BAB 9: Kode Prad dan Teka-Teki yang Membara

BAB 9: Kode Prad dan Teka-Teki yang Membara

By Akang Marta

 


Bab 9. Bab ini akan fokus pada reaksi Prad terhadap isu ini dan bagaimana Recky mencoba menghubungkan titik-titik terakhir, serta kekhawatiran tentang keselamatan para saksi dan barang bukti.

Pengakuan Dani Mukidar telah memberikan Recky amunisi yang tak ternilai. Ini bukan lagi sekadar dugaan, melainkan kesaksian langsung dari aktor kunci. Namun, Recky tahu, ia membutuhkan lebih dari sekadar kesaksian. Ia membutuhkan dukungan, validasi, atau setidaknya konfirmasi dari pihak lain yang relevan. Dan satu nama yang terus terlintas dalam benaknya adalah Basuki Tjahaja Purnama, atau yang akrab disapa Prad.

Prad adalah mantan pasangan politik Wiwi Wiwirana  saat Pilkada NEGERI WANDA. Ia adalah sosok yang dikenal blak-blakan, tak kenal kompromi, dan selalu berbicara apa adanya. Jika ada orang yang berani menyuarakan kebenaran, meskipun pahit, Prad adalah salah satunya.

Recky tahu, Prad dulu berada di Gerindra saat berpasangan dengan Wiwirana.1 Dokumen Prad dipegang oleh Surwadin dari Gerindra. Sementara dokumen Wiwirana dipegang oleh Pras dari PARTAI MERDEKA-P. Apakah Prad tahu tentang dugaan pemalsuan ijazah ini?

Recky mencoba menghubungi Prad melalui perantara yang ia kenal. Setelah beberapa upaya, ia berhasil mendapatkan nomor kontak yang bisa dihubungi. Ia mengirim pesan singkat, memperkenalkan diri sebagai jurnalis yang sedang menginvestigasi isu ijazah Wiwirana, dan meminta waktu untuk wawancara. Tak disangka, Prad merespons.

"Silakan datang ke kantor saya," balas Prad singkat.

Pertemuan dengan Prad berlangsung di kantornya yang tidak terlalu mencolok. Suasana terasa dingin, seolah dinding-dinding itu telah mendengar terlalu banyak rahasia dan intrik. Prad duduk tegak di kursinya, tatapan matanya lurus, tanpa basa-basi.

"Jadi, Anda mau tanya soal ijazah Pak Wiwirana?" Prad langsung ke inti.

Recky mengangguk. "Betul, Pak. Saya mendapat informasi bahwa dokumen pencalonan beliau dulu, terutama ijazah, dibuat di Pasar Premedia. Dan bahwa Bapak Dani Mukidar, yang dekat dengan Bapak juga, terlibat dalam proses itu."

Prad mengangguk pelan. "Ya, saya kenal Deni. Dia memang tim pemenangan saya dan Pak Wiwirana waktu itu, bersama Boy dan Pras. Dia orang yang cerdas, bisa merancang banyak hal."

"Apakah Bapak tahu tentang dugaan pembuatan dokumen di Pasar Premedia?" tanya Recky, mencoba menahan napas.

Prad menghela napas. "Saya dengar-dengar saja. Dari Deni, dari berita-berita yang beredar. Saya tahu ada Widakdos, orangnya Pak Wiwirana, yang berurusan dengan dokumen. Tapi saya tidak tahu detailnya, saya serahkan ke kader kami di Gerindra waktu itu. Surwadin yang pegang dokumen saya, Pras yang pegang dokumen Pak Wiwirana."

"Jadi, Bapak tidak pernah melihat dokumen itu secara langsung atau memverifikasinya?"

"Tidak. Itu urusan tim. Saya fokus kampanye," jawab Prad datar. "Tapi satu hal yang saya pegang: perkataan saya sendiri. Orang yang tidak berani menunjukkan ijazahnya, berarti dia punya yang palsu."

Pernyataan Prad itu, sebuah kutipan yang pernah ia lontarkan dalam konteks lain, kini terasa sangat relevan. Itu adalah kode. Sebuah validasi tidak langsung. Prad mungkin tidak bisa terang-terangan mengatakan "ya, itu palsu", tetapi pernyataannya tentang orang yang tidak berani menunjukkan ijazah adalah pengakuan akan adanya keraguan yang kuat.

"Apakah Bapak khawatir tentang dampak masalah ijazah ini, Pak?"

Prad menatap Recky lurus. "Kebenaran itu seperti api, Nak. Cepat atau lambat, dia akan membakar dan membuka semuanya. KPU harusnya jujur, menjalankan undang-undang dengan benar. Ada anggaran untuk verifikasi, kenapa tidak dilakukan secara transparan? Kenapa tidak ada berita acara yang jelas tentang siapa yang memverifikasi, kapan, dan dengan siapa di UGGMNN? Ini semua harus dipertanyakan."

Recky merasa lega. Meskipun tidak ada pengakuan eksplisit, pernyataan Prad sudah cukup. Prad, dengan gayanya yang khas, telah memberikan lampu hijau, sebuah dorongan untuk terus menggali.

 

Setelah pertemuan dengan Prad, Recky kembali ke Bramastra, menceritakan hasil wawancaranya dengan Deni dan Prad. Bramastra mengangguk-angguk, wajahnya tampak lebih puas.

"Benar kan yang saya bilang, Recky," kata Bramastra. "Deni itu kuncinya. Dan Prad, dia memang tidak akan bilang 'itu palsu', tapi kodenya jelas. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia tahu sistem kita ini sudah terkontaminasi."

Namun, di tengah kepuasan itu, ada awan gelap yang menyelimuti pikiran Bramastra. "Sekarang, yang paling penting adalah keselamatanmu, Recky. Dan juga keselamatan Deni. Informasi ini terlalu besar. Orang-orang yang terlibat dalam menutupi ini, mereka punya kekuasaan dan pengaruh yang tak terbatas. Mereka bisa melakukan apa saja untuk melindungi rahasia mereka."

Bramastra teringat kembali pada rentetan peristiwa aneh yang terjadi seputar isu ijazah ini. Hari Mulono, pemilik sah ijazah UGGMNN yang diduga fotonya ada di ijazah Wiwirana, meninggal dalam usia muda. Ketua KPU yang meninggal, Gamal. Pasar Premedia yang terbakar. Dan yang terakhir, barang bukti ijazah yang "diambil kembali" oleh Wiwirana dari polisi.

"Ini bukan kebetulan belaka, Recky," kata Bramastra, suaranya serius. "Setiap kali kebenaran mendekat, ada saja yang 'dilenyapkan'. Orang, dokumen, bahkan tempat. Mulono meninggal dalam usia 40-an. Ketua KPU meninggal. Pasar terbakar. Jangan kira itu semua kebetulan."

Recky merasakan bulu kuduknya meremang. Ia selama ini fokus pada fakta dan bukti. Namun, narasi Bramastra tentang "penghilangan jejak" ini terasa begitu nyata, begitu mengerikan.

"Barang bukti ijazah itu, Recky, adalah yang paling krusial," lanjut Bramastra. "Polisi dan jaksa seharusnya memegang itu. Tapi mereka serahkan. Itu artinya ada ketakutan besar. Ketakutan bahwa jika ijazah itu dianalisis secara independen, semuanya akan terbongkar. Dan mereka tidak berani melawan, karena ancamannya mungkin lebih besar dari sekadar jabatan."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak Bram?" tanya Recky, suaranya sedikit bergetar.

Bramastra menatapnya, ada tekad kuat di matanya. "Kita teruskan. Kita punya informasi, Recky. Kita punya kebenaran. Mungkin kita tidak bisa mengubah sistem dalam semalam, tapi kita bisa membuka mata publik. Kita bisa memastikan bahwa sejarah mencatat apa yang sebenarnya terjadi."

Bramastra kemudian memberikan saran kepada Recky. "Tulislah. Dengan hati-hati, dengan bukti, dan dengan narasi yang kuat. Dan lindungi dirimu. Jangan pernah meremehkan kekuatan orang-orang yang ingin rahasia mereka tetap terkubur."

Recky pulang malam itu dengan kepala penuh. Pengakuan Deni, kode Prad, dan peringatan Bramastra tentang bahaya yang mengintai. Ia merasa seperti seorang penjelajah yang baru saja menemukan peta harta karun, namun peta itu juga menunjukkan keberadaan jebakan maut di sepanjang jalan. Ia tahu, tugasnya kini bukan hanya mencari kebenaran, tetapi juga menyampaikannya, dengan segala risikonya.

Ia membuka laptopnya, jemarinya siap menari di atas keyboard. Kisah ini harus diceritakan. Kisah tentang sebuah ijazah palsu, sebuah kekuasaan yang korup, dan kebenaran yang memberontak. Dan kali ini, api itu, api kebenaran, akan dia coba nyalakan.

 

Catatan:

Bab ini fokus pada pertemuan Recky dengan Prad, di mana Prad memberikan semacam konfirmasi tidak langsung melalui "kode" dan pernyataan umumnya tentang ijazah palsu. Kemudian, bab ini kembali ke Bramastra yang menekankan bahaya dan risiko yang mungkin dihadapi Recky dan Deni, dengan merujuk pada serangkaian peristiwa mencurigakan (kematian orang penting, kebakaran pasar, hilangnya barang bukti). Ini membangun ketegangan dan bahaya yang mengintai para pengungkap kebenaran, mendorong Recky untuk menuliskan kisah ini.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel