BAB 12: Jaring Represi dan Perlawanan Terselubung
BAB 12: Jaring Represi dan Perlawanan Terselubung
By Akang Marta
Bab 12. Bab ini akan memfokuskan pada tekanan balik
dari pihak berwenang, ancaman terhadap Recky dan Deni, serta respons dari kubu
Istana.
Setelah wawancara Recky dengan Ibrami Nasdi viral,
gelombang respons dari pihak berwenang tak terhindarkan. Ini bukan lagi sekadar
serangan buzzer di media sosial; ini adalah pergerakan nyata
dari mesin kekuasaan. Tekanan terhadap Recky dan jaringannya meningkat drastis.
Pertama, Recky merasakan pengawasan. Ia seringkali
melihat mobil tak dikenal terparkir di dekat apartemennya. Panggilan telepon
aneh tanpa suara, atau nomor tak dikenal yang berdering lalu mati begitu
diangkat, menjadi hal lumrah. Ia mengubah rutinitasnya, selalu waspada, bahkan
saat membeli kopi di warung langganannya. Tidurnya semakin terganggu, bukan
hanya oleh ancaman di dunia maya, tetapi juga oleh bayangan nyata yang
mengintai.
Bramastra, dengan pengalamannya di KSP dan jaringan
lama di kepolisian, tahu persis pola ini. "Mereka akan mengintimidasi,
Recky," pesannya singkat melalui aplikasi chat terenkripsi.
"Jangan terpancing. Jangan lakukan hal gegabah. Ini bukan soal menang atau
kalah debat, ini soal keselamatan."
Kemudian, ancaman mulai menyasar Dani Mukidar.
Beberapa hari setelah wawancara Recky, rumah Deni didatangi oleh orang-orang
tak dikenal. Mereka tidak melakukan kekerasan fisik, tetapi menyampaikan
"pesan" dengan jelas: agar Deni tidak lagi berbicara tentang hal itu.
Ancaman itu dibungkus dengan kalimat halus namun penuh peringatan tentang
keselamatan keluarga Deni.
Deni segera menghubungi Recky. Suaranya di telepon
terdengar tegang. "Mereka datang, Recky. Mereka tahu. Mereka tahu aku
bicara denganmu."
Recky merasakan dingin menjalar di punggungnya.
"Apa yang mereka katakan, Pak Deni?"
"Mereka hanya bilang, 'Jangan terlalu banyak
bicara, Pak Deni. Ingat keluarga.' Mereka tidak kasar, tapi pesannya jelas.
Mereka tidak mau ada lagi yang bicara. Aku tidak tahu harus bagaimana,
Recky." Ada kepanikan dalam suara Deni, meskipun ia berusaha menahannya.
Ia adalah seorang perancang strategi, bukan seorang pejuang garis depan yang
siap menghadapi intimidasi fisik.
"Tenang, Pak Deni," Recky berusaha
menenangkan. "Tetaplah bersembunyi. Jangan keluar. Saya akan coba
konsultasi dengan Pak Bramastra."
Kubu Istana merespons dengan cara yang lebih formal
dan terstruktur, namun sama-sama menekan. Melalui juru bicara dan narasi yang
dikontrol ketat, mereka terus mengulang klaim bahwa ijazah Wiwirana "asli
dan identik", bahkan menuding pihak yang mempertanyakan sebagai
"penyebar hoaks" dan "anti-pemerintah".
Beberapa media mainstream yang
sebelumnya menolak tulisan Recky, kini gencar memberitakan klaim Istana dan
Bareskrim. Mereka menyajikan narasi sepihak, mengabaikan semua bukti dan
kesaksian yang telah diungkapkan Recky dan Ibrami Nasdi. Para "pakar"
dadakan, yang sebelumnya tidak pernah terdengar suaranya, tiba-tiba muncul di
televisi untuk membenarkan narasi resmi dan menyerang balik penuduh.
"Ini adalah perang asimetris, Recky,"
kata Bramastra saat mereka akhirnya bisa bertemu secara rahasia di sebuah
tempat terpencil. "Mereka punya anggaran tak terbatas untuk membangun
narasi, untuk membayar buzzer, untuk mengontrol media.
Kita hanya punya kebenaran dan beberapa platform
kecil."
"Tapi kebenaran itu kuat, Pak Bram,"
Recky bersikukuh.
"Memang. Tapi kebenaran bisa tenggelam di
tengah badai kebohongan. Ingat, kasus Bombong Edi dan Gus Uru. Mereka divonis
tanpa barang bukti. Mereka bisa melakukannya lagi. Terlebih, ijazah itu masih
di tangan Wiwirana. Itu yang paling berbahaya."
