BAB 13: Serangan Balik Hukum dan Dilema Perjuangan
BAB 13: Serangan Balik Hukum dan Dilema Perjuangan
By Akang Marta
Bab 13. Bab ini akan memfokuskan pada strategi baru
yang diterapkan oleh pihak berwenang untuk membungkam isu ini, yaitu dengan
menggunakan jalur hukum secara lebih agresif terhadap para pengungkap fakta,
dan bagaimana Recky serta Bramastra mencoba menghadapi hal tersebut.
Setelah badai di dunia maya dan suara Ibrami Nasdi,
kubu Istana menyadari bahwa taktik "identik" dan serangan buzzer saja tidak cukup untuk membungkam isu ijazah
ini. Publik telah terlanjur skeptis, dan kesaksian Dani Mukidar, meskipun hanya
dibagikan di platform alternatif, telah menusuk ke jantung
kebenaran. Mereka membutuhkan strategi yang lebih agresif dan, sayangnya, lebih
legalistik: menggunakan jerat hukum secara langsung.
Beberapa hari setelah laporan polisi terhadap
Recky, surat panggilan pemeriksaan resmi tiba di apartemennya. Tuduhannya:
pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan bahkan ujaran kebencian.
Recky tahu ini adalah konsekuensi yang sudah ia antisipasi, namun tetap saja
terasa seperti pukulan telak.
"Mereka mau meniru kasus Bombong Edi dan Gus
Uru, Pak Bram," kata Recky pada Bramastra, suaranya tegang saat mereka
membahas surat panggilan itu. "Mereka akan memenjarakan saya tanpa bukti
ijazah asli yang pernah ditunjukkan di persidangan."
Bramastra mengangguk, raut wajahnya serius.
"Itu memang modus operandi mereka. Mengkriminalisasi penuduh, tanpa pernah
membuktikan keaslian yang dituduhkan. Ini menunjukkan betapa takutnya mereka
terhadap kebenaran ijazah itu sendiri."
"Bagaimana saya harus menghadapi ini, Pak
Bram? Saya punya kesaksian Deni, tapi apakah itu cukup di mata hukum
mereka?"
"Hukum mereka, Recky, bukan hukum yang
sebenarnya," Bramastra menghela napas. "Mereka bisa memanipulasi
proses, membengkokkan aturan. Tapi kita tidak akan menyerah. Kita akan lawan.
Kita akan tunjukkan ke publik bahwa mereka menggunakan hukum sebagai alat
represi."
Bramastra segera menghubungi beberapa pengacara
pro-bono yang ia kenal, yang memiliki keberanian untuk mengambil kasus-kasus
sensitif seperti ini. Ia juga meminta Recky untuk mengamankan semua data dan
bukti yang ia miliki di tempat yang jauh lebih aman, mungkin di luar negeri,
sebagai jaminan jika sesuatu terjadi padanya.
Sementara itu, tekanan juga diarahkan kepada Ibrami
Nasdi. Channel YouTubenya mulai mendapatkan serangan siber, report massal, dan ancaman untuk di-takedown. Ada upaya sistematis untuk membatasi
jangkauan suaranya. Beberapa LSM dan organisasi pro-demokrasi yang sebelumnya
vokal, mulai menarik diri, khawatir akan menjadi target berikutnya.
Situasi Dani Mukidar semakin sulit. Setelah rumahnya
didatangi, ia memilih untuk "menghilang" sepenuhnya. Ia tidak lagi
bisa dihubungi melalui ponsel lamanya. Recky berusaha melacaknya, namun Deni
telah memutus semua jejak. Ia tahu, Deni melakukan itu demi keselamatannya dan
keluarganya, tetapi ini juga berarti Recky kehilangan saksi kuncinya.
"Deni tidak bisa dihubungi, Pak Bram,"
lapor Recky suatu hari. "Dia benar-benar hilang."
"Itu bagus, Recky," jawab Bramastra.
"Untuk sementara ini, keselamatan Deni adalah yang utama. Setidaknya,
kesaksiannya sudah terekam olehmu, dan sudah dibagikan."
