BAB 15: Gema di Tengah Kesunyian: Saksi Tak Terduga

BAB 15: Gema di Tengah Kesunyian: Saksi Tak Terduga

By Akang Marta

 


Bab 15 akan fokus pada kelanjutan persidangan Recky, strategi tim pembela yang semakin berani, dan bagaimana perlawanan terhadap kekuasaan mulai menemukan celah.

Persidangan Recky berlanjut, dan atmosfer di ruang sidang semakin memanas. Setiap sesi terasa seperti pertarungan maraton, bukan hanya hukum tetapi juga kekuatan tekad. Jaksa penuntut umum terus membangun narasi bahwa Recky adalah penyebar hoaks yang tidak bertanggung jawab, merujuk pada unggahan-unggahannya di media sosial sebagai bukti "kejahatan"nya.

Tim pembela, Ibu Duwarasanti dan rekan-rekannya, tak gentar. Meskipun permohonan untuk menghadirkan ijazah asli ditolak, mereka tidak kehabisan akal. Mereka mulai menghadirkan saksi ahli yang mencoba menjelaskan kejanggalan-kejanggalan ijazah yang beredar.

Pertama, Rai Satia tampil sebagai saksi ahli telematika. Dengan proyektor, ia memaparkan analisis forensik visual yang detail. "Yang Mulia Hakim," kata Roy, dengan suara tegas, "hasil perbandingan forensik menunjukkan bahwa ijazah yang diklaim milik Wiwi Wiwirana  memiliki banyak anomali. Mulai dari jenis font yang tidak konsisten dengan standar UGGMNN pada tahun kelulusan, hingga posisi hologram dan tanda tangan yang tidak presisi. Foto yang digunakan di berbagai dokumen juga tampak seragam, seolah diambil dalam satu waktu dan satu studio, yang tidak lazim untuk dokumen yang dibuat dalam rentang waktu berbeda."

Jaksa mencoba menyela, menuding Rai Satia tidak relevan dan hanya beropini. Namun, Duwarasanti berkeras, "Kesaksian ahli ini sangat relevan untuk membuktikan bahwa tuduhan klien kami memiliki dasar yang kuat, Yang Mulia. Bahwa keraguan publik tidak muncul tanpa sebab." Hakim, kali ini, mengizinkan Roy untuk melanjutkan.

Kemudian, seorang ahli paleografi, ilmuwan yang mempelajari tulisan tangan dan dokumen kuno, dihadirkan. Ia menganalisis detail tanda tangan rektor yang tertera di ijazah Wiwirana dengan spesimen tanda tangan asli rektor UGGMNN pada periode yang sama. Hasilnya, meskipun tidak bisa secara definitif mengatakan itu palsu, ia menemukan "perbedaan karakteristik" yang signifikan.

"Perhatikan goresan pena ini, Yang Mulia," jelas sang ahli, menunjuk ke layar proyektor. "Ada ketidakkonsistenan tekanan dan kemiringan yang patut dipertanyakan jika dibandingkan dengan tanda tangan asli."

 

Di luar ruang sidang, Bramastra terus mengintensifkan kampanyenya. Ia mengunggah video-video singkat yang berisi cuplikan persidangan, poin-poin penting dari kesaksian ahli, dan kritiknya terhadap jaksa dan hakim yang dianggap menutup mata. Ia juga mengundang akademisi dan pakar hukum untuk berdiskusi di channel Ibrami Nasdi, membahas implikasi dari kasus ini terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Tekanan publik mulai terlihat. Tagar #IjazahAsliMana menjadi tren lagi. Demonstrasi kecil mulai muncul di beberapa kota, menuntut transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat, yang sudah lelah dengan intrik politik, mulai merasakan gelombang kebohongan yang terlalu besar untuk diabaikan.

Namun, yang paling mengejutkan adalah munculnya seorang saksi tak terduga yang datang langsung ke tim pembela Recky. Ia adalah Rifal Damai, staf KPU NEGERI WANDA yang pernah merasakan keganjilan pada dokumen Wiwirana saat pendaftaran Pilkada NEGERI WANDA 2012.

Haidar, seorang pemuda yang kini terlihat lebih matang namun tetap idealis, datang dengan rasa takut namun juga dorongan hati. Ia telah mengikuti perkembangan kasus Recky dan merasa terpanggil untuk bersaksi.

"Saya ingat betul, Ibu Duwarasanti," kata Haidar saat bertemu Duwarasanti dan Recky di sebuah tempat aman yang disiapkan Bramastra. "Saat itu, saya adalah salah satu staf yang memverifikasi dokumen. Foto di ijazah, surat nikah, dan dokumen lainnya, semuanya tampak seragam. Seperti diambil dalam waktu yang bersamaan. Ini tidak lazim untuk dokumen-dokumen yang seharusnya diurus dalam rentang waktu yang berbeda."

Recky menatap Haidar dengan penuh harapan. Ini adalah saksi mata, dari dalam KPU sendiri. Ini akan menjadi pukulan telak bagi narasi "identik" mereka.

Duwarasanti mengangguk. "Apakah Anda bersedia bersaksi di pengadilan, Saudara Haidar? Ini akan sangat berisiko bagi Anda."

Haidar menarik napas dalam-dalam. "Saya tahu risikonya, Ibu. Tapi saya merasa ini adalah panggilan. Saya tidak bisa diam melihat kebenaran dikubur. Saya bersedia."

Keputusan Haidar untuk bersaksi adalah sebuah keberanian luar biasa. Ia tahu bahwa ia akan menghadapi tekanan yang sangat besar, mungkin ancaman bagi karier atau bahkan keselamatannya. Namun, ia tak ingin lagi menjadi bagian dari sistem yang menutupi kebenaran.

Tim pembela segera memasukkan nama Rifal Damai sebagai saksi fakta. Berita tentang akan hadirnya saksi dari KPU NEGERI WANDA itu menyebar cepat di kalangan netizen, memicu antusiasme baru. Ini adalah pertama kalinya seseorang dari internal institusi yang terlibat langsung dalam verifikasi dokumen Pilkada 2012 berani bersuara.

Ketika Rifal Damai memasuki ruang sidang, suasana menjadi hening. Jaksa penuntut tampak terkejut, mereka jelas tidak mengantisipasi kehadiran saksi ini. Hakim, yang selama ini cenderung pasif, tampak sedikit tertarik.

"Saudara saksi, sebutkan nama lengkap dan pekerjaan Anda," perintah Hakim.

"Nama saya Rifal Damai, Yang Mulia. Mantan staf di KPUD NEGERI WANDA Jakarta."

"Apakah Anda memiliki pengetahuan tentang dokumen pencalonan Wiwi Wiwirana  saat Pilkada NEGERI WANDA tahun 2012?"

"Ya, Yang Mulia. Saya adalah salah satu staf yang bertugas memverifikasi dokumen-dokumen tersebut."

Haidar kemudian mulai menjelaskan apa yang ia lihat, bagaimana ia menemukan keganjilan pada foto-foto di ijazah dan dokumen lainnya. Ia berbicara dengan tenang, lugas, dan meyakinkan. Setiap katanya adalah gema kebenaran di tengah kesunyian yang mencekam.

Jaksa penuntut mencoba membantah, menuduh Haidar berbohong atau memiliki motif politik. Namun, Haidar tetap pada kesaksiannya, detailnya konsisten. Ia bahkan menyebutkan bagaimana rekannya saat itu mengabaikan keraguannya.

Kebenaran, seperti yang dikatakan Bramastra, memang seperti api. Meskipun terhalang, ia akan terus mencari celah untuk membakar dan menerangi. Dengan kesaksian Rifal Damai, api itu kini mulai menyala lebih terang di tengah gelapnya ruang sidang. Recky, yang duduk di kursi terdakwa, merasakan secercah harapan. Ini mungkin baru permulaan, tetapi ia tahu bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.

 

Catatan:

Bab ini fokus pada kelanjutan persidangan Recky, dengan tim pembela menghadirkan saksi ahli (Rai Satia dan ahli paleografi) untuk menjelaskan kejanggalan ijazah. Puncaknya adalah munculnya Rifal Damai, mantan staf KPU NEGERI WANDA, sebagai saksi tak terduga yang mengkonfirmasi keganjilan dokumen dari dalam institusi itu sendiri. Ini meningkatkan ketegangan dan memberikan harapan baru bagi kasus Recky, menyoroti bagaimana kebenaran mulai menemukan celah untuk bersuara.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel