Refleksi Kepemimpinan dan Jaringan: Meninjau Indramayu dari Kaca Mata Tokoh Lintas Zaman

 

Hercules, NU, dan Mimpi Indramayu: Sebuah Refleksi dari Perbincangan Santai



Indramayu. Sebuah sore yang hangat di Indramayu. Saya, ditemani Mas Yahya, berkesempatan bersilaturahmi dengan sosok yang kami sebut sebagai "tokoh pemuda setengah tua," Haji Muhaimin Syatibi. Nama beliau sudah tidak asing di telinga saya, bahkan sejak tahun 2000, ketika sebagai anggota baru Rapyak, saya masih melihat tanda tangan beliau di KTA kosong yang kemudian saya isi. Beliau alumni Krapyak Yogyakarta, sosok dengan segudang gelar yang tak perlu dipamerkan, dan yang paling penting, ijazah aslinya dari UGM, bukan dari "tetangganya."

Perbincangan sore itu mengalir santai, namun sarat makna. Ada beberapa sudut pandang menarik dari Kang Muhaimin yang layak kami persembahkan ke publik. Selain lucu dan antik, ada satu hal yang membuat saya selalu kagum: saya belum pernah melihat beliau merengut. Selalu gembira. Mungkin ini resep awet mudanya. Seragam yang beliau kenakan sore itu pun menarik perhatian, mirip seragam paramiliter, layaknya Hercules.

 


Makna Seragam dan Kekuatan Kata

Kang Muhaimin memulai perbincangan dengan filosofi seragam yang dikenakannya. Layaknya seragam militer dengan tiga matra—darat, udara, dan laut—yang bisa dikenali dari bagian seragam dan ucapan komandannya. Darat: "Terima kasih seluas-luasnya." Laut: "Terima kasih sedalam-dalamnya." Udara: "Terima kasih setinggi-tingginya." Bahkan kepolisian, yang dulu bagian dari ABRI, punya salam khas: "Terima kasih sebanyak-banyaknya."

"Saya sebetulnya pengagum Banser," ujar Kang Muhaimin, "tapi karena belum pernah ikut PKD, jadi belum pantas mengenakan uniform. Ya sudah, agak mirip-mirip saja lah." Ia berkelakar, baju mirip seragam itu punya daya magis. "Kalau di warung pas lagi enggak bawa uang, pakai baju gini, 'Maaf, saya enggak bawa uang, maklum maklum.' Ngelihat baju ininya, dikira kita orang punya kekuatan. Mampu mengobati rasa lapar kita juga," katanya sembari tertawa. "Bermanfaat sekali!"

Pernyataan itu sejatinya menohok. Betapa sebuah simbol, sehelai seragam, mampu memberikan dampak psikologis. Namun, Kang Muhaimin segera menambahkan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Dan kalau makan, bayar. Jangan sampai kita jadi ormas tapi maunya makan enggak bayar. Itu namanya ormas pekok." Sebuah sentilan tajam bagi ormas-ormas yang kerap "memanfaatkan" seragam untuk kepentingan pribadi, bukan kemaslahatan umat.

 

Hercules, Jiwa Nasionalis, dan Jaringan Tak Terduga

Perbincangan berlanjut pada coretan huruf 'G' di seragam Kang Muhaimin, memantik rasa penasaran tentang "Grib" atau "Garuda". Kang Muhaimin kemudian berbagi kisah perjumpaan tak terduga dengan sosok legendaris, Hercules, senior yang namanya kerap disebut.

"Perjumpaan saya dengan Hercules itu sekitar tahun 1999, setelah reformasi," kenang Kang Muhaimin. Waktu itu, Presiden B.J. Habibie menggelar memorandum Timor Timur, yang berujung pada kemerdekaan Timor Leste. "Pilihan yang enggak lucu itu," seloroh Kang Muhaimin, "pasti milih merdeka."

