksa di berbagai Polda dengan yurisdiksi yang berbeda.
Penting untuk diingat bahwa jika ijazah yang diduga palsu tersebut tidak
digunakan untuk kepentingan publik, misalnya hanya dipajang sebagai koleksi
pribadi, mungkin tidak akan menjadi masalah hukum. Namun, begitu dokumen
tersebut digunakan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau kepala
negara, maka keabsahannya menjadi urusan publik yang harus dibuktikan secara
transparan oleh polisi tanpa memihak. Sejarah menunjukkan bahwa penegak
hukum di Indonesia pernah memanggil pejabat tinggi negara, seperti Gus Dur,
sebagai saksi. Jika Presiden Jokowi saat ini bukan lagi seorang presiden aktif,
maka pemanggilan untuk klarifikasi di Mabes Polri atau di kediamannya, dengan
pendampingan hukum, adalah langkah yang wajar dan seharusnya tidak menjadi
masalah.
Menyelaraskan Proses Hukum: Prioritas
pada Pembuktian Keaslian Dokumen
Dalam konteks hukum yang ideal, ketika ada dua kasus yang berjalan
beriringan—satu pidana pokok (misalnya penggunaan dokumen palsu) dan satu
laporan pencemaran nama baik—kasus pidana pokok seharusnya
diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ada
dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Logikanya sederhana: jika
ijazah terbukti asli, maka laporan pencemaran nama baik bisa dilanjutkan;
namun, jika ijazah terbukti palsu, maka kasus pencemaran nama baik akan gugur
dengan sendirinya karena yang disampaikan adalah fakta.
Ironisnya, dalam kasus ini, terlihat adanya percepatan yang signifikan
dalam penanganan laporan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya,
bahkan dengan pemanggilan saksi-saksi dan potensi penangkapan, sementara
laporan dugaan penggunaan dokumen palsu di Bareskrim terkesan lamban atau belum
ada tindak lanjut yang jelas. Praktik ini menimbulkan kecurigaan adanya politisasi kasus dan upaya untuk membungkam kritik atau
membela pihak tertentu.
Komjen Ugroseno juga menyoroti penggunaan pasal-pasal yang terkesan
"ngarang-ngarang" seperti Pasal 32 dan 35 UU ITE (tentang merusak
atau mengoprek akta agar terlihat otentik atau menghilangkan akta yang sebenarnya).
Penggunaan pasal-pasal dengan ancaman hukuman tinggi ini, yang berbeda dengan
pasal pencemaran nama baik (310/311 KUHP atau 27A UU ITE), dapat
diinterpretasikan sebagai upaya menakut-nakuti dan memberikan tekanan.
Seharusnya, proses hukum dimulai dengan pasal yang relevan dengan pokok
permasalahan (misalnya, Pasal 310 KUHP untuk pencemaran nama baik), dan
pengembangan pasal lain tergantung pada hasil penyidikan. Mencantumkan banyak
pasal sekaligus di awal surat panggilan klarifikasi hanya akan membuat situasi
menjadi kacau dan menakutkan, serta berpotensi merusak marwah institusi
kepolisian.
Kredibilitas Puslabfor dan Urgensi
Alat Bukti yang Komprehensif
Dalam proses pembuktian, peran laboratorium forensik (Puslabfor) sangat
sentral. Namun, seperti yang disuarakan dalam opini publik, ada keraguan
terhadap independensi Puslabfor karena sejarah kasus-kasus kontroversial di
masa lalu. Meskipun kemampuan teknis Puslabfor tidak diragukan, netralitasnya dalam kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara
menjadi pertanyaan besar.
Komjen Ugroseno menekankan pentingnya berpedoman pada Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti, yang menempatkan
keterangan saksi dan keterangan ahli sebagai prioritas. Keterangan
saksi, yaitu mereka yang melihat, mendengar, dan mengalami peristiwa
secara langsung (misalnya teman seangkatan kuliah, atau pihak-pihak yang
terlibat dalam acara reuni), harus dikumpulkan terlebih dahulu. Keterangan ahli (dari Puslabfor) baru digunakan setelahnya
untuk menguatkan bukti-bukti yang ada. Pendekatan ini akan memberikan kepastian
hukum yang lebih kuat dan memastikan bahwa putusan didasarkan pada bukti yang
komprehensif, bukan hanya pada keterangan pelapor atau hasil forensik yang
mungkin dipertanyakan independensinya. Transparansi dalam proses ini adalah
kunci untuk memulihkan kepercayaan publik.
Kembali ke Jati Diri Polri:
Independensi dan Kepercayaan Publik
Kasus dugaan ijazah palsu ini, dengan segala kompleksitasnya, adalah
ujian berat bagi institusi Polri. Sejarah Polri telah diwarnai berbagai
dinamika, dari awal kemerdekaan hingga reformasi 1998, dan kini menghadapi
tantangan berupa intervensi politik. Komjen Ugroseno mengingatkan bahwa Polri harus segera kembali kepada jati dirinya sebagai alat negara
penegak hukum yang independen. Hal ini berarti polisi tidak boleh
memihak, tidak boleh takut atau sungkan dalam menegakkan keadilan, dan harus
bertindak berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik atau
kekuasaan.
Kembalinya Polri pada jati dirinya akan mengukuhkan posisinya sebagai
lembaga yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pelindung,
pengayom, pelayan masyarakat, dan penegak hukum yang benar-benar bisa
dipercayai dan dicintai rakyatnya. Masyarakat mendambakan penegakan hukum yang
adil, transparan, dan tidak pandang bulu. Untuk itu, dokumen yang menjadi pokok
permasalahan, yaitu ijazah yang didaftarkan ke KPU, harus dihadirkan dan tidak
boleh hilang karena itu adalah dokumen negara. Klaim sepihak dari KPU
atau pihak terkait tanpa bukti fisik yang jelas tidak dapat diterima.
Sebagai penutup, kasus dugaan ijazah palsu ini bukan sekadar insiden
kecil, melainkan cerminan dari tantangan besar dalam penegakan hukum dan
demokrasi di Indonesia. Masyarakat menuntut kejelasan, transparansi, dan
keadilan. Kuncinya ada pada keberanian dan independensi aparat penegak hukum
untuk mengusut tuntas kasus ini sesuai prosedur hukum yang berlaku, tanpa
intervensi, tanpa politisasi, dan tanpa kesan menakut-nakuti. Hanya dengan
begitu, kepercayaan publik terhadap lembaga negara dapat dipulihkan, dan
prinsip "pedang keadilan" dapat benar-benar tegak di bumi pertiwi.
Konten Kreator
Akang Marta IT