Bramastra kemudian menceritakan detail yang ia
dapatkan dari seorang mantan rekan di KSP. "Polisi itu menerima perintah
langsung dari atas. Mereka tidak berani menahan barang bukti. Itu sebabnya
Wiwirana bisa mengambilnya kembali. Ada kekhawatiran besar di kubu mereka bahwa
jika ijazah itu diuji forensik oleh pihak independen, semuanya akan terbongkar.
Dan itu akan menghancurkan legitimasi mereka."
"Jadi, tidak ada harapan untuk mendapatkan
ijazah itu sebagai barang bukti?" tanya Recky.
Bramastra menggeleng. "Selama mereka masih
berkuasa, sepertinya tidak. Itu sebabnya mereka begitu mati-matian menutupi dan
menyerang balik. Karena jika kebenaran tentang ijazah itu terungkap, itu akan
membuka kotak Pandora. Akan muncul pertanyaan tentang legalitas semua keputusan
politik yang dibuat oleh presiden. Itu akan menjadi krisis konstitusional yang
dahsyat."
Recky menunduk, merenungkan implikasi dari apa yang
Bramastra katakan. Ini bukan lagi hanya tentang keabsahan dokumen pribadi
seorang presiden. Ini adalah tentang fondasi negara.
"Lalu, bagaimana kita melindungi Deni?"
tanya Recky, ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Deni yang telah
berani berbicara.
"Kita akan coba buat dia tidak mudah dilacak.
Mungkin perlu 'menghilang' untuk sementara waktu," kata Bramastra.
"Ini bukan lagi sekadar investigasi, Recky. Ini sudah menjadi pertarungan.
Dan kita harus siap dengan segala konsekuensinya."
Di balik layar, Widakdos sedang merancang strategi
balasan. Ia merasa dikhianati oleh Deni, namun ia juga tahu bahwa Deni adalah
mata rantai yang paling lemah. Ia harus dibungkam, atau setidaknya diisolasi,
agar tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut.
Ia mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya.
"Kita harus pastikan isu ini tidak berkembang. Fokus pada narasi 'hoaks'
dan 'fitnah'. Serang balik mereka yang menyebarkannya. Dan pastikan Deni tidak
lagi bisa berkomunikasi dengan pihak luar."
Langkah-langkah berikutnya pun diambil. Sebuah
laporan polisi diajukan terhadap Recky atas tuduhan pencemaran nama baik,
meskipun tanpa barang bukti yang jelas. Akun-akun media sosial yang paling
vokal menyebarkan tulisan Recky mulai dibekukan atau diretas. Tekanan kepada
Ibrami Nasdi juga meningkat, dengan ancaman-ancaman terselubung terhadap channel dan reputasinya.
Namun, Recky tidak gentar. Ia telah melihat betapa
berani dan gigihnya Bombong Edi dan Gus Uru dalam menghadapi penjara. Ia telah
mendengar tentang keberanian Tado Kiemes yang menentang arus. Ia tahu bahwa ia
berada di jalur yang benar.
"Mereka bisa memenjarakan tubuh kita, Pak
Bram," kata Recky suatu malam, saat ia merekam dirinya sendiri di ponsel,
untuk sebuah pesan yang ia harap akan tetap hidup jika sesuatu terjadi padanya.
"Tapi mereka tidak bisa memenjarakan kebenaran. Dan mereka tidak bisa
memadamkan api yang sudah terlanjur menyala."
Ia telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan
terburuk. Ia telah mengirim salinan semua catatannya, rekaman wawancaranya
dengan Deni, dan data-data pendukung lainnya kepada beberapa rekannya di luar
negeri, sebagai bentuk 'asuransi' agar kebenaran ini tidak bisa dikubur begitu
saja.
Pertarungan baru saja dimulai, dan kali ini, Recky
merasakan denyut nadinya sendiri menjadi bagian dari denyut nadi kebenaran yang
terus berdetak, di tengah jaring represi yang semakin mengencang.
Catatan:
Bab ini fokus pada eskalasi tekanan dan ancaman
dari pihak berwenang terhadap Recky dan Deni. Ini menjelaskan bagaimana jaring
represi bekerja (pengawasan, intimidasi, pembungkaman media mainstream) dan bagaimana kubu Istana merespons dengan
narasi "identik" yang dipaksakan. Bramastra memberikan perspektif
tentang bahaya dan kurangnya barang bukti, dan Recky mempersiapkan diri untuk
konsekuensi terburuk, menunjukkan tekadnya untuk terus berjuang.