Di balik Istana, Widakdos merasa puas dengan
perkembangan ini. Strategi "serangan balik hukum" telah berhasil
membungkam beberapa suara kritis.
"Pastikan kasus Recky diproses dengan
cepat," perintah Widakdos kepada seorang perwira tinggi kepolisian yang
menemuinya secara rahasia. "Dan pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk
menghadirkan bukti yang mempermalukan kita di pengadilan. Ijazah itu harus
tetap rahasia."
"Siap, Jenderal," jawab sang perwira,
meskipun ia bukan jenderal sungguhan, ia adalah orang kepercayaan yang
menjalankan tugas khusus ini. "Kami akan pastikan tidak ada barang bukti
yang aneh-aneh. Kami akan fokus pada unsur pencemaran nama baik dan penyebaran
hoaks."
Namun, di benak Widakdos, ada bayang-bayang yang
terus menghantuinya. Kesaksian Deni. Janji yang tidak ditepati. Dan fakta bahwa
ijazah itu memang berasal dari Pasar Premedia. Ia tahu, ia telah terlibat dalam
sebuah kebohongan besar yang telah membawa seorang pria ke puncak kekuasaan.
Dan kebohongan itu, ia tahu, cepat atau lambat akan selalu menemukan jalannya
untuk terungkap.
Ia juga mendengar kabar burung tentang Pradanta Edo
. Beberapa pihak di partai mulai menyingkirkan Pras, karena ia dianggap sebagai
salah satu mata rantai yang bisa menghubungkan kebenaran. Pras, yang dulunya
adalah pendukung setia, kini menjadi beban.
Di tengah tekanan yang semakin meningkat, Recky dan
tim pembela hukumnya mempersiapkan diri untuk pertempuran di pengadilan. Ini
bukan lagi hanya tentang membuktikan sebuah kebenaran, tetapi juga tentang
melawan sebuah sistem yang korup.
Bramastra terus memberikan dukungan moral dan
nasihat strategis. Ia juga mengintensifkan kampanyenya di media sosial,
menggunakan channel pribadinya dan jaringan netizennya untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami
Recky. Ia mendesak UGGMNN untuk bersikap jujur dan transparan, menuntut agar
ijazah asli Wiwirana segera ditunjukkan ke publik dan diuji secara forensik
oleh lembaga independen.
"Ini bukan hanya tentang Recky, ini tentang masa
depan demokrasi kita," tulis Bramastra dalam salah satu unggahannya yang
viral. "Jika sebuah negara bisa dipimpin oleh seseorang yang latar
belakang pendidikannya diragukan, dan aparat penegak hukumnya justru membungkam
para pengungkap fakta, maka kita telah kehilangan kompas moral kita sebagai
bangsa."
Pesan-pesan dukungan dari masyarakat sipil,
aktivis, dan akademisi yang berani, mulai mengalir kepada Recky. Meskipun
jumlahnya tidak sebanyak buzzer Istana, namun
suaranya lebih bermakna. Mereka adalah harapan terakhir bagi kebenaran.
Recky, di tengah kecemasannya, menemukan kekuatan
dari dukungan ini. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia mungkin akan menghadapi
penjara, tetapi setidaknya ia akan melakukannya dengan kepala tegak, demi
kebenaran yang ia yakini.
Ia memandang keluar jendela, ke arah langit Jakarta
yang pekat. Ada badai yang sedang mengamuk, namun di baliknya, ia yakin,
matahari kebenaran akan bersinar. Hanya masalah waktu.
Catatan:
Bab ini fokus pada eskalasi konflik di jalur hukum,
dengan Recky menerima surat panggilan pemeriksaan dan ancaman penjara. Ini
menyoroti modus operandi pihak berwenang dalam mengkriminalisasi pengungkap
fakta tanpa barang bukti yang jelas. Deni menghilang, memperumit posisi Recky.
Bab ini juga membahas respons Widakdos dan tekanan terhadap Ibrami Nasdi, serta
bagaimana Bramastra dan Recky tetap gigih melawan dengan dukungan moral dan
strategi hukum. Ini membangun ketegangan yang lebih tinggi dan menempatkan
Recky dalam bahaya yang lebih besar.