BAB 11: Badai di Dunia Maya dan Suara Ibrami Nasdi
BAB 11: Badai di Dunia Maya dan Suara Ibrami Nasdi
By Akang Marta
Bab 11. Bab ini akan mengeksplorasi respons dan
tekanan yang diterima Recky, peran Ibrami Nasdi dalam memberikan platform, dan
ketegangan yang meningkat di antara pihak-pihak yang terlibat.
Tulisan Recky di blog investigasi independen, yang
kemudian tersebar masif di berbagai platform media
sosial, memicu badai. Topik ijazah palsu kembali menjadi pembicaraan hangat,
bahkan lebih panas dari sebelumnya. Kali ini, narasi yang dibangun Recky jauh
lebih sistematis, didukung oleh kesaksian Deni dan analisis Bramastra yang
tajam.
Ruang komentar di setiap unggahan Recky dibanjiri
pro dan kontra. Buzzer segera melancarkan serangan
balasan. Akun-akun anonim menuduhnya sebagai antek politik, penyebar fitnah,
dan pengkhianat bangsa. Pesan-pesan ancaman melalui DM (Direct Message) dan surel mulai berdatangan, nadanya
semakin keras dan mengancam. Beberapa bahkan menyebutkan detail-detail
pribadinya, sebuah peringatan halus yang membuat Recky merinding.
"Hati-hati, Nak," pesan singkat dari
Bramastra, "mereka mulai merasa terganggu."
Recky memang merasakan tekanan itu. Tidurnya tidak
nyenyak, setiap suara aneh di luar apartemennya membuatnya waspada. Namun, di
sisi lain, ia juga merasakan kepuasan. Suaranya telah mencapai telinga yang
tepat. Banyak netizen yang kritis, yang selama ini skeptis terhadap
narasi resmi, kini menemukan validasi dari tulisannya. Mereka membantu
menyebarkan, menganalisis, dan bahkan menemukan celah-celah baru.
Di tengah hiruk pikuk itu, sebuah panggilan telepon
masuk. Nama yang tertera di layar: Ibrami Nasdi.
"Recky, saya Ibrami Nasdi," sapa suara di
ujung telepon, tenang namun berwibawa. "Saya membaca tulisan Anda. Sangat
berani, dan kelihatannya, sangat akurat. Saya ingin Anda tampil di channel saya, Ibrami Nasdi Speak Netizen. Kita akan
bahas ini lebih dalam."
Recky tidak ragu sedikit pun. Ini adalah platform yang ia butuhkan. Ibrami Nasdi adalah tokoh
yang dihormati, mantan Ketua KPK yang dikenal integritas dan keberaniannya.
Tampil bersamanya akan memberikan kredibilitas lebih pada temuannya dan
melindunginya dari serangan buzzer yang tak
berdasar.
Beberapa hari kemudian, Recky duduk di hadapan
Ibrami Nasdi, di studio sederhana yang kini menjadi corong penting bagi
suara-suara alternatif. Kamera menyala, dan pembicaraan pun dimulai.
"Selamat datang di channel
kami, Recky," sapa Ibrami Nasdi, membuka diskusi. "Tulisan Anda
tentang ijazah yang diduga palsu ini telah menggemparkan publik. Bisakah Anda
ceritakan dari awal, bagaimana Anda bisa yakin dengan informasi ini?"
Recky mengulang kembali narasinya, lebih
terstruktur dan ringkas. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Bramastra,
petunjuk awal tentang Pasar Premedia, hingga kesaksian kunci dari Dani Mukidar.
Ia menjelaskan bagaimana Deni memperkenalkan Widakdos kepada "para
ahli" di Pasar Premedia, tentang "paket dokumen" yang dipesan,
dan janji Direktur Utama Pasar Jaya yang tidak ditepati.
"Menurut Pak Deni, ijazah UGGMNN itu seratus
persen produksi Pasar Premedia," tegas Recky, menatap kamera. "Dan ia
bersedia menjadi saksi."
Ibrami Nasdi mengangguk, sorot matanya tajam.
"Ini sangat serius. Informasi ini juga didukung oleh pernyataan mantan
rektor UGGMNN, Pak Satria Wanendi, yang mengatakan tidak ada nama Wiwi
Wiwirana di fakultas kehutanan. Lalu, ada
analisis dari Rai Satia dan timnya yang menemukan banyak ketidaksesuaian."
Recky mengiyakan, lalu melanjutkan dengan poin yang
paling mengusik Bramastra: keanehan penanganan barang bukti. "Yang lebih
aneh lagi, Pak Samad, adalah bagaimana barang bukti ijazah itu bisa diambil
kembali oleh Pak Wiwirana dari kepolisian. Harusnya itu disimpan sebagai bukti
untuk persidangan. Ini seperti kasus Bombong Edi dan Gus Uru, yang divonis
tanpa barang bukti."
"Dan Anda juga menyebutkan ada indikasi
penghilangan jejak melalui peristiwa-peristiwa aneh?" tanya Ibrami Nasdi,
memberikan pancingan.
Recky mengangguk. "Ya, Pak Bramastra bahkan
menyebut beberapa nama dan peristiwa yang mencurigakan. Dari kematian mendiang
Pak Herubendo, adik ipar Pak Wiwirana yang diduga pemilik ijazah asli UGGMNN,
hingga Ketua KPU yang meninggal, dan tentu saja kebakaran Pasar Premedia di
tahun 2015. Ini semua menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini kebetulan, atau
upaya sistematis untuk membungkam dan melenyapkan bukti?"
Diskusi itu berlangsung hampir satu jam, disaksikan
oleh ribuan bahkan jutaan netizen secara
daring. Komentar mengalir deras, sebagian besar menunjukkan dukungan dan
kemarahan. Hashtag terkait ijazah palsu kembali meroket.
Dani Mukidar, yang menyaksikan wawancara itu dari
tempat persembunyiannya, merasakan sesuatu yang campur aduk. Ada rasa takut,
namun juga lega. Kebenaran yang ia simpan selama ini, akhirnya terungkap ke
publik, dengan suara yang jauh lebih besar. Ia tahu, setelah ini, hidupnya
tidak akan sama lagi.
Ibrami Nasdi, setelah wawancara selesai, menatap
Recky dengan apresiasi. "Anda melakukan pekerjaan yang sangat penting,
Recky. Teruslah berjuang. Suara-suara seperti Anda sangat dibutuhkan di tengah
kegelapan ini."
Di sisi lain, di lingkaran Istana dan jajaran kepolisian,
wawancara Recky dengan Ibrami Nasdi memicu kepanikan. Tekanan publik semakin
besar. Narasi "identik" yang selama ini mereka bangun mulai goyah.
Seorang jenderal kepolisian senior menerima telepon
dari atasan. "Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa isu ini kembali menguat?
Kita sudah bilang identik, kita sudah penjara Bombong Edi!"
"Izin, Jenderal. Informasi ini datang dari
orang dalam. Dan mereka punya bukti yang cukup kuat," jawab sang jenderal,
berusaha menenangkan. "Apalagi dengan Ibrami Nasdi ikut bersuara, ini jadi
lebih sulit dibendung."
"Kita harus segera meredam ini!" perintah
atasan. "Perketat pengawasan. Awasi orang-orang yang vokal. Pastikan tidak
ada lagi yang berani bicara. Dan yang paling penting, ijazah itu harus tetap
aman."
Di sebuah ruangan tertutup, Widakdos menerima
laporan tentang wawancara itu. Wajahnya tetap tenang, namun jemarinya mengepal
erat. "Deni... bocor," gumamnya pelan. Ia tidak menyangka Deni akan
berani buka suara. Janji yang tak ditepati itu, kini kembali menghantam mereka
seperti bumerang.
Ia teringat kembali pada hari-hari di Pasar
Premedia, pada wajah Profesor Kertas dan Doktor Stempel. Sebuah rahasia yang ia
kira terkubur dalam-dalam, kini kembali menyeruak ke permukaan. Ia tahu,
langkah selanjutnya haruslah memadamkan api ini sebelum melahap semuanya. Dan
ia akan melakukan apa pun yang diperlukan.
Sementara itu, di tengah hiruk pikuk Jakarta, Recky
merasakan angin berbalik. Badai telah dimulai. Ia telah mengambil langkah
pertama. Kini, ia hanya bisa berharap bahwa kekuatan kebenaran akan cukup kuat
untuk menghadapi badai yang akan datang. Ia tahu bahwa ia telah menjadi target.
Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian.
Catatan:
Bab ini fokus pada efek viral dari tulisan Recky
dan bagaimana ia mendapatkan platform yang lebih besar melalui Ibrami Nasdi.
Ini juga menyoroti peningkatan tekanan dan ancaman yang diterima Recky, serta
reaksi panik dari pihak Istana dan kepolisian. Pengakuan Deni di forum publik
semakin mengintensifkan konflik. Bab ini menggarisbawahi "perang
informasi" dan risiko yang dihadapi oleh mereka yang berani berbicara.