BAB 10: Kebenaran di Era Digital dan Perang Informasi
BAB 10: Kebenaran di Era Digital dan Perang Informasi
By Akang Marta
Bab 10. Bab ini akan berfokus pada upaya Recky
untuk mempublikasikan temuannya, tantangan yang dihadapinya dari media mainstream,
dan bagaimana ia akhirnya menggunakan platform media sosial dan kolaborasi
dengan Bramastra untuk menyebarkan kebenaran.
Recky tahu, ia memegang bom waktu. Kesaksian Deni
yang gamblang, konfirmasi Prad yang tersirat, dan analisis tajam Bramastra yang
mengaitkan semua peristiwa mencurigakan. Semua ini adalah kepingan puzzle yang
telah menyatu, membentuk gambaran yang mengerikan tentang manipulasi kekuasaan
dan pemalsuan kebenaran. Kini, saatnya ia menyulut sumbu.
Ia mulai menyusun tulisannya. Bukan sekadar berita
singkat, melainkan sebuah investigasi mendalam yang sistematis. Ia memulainya
dengan narasi tentang misteri ijazah, merunut jejaknya dari Negeri Solomon ke
Jakarta, dari kafe Cikini hingga lorong remang Pasar Premedia. Ia menuliskan
peran Deni, Widakdos, dan Pras, serta bagaimana janji politik menjadi
katalisator bagi sebuah kebohongan besar. Ia memasukkan data tentang anomali di
UGGMNN, keganjilan foto-foto, dan kejanggalan dalam penanganan barang bukti
oleh kepolisian. Ia juga tidak lupa menyentil peran lembaga survei yang
"menyesatkan" dan kekecewaan Tado Kiemes.
Setiap kata ia pilih dengan hati-hati, memastikan
narasi mengalir logis, didukung oleh fakta dan kesaksian yang ia kumpulkan. Ia tahu
ini akan menjadi tulisan paling penting dalam kariernya, dan mungkin, yang
paling berbahaya.
Setelah draf pertama selesai, Recky mencoba
mengirimkannya ke beberapa media mainstream besar. Ia
merasa bahwa skala kasus ini membutuhkan platform yang luas untuk dibaca oleh
masyarakat. Namun, respons yang ia dapatkan jauh dari harapan.
"Topik ini terlalu sensitif, Recky," kata
seorang redaktur senior dari salah satu koran nasional, suaranya terdengar ragu
di telepon. "Ada banyak tekanan. Apalagi ini menyangkut pimpinan tertinggi
negara. Kami tidak bisa ambil risiko."
Redaktur lain dari media online terkemuka juga
memberikan jawaban serupa. "Data Anda kuat, Recky. Tapi kami tidak bisa
menerbitkan ini tanpa konfirmasi langsung dari istana atau pihak UGGMNN yang
lebih jelas. Kami tidak mau dituduh menyebarkan hoaks atau mencemarkan nama
baik."
Recky frustrasi. Ia tahu, media mainstream seringkali terbelenggu oleh kepentingan
bisnis, politik, atau ketakutan akan represi. Kebenaran, terutama yang tidak
populer, seringkali sulit menembus benteng-benteng itu. Ini adalah perang
informasi, dan para penguasa memiliki senjata yang jauh lebih canggih.
"Lihatlah, Pak Bram," keluh Recky kepada
Bramastra, saat mereka bertemu kembali. "Tidak ada media mainstream yang berani menerbitkan. Mereka semua
takut."
Bramastra tersenyum pahit. "Sudah kuduga, Nak.
Media besar kita sudah dikuasai. Mereka tidak lagi melayani kepentingan publik,
melainkan kepentingan penguasa. Ini era di mana kebenaran harus berjuang lebih
keras untuk ditemukan."
"Jadi, apa yang harus saya lakukan? Informasi
ini terlalu penting untuk disimpan."
Bramastra menatap Recky dengan pandangan serius.
"Kita punya senjata lain, Recky. Senjata yang tidak bisa dikontrol oleh
penguasa. Media sosial."
Recky mengernyitkan dahi. "Tapi, di media
sosial, informasi cepat sekali tenggelam, Pak. Dan mudah diserang balik dengan
narasi palsu."
"Betul. Tapi itu juga satu-satunya platform di
mana kamu bisa bicara tanpa filter. Di mana rakyat bisa membaca langsung. Kita
tidak punya pilihan lain. Kita akan gunakan platform itu. Dan
kita tidak akan sendirian."
Bramastra kemudian membuka rencana strategisnya.
"Kamu tulis semua temuanmu itu dalam format yang lebih ringkas, mudah
dicerna, dan bisa dibagikan. Lalu, kita akan koordinasikan dengan kawan-kawan
yang selama ini sudah menyuarakan keraguan. Rai Satia, Desmondu, Ibu Fati, dan
juga kawan-kawan dari TPUA. Mereka punya pengikut. Kita akan gunakan jaringan netizen dan channel-channel
alternatif yang masih berani menyuarakan kebenaran."
"Kita akan pecah jadi beberapa bagian,
Recky," lanjut Bramastra. "Fokuskan pada satu atau dua poin kunci per
bagian, dengan bukti-bukti yang kuat. Misalnya, satu tulisan fokus pada Pasar
Premedia dan pengakuan Deni. Tulisan lain fokus pada kejanggalan foto dan
perbandingan ijazah oleh Rai Satia. Lalu yang lain lagi, fokus pada hilangnya
barang bukti dan keanehan proses hukum. Kita akan rilis secara berkala, agar
terus menjadi perhatian."
Recky mulai melihat gambaran besarnya. Ini adalah
strategi gerilya informasi. Menyerang dari berbagai arah, menggunakan banyak
suara, dan memanfaatkan kecepatan media sosial.
"Saya akan coba kontak Ibrami Nasdi juga,
Recky," kata Bramastra. "Dia punya channel yang cukup
berpengaruh. Mungkin kita bisa publikasikan di sana juga, dalam bentuk
wawancara atau diskusi. Dia akan jadi corong yang kuat."
Recky mulai bekerja, mengubah investigasinya
menjadi serangkaian artikel pendek, thread di Twitter,
dan materi grafis yang mudah dibagikan. Ia bekerja siang dan malam, di bawah
bayang-bayang kekhawatiran akan ancaman yang mungkin datang. Peringatan
Bramastra tentang keselamatan terus terngiang di telinganya.
Artikel pertama Recky, yang berjudul
"Mengungkap Jejak Hitam Pasar Premedia: Kisah di Balik Ijazah
Palsu?", akhirnya rilis di sebuah blog investigasi independen, lalu
disebarkan secara masif melalui akun-akun anonim dan netizen
yang kritis. Tak butuh waktu lama, tulisan itu viral. Tanggapan beragam: ada
yang skeptis, ada yang marah, ada pula yang mendukung dan menuntut penyelidikan
lebih lanjut.
Pertanyaan-pertanyaan tentang ijazah Wiwirana
kembali mencuat ke permukaan, kali ini dengan bukti dan kesaksian yang lebih
konkret. Pembela Bombong Edi dan Gus Uru menjadikan tulisan Recky sebagai salah
satu amunisi mereka. Perdebatan memanas di media sosial, menjadi "trending
topic" selama berhari-hari.
Pihak Istana dan UGGMNN merespons dengan pernyataan
yang sama: ijazah itu asli dan identik. Bareskrim juga mengeluarkan pernyataan
yang menguatkan klaim keaslian, seolah menutup mata pada semua bukti yang
disajikan. Namun, bagi masyarakat yang sudah skeptis, pernyataan itu justru
terasa seperti bentuk "pemaksaan kebenaran."
Recky merasakan gelombang ancaman. Akun-akun media
sosialnya diserbu buzzer yang menuduhnya penyebar
hoaks, antek politik, dan bahkan pengkhianat bangsa. Pesan-pesan ancaman anonim
mulai berdatangan. Namun, ia tidak mundur. Dukungan dari Bramastra, Rai Satia,
dan ribuan netizen yang haus kebenaran, memberinya kekuatan.
Perang informasi baru saja dimulai. Di satu sisi,
ada kekuatan besar dengan kontrol media dan aparat penegak hukum. Di sisi lain,
ada sekelompok kecil orang yang hanya bersenjatakan kebenaran, di era di mana
kebenaran itu sendiri menjadi komoditas yang mahal dan langka.
Catatan:
Bab ini fokus pada perjuangan Recky untuk
mempublikasikan temuannya setelah menghadapi penolakan dari media mainstream. Ia beralih ke strategi media sosial dan
kolaborasi dengan Bramastra, Rai Satia, dll. untuk menyebarkan informasi. Ini
menyoroti "perang informasi" di era digital, di mana kebenaran harus
berjuang melawan narasi yang dominan dan buzzer. Konflik
Recky dengan kekuatan yang lebih besar mulai terasa, dengan ancaman dan
serangan balik yang muncul.