Di tengah suasana genting itu, terjadilah insiden 'derdor' senjata di sebuah kampung pelosok Indramayu pada malam hari. Esoknya, Kang Muhaimin mencari Hercules dan menemuinya masih tertidur. Sebuah pistol sungguhan tergantung di gantungan baju. Kang Muhaimin langsung bertanya, "Ada apa, Bang? Kenapa Abang lakukan itu?"

Dengan gestur datar, Hercules memeluk Kang Muhaimin. "Dia bilang sama saya bahwa saya kecewa. Negara saya Timor-Timur dijual sama Habibi." Peristiwa itu menyentak Kang Muhaimin. "Saya merasakan sekali kehangatan dan jiwa nasionalisme seorang Hercules saat itu. Betul-betul membaraskan kecewa atas lepasnya Timor Timur. Ada jiwa nasionalis yang terusik."

Beberapa waktu kemudian, Kang Muhaimin berurusan ke Jakarta. Tanpa handphone yang umum seperti sekarang, ia dijemput anak buah Hercules di Gambir dan diantar beristirahat di sebuah hotel di Petamburan. Siangnya, ia kembali dijemput dan bertemu Hercules di klinik bersalin, saat anak laki-laki Hercules, Ferdinand, lahir. "Sejak itu saya sudah enggak ketemu lagi sampai hari ini," ujarnya.

Jika bertemu lagi, apa yang akan Kang Muhaimin katakan kepada Hercules di tengah ramainya isu premanisme dan perusahaan asing? "Sederhana. Tidak akan banyak intervensi dengan hal ikhwal yang terkait. Apakah beliau sebagai makhluk politik, bagian dari insan Indonesia, insan Indramayu. Prinsipnya, saya menganggap beliau tetap sebagai insan yang berpancasila dan insan yang beragama."

"Kenapa saya katakan insan yang berpancasila? Karena saya lihat dari cara beliau dulu 25 tahun yang lalu memandang Indonesia ini dengan kasih," tegas Kang Muhaimin. "Beliau itu memandang Indonesia ini dengan pandangan kasih. Pesan saya: patriotiklah." Ia menegaskan bahwa hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dijamin undang-undang. "Adapun tentang perilaku anggotanya yang ini itu soal lain. Siapapun mendukung bahwa ketika terjadi pelanggaran, ya wajib ditindak."

Kang Muhaimin juga mengenang saat Hercules pernah membawa rombongan Metro Mini penuh pasukan ke Indramayu sekitar tahun 2000-an, menghadiri hajatan ponakannya di Ujungebang. Ribuan tamu datang, rombongan Metro Mini dari berbagai daerah. "Luar biasa! Jangan-jangan memang beliau punya empati yang cukup tinggi ya ke orang lain sehingga banyak penggemarnya," katanya. "Saya sih mencoba untuk lurus-lurus aja. Tidak punya kepentingan apapun. Tapi, di tahun itu, 25 tahun yang lalu, beliau sudah menunjukkan memiliki kekuatan jejaring yang sangat luar biasa dan punya jiwa patriotik."

 

Tokoh Panutan NU: Dari Politisi Kokoh hingga Pengusaha Ulet

Obrolan kemudian bergeser ke dunia Nahdlatul Ulama (NU), organisasi tempat Kang Muhaimin dan Mas Yahya pernah aktif. Kang Muhaimin sendiri pernah menjabat Wakil Ketua PW Ansor Yogyakarta, satu angkatan dengan Gus Muwafiq. "Gus Muwafiq, ingat ya, Gus," Kang Muhaimin menyapa rekannya.

Siapa tokoh NU yang menjadi panutan nomor satu bagi Kang Muhaimin? "Saya sih tidak sedang mendikotomikan tokoh," katanya. "Kalau Hercules punya karismatik di luar NU, di NU ada karamah lah." Ia menyebut beberapa nama.

Di bidang politik, Kang Muhaimin mengagumi Pak Wahidi. "Seperti tiga roda, kokoh tak tertandingi, dicor itu bahan untuk ngecor," pujinya. Pak Wahidi, menurutnya, bukan kokoh sembarangan, melainkan kokoh sejati. Kontribusi beliau sebagai politisi luar biasa, berjuang mendirikan sekolah NU sejak tahun 1984, sebelum orang lain memulai. "Mudah-mudahan beliau tetap disehatkan, diberikan umur panjang, dan terus berpikir bagaimana membimbing umat Indramayu ini tersirami dan selalu bermanfaat. Berkah dari beliau."

Dari figur pengusaha atau pelaku usaha, Kang Muhaimin mengagumi sosok K.H. Juhadi Muhammad. "Dengan gigihnya beliau terus membangun usaha, membangun bisnis, membangun jejaring juga. Dan mudah-mudahan sama nanti nilai manfaatnya juga untuk masyarakat di bidang pendidikan pesantren dan sosial." Pak Wahidi disebut "kokoh tak tertandingi," sementara K.H. Juhadi Muhammad adalah sosok "ulet, tekun, dan belum ada yang menyaingi."

Ketika diminta menyebutkan tokoh nasional, Kang Muhaimin secara subjektif memilih Gus Ipul (Syaifullah Yusuf). "Saya dulu pernah dibimbing dan pernah beberapa kali ketemu dengan waktu itu kan saya di Ansor tuh tahun 2000 awal ketika Gus Dur jadi presiden." Gus Ipul, menurutnya, adalah sosok intelektual, ulama, budayawan, sekaligus politisi—sosok multitalent. "Untuk hari ini saya lebih memilih figur Gus Ipul," tegasnya. "Yang mulai tidak hanya membumi, tapi sudah mulai melangit." Ia mengenang perjalanan Gus Ipul dari anggota DPR RI, menteri daerah tertinggal di era SBY, Wakil Gubernur dua periode, hingga kini Menteri Sosial. "Sekarang melangit lagi."

 

Indramayu dalam Mimpi dan Regulasi

Perbincangan menyentuh impian untuk Indramayu. Kang Muhaimin punya pandangan sederhana. "Ketika bicara Indramayu itu kan regulatif. Artinya, boleh-boleh saja Mas Arif punya mimpi Indramayu akan dijadikan Brunei Darussalam atau sentra industri. Tetapi, lagi-lagi bahwa itu adalah regulasi sifatnya dan diatur." Sehebat apa pun mimpi pemimpin, ia harus terwujud dalam kerangka regulasi.

"Tapi sebelum mimpi itu, kita mesti tidur dulu," candanya. "Harus! Itu syarat untuk melahirkan mimpi itu kan harus tidur. Kalau enggak bisa tidur enggak mungkin bermimpi." Ia lantas mengaitkannya dengan salat, yang dalam hadis disebut "lebih baik daripada tidur." "Ada apa dengan tidur? Dalam tidur ada mimpi, termasuk mimpi besar," Kang Muhaimin berfilosofi.

Sebagai penutup, Kang Muhaimin meninggalkan pesan kuat. "Menyikapi dinamika hiruk pikuk ormas hari ini, sekali lagi, tolong sebagai bangsa yang berpancasila, bangsa yang beragama, bangsa yang memegang teguh norma-norma sosial dan nasionalisme: Berkumpul, berserikat, berpendapat dilindungi undang-undang. Tolong ini dipahami dulu. Ini prinsip."

"Soal kemudian ada sesuatu yang menyimpang di luar ketentuan, apakah itu melukai sesama manusia, monggo ada saluran hukumnya. Yang penting tidak ada penghakiman antar diri manusia sama manusia. Jangan ada hukum rimba. Selesaikan segala sesuatu dengan hukum."

Obrolan santai ini tak hanya membuka wawasan tentang sosok-sosok penting di balik layar, tetapi juga menyisakan refleksi mendalam tentang seni, etika, hukum, dan harapan untuk Indramayu. Sebuah perbincangan yang layak terus digaungkan.

Content Creator

Akang Marta (Indramayutradisi.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel