BAB 14: Pertarungan di Ruang Sidang: Antara Hukum dan Kekuasaan

BAB 14: Pertarungan di Ruang Sidang: Antara Hukum dan Kekuasaan

By Akang Marta

 


Bab 14. Bab ini akan memfokuskan pada awal persidangan Recky, upaya tim pembela untuk menghadirkan kebenaran, dan bagaimana tekanan politik di dalam ruang sidang terasa begitu nyata.

Surat panggilan itu akhirnya bermuara pada panggilan persidangan. Recky, dengan didampingi tim pengacara pro-bono yang disiapkan Bramastra, melangkahkan kaki ke gedung pengadilan, jantungnya berdebar kencang. Udara di dalam ruang sidang terasa berat, dipenuhi aura formalitas dan ketegangan. Ia tahu, ini bukan sekadar persidangan biasa. Ini adalah pertarungan antara kebenaran dan kekuasaan.

Jaksa penuntut umum, seorang wanita muda dengan wajah tanpa ekspresi, membacakan dakwaan dengan lugas. Ia menuduh Recky menyebarkan berita bohong, mencemarkan nama baik Presiden, dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Setiap kata terasa seperti palu yang memukul Recky, meskipun ia tahu ia berada di jalur yang benar.

Di kursi pengunjung, Bramastra duduk tegar, sorot matanya memberikan dukungan diam kepada Recky. Beberapa netizen dan aktivis yang berani juga hadir, memberikan dukungan moral. Namun, di barisan depan, ada beberapa wajah yang Recky kenali sebagai loyalis Istana, mata mereka mengawasi setiap gerak-gerik Recky dan timnya.

Tim pembela Recky, yang dipimpin oleh seorang pengacara senior bernama Ibu Duwarasanti, memulai argumennya dengan kuat. "Yang Mulia Hakim," Duwarasanti memulai, suaranya lantang, "klien kami, Recky, adalah seorang jurnalis investigasi yang hanya menjalankan tugasnya untuk mencari kebenaran. Ia telah mengumpulkan bukti dan kesaksian yang kredibel, yang seharusnya menjadi dasar bagi sebuah penyelidikan yang jujur, bukan sebuah dakwaan pidana."

Ia kemudian mengajukan permohonan agar pengadilan memerintahkan pihak kepolisian untuk menghadirkan barang bukti utama: ijazah asli Wiwi Wiwirana , untuk diuji secara forensik oleh lembaga independen.

"Bagaimana mungkin sebuah kasus pencemaran nama baik, yang intinya adalah keaslian sebuah dokumen, disidangkan tanpa menghadirkan dokumen itu sendiri sebagai barang bukti?" Duwarasanti menekan, menatap hakim. "Ini adalah pelanggaran mendasar terhadap prinsip peradilan yang adil dan transparan."

Jaksa penuntut segera menyela. "Yang Mulia, barang bukti ijazah telah kami terima dari pelapor, dan telah kami kembalikan. Kasus ini fokus pada perbuatan pencemaran nama baik, bukan pada keaslian ijazah itu sendiri."

"Bagaimana mungkin tidak terkait?" Duwarasanti membalas, tak gentar. "Inti dari pencemaran nama baik adalah tuduhan palsu. Jika tuduhan itu terbukti benar, maka tidak ada pencemaran nama baik! Dan untuk membuktikan kebenaran tuduhan, ijazah itu harus dihadirkan!"

Hakim, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, tampak ragu-ragu. Ia tahu betul sensitivitas kasus ini. Tekanan politik terasa begitu kental di ruang sidang. Setelah berdiskusi singkat dengan hakim anggota, ia menolak permohonan tim pembela.

"Permohonan penarikan barang bukti ijazah tidak dapat kami kabulkan untuk saat ini," kata Hakim, suaranya datar. "Fokus persidangan ini adalah pada perbuatan terdakwa Recky, terkait dakwaan pencemaran nama baik. Persidangan akan dilanjutkan dengan pembuktian dari pihak Jaksa Penuntut Umum."

Keputusan itu adalah pukulan telak. Recky merasakan kecewa yang mendalam. Pengadilan seolah-olah telah memutuskan untuk menutup mata terhadap akar masalah, fokus pada konsekuensi (pencemaran nama baik) daripada penyebabnya (dugaan pemalsuan ijazah).

"Lihat kan, Recky," bisik Bramastra padanya saat istirahat sidang. "Mereka akan mati-matian menghindari barang bukti itu. Itu artinya, kebenaran ada di pihak kita."

 

Persidangan berlanjut. Jaksa menghadirkan saksi-saksi dari pihak kepolisian yang mengklaim telah memverifikasi ijazah itu sebagai "identik". Mereka juga menghadirkan beberapa akademisi yang mendukung klaim UGGMNN tentang keaslian ijazah, meskipun argumen mereka terasa lemah dan tidak didukung oleh bukti konkret.

Tim pembela mencoba membongkar kesaksian mereka, menanyakan detail tentang proses verifikasi, mengapa ijazah asli tidak ditahan sebagai barang bukti, dan mengapa ada perbedaan mencolok dalam foto-foto yang beredar. Namun, setiap kali mereka mendekati inti masalah, jaksa akan memprotes dan hakim seringkali membatasi pertanyaan.

Recky duduk mendengarkan, merasa frustrasi. Ia memiliki kesaksian Deni yang begitu kuat, namun ia tidak bisa menghadirkan Deni secara langsung ke pengadilan karena alasan keamanan. Bahkan jika Deni bersedia, risiko yang ia hadapi terlalu besar.

Di tengah persidangan, Bramastra secara aktif memanfaatkan media sosial. Ia menyiarkan update persidangan, mengutip poin-poin penting dari argumen tim pembela, dan menyoroti kejanggalan dalam proses hukum. Setiap penolakan hakim terhadap permohonan barang bukti, setiap kesaksian yang diragukan, ia publikasikan. Ia menjadi corong bagi kebenaran yang dibungkam di ruang sidang.

Popularitas kasus ini di media sosial kembali meroket. Banyak netizen yang mengikuti jalannya persidangan melalui update Bramastra dan Ibrami Nasdi, menyuarakan kemarahan dan kekecewaan mereka terhadap sistem peradilan.

Namun, respons dari Istana dan Bareskrim juga semakin mengeras. Mereka mengeluarkan pernyataan resmi yang lebih agresif, mengancam akan menindak tegas siapa pun yang terus menyebarkan "hoaks" tentang ijazah presiden.

Bramastra sendiri merasakan tekanan. Ia tahu, posisinya sebagai politisi senior tidak menjamin kekebalan. Beberapa rekan lamanya di partai mulai menjauhinya, takut terkena imbas. Namun, ia tidak mundur. Baginya, ini adalah pertarungan terakhirnya untuk menegakkan kebenaran dan integritas.

Saat sidang ditunda, Recky berjalan keluar dengan perasaan campur aduk. Ia merasa seperti sedang berteriak di tengah badai, suaranya hampir tidak terdengar. Namun, ia juga tahu, ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang preseden, tentang apakah kebenaran akan bisa menembus dinding kekuasaan.

Ia akan terus berjuang. Demi kebenaran yang ia yakini, demi Deni yang kini hidup dalam persembunyian, demi Tado Kiemes yang meninggal dengan membawa kekecewaan. Pertarungan di ruang sidang baru saja dimulai, dan hasilnya, masih di tangan Tuhan dan, mungkin, di tangan rakyat yang terus mengawasi.

 

Catatan:

Bab ini fokus pada jalannya persidangan Recky, tantangan yang dihadapi tim pembela untuk menghadirkan barang bukti (ijazah asli), dan penolakan hakim yang menunjukkan tekanan politik. Ini menyoroti perbedaan antara hukum yang seharusnya berlaku dan bagaimana hukum itu dimanipulasi oleh kekuasaan. Bramastra tetap menjadi pendukung kuat dan corong di media sosial. Ini membangun ketegangan lebih lanjut dan rasa frustrasi akan ketidakadilan.

 

 

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel