BAB 17: Vonis dan Bara yang Tetap Menyala

BAB 17: Vonis dan Bara yang Tetap Menyala

By Akang Marta

 


Bab 17. Bab ini akan memfokuskan pada kekecewaan masyarakat terhadap putusan pengadilan, upaya Bramastra untuk menjaga api kebenaran tetap menyala di luar jalur hukum, dan implikasi jangka panjang dari kasus ini.

Perjalanan persidangan Recky terasa panjang dan melelahkan, sebuah sandiwara hukum yang telah ditentukan hasilnya. Meskipun tim pembela Recky telah menghadirkan saksi ahli yang kredibel, dan kesaksian berani dari Rifal Damai, dinding kekuasaan di ruang sidang terasa terlalu tebal untuk ditembus.

Tibalah hari vonis. Suasana di ruang sidang jauh lebih ramai dari biasanya. Netizen yang mengikuti kasus ini, beberapa aktivis, dan tentu saja Bramastra, memadati ruangan. Ada ketegangan yang menggantung di udara, antisipasi akan keputusan yang, entah mengapa, sudah bisa dirasakan sebelumnya.

Hakim Ketua, dengan suara datar dan tanpa emosi, membacakan putusan. "Menimbang bahwa terdakwa Recky terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong, sebagaimana diatur dalam undang-undang..."

Hukuman dijatuhkan. Recky dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Angka tahun yang disebutkan hakim terasa seperti pukulan keras yang merenggut napas Recky. Ia menatap Ibu Duwarasanti, yang raut wajahnya menunjukkan kekecewaan mendalam, namun juga tekad.

"Yang Mulia, kami akan mengajukan banding!" Duwarasanti mengumumkan dengan suara lantang, tak gentar.

Recky menoleh ke arah Bramastra. Pria tua itu mengangguk, tatapannya penuh pengertian. Ada kesedihan di mata Bramastra, tetapi juga ada kilatan perlawanan yang tak akan padam.

Di luar gedung pengadilan, kerumunan media sudah menunggu. Para wartawan dari media mainstream, yang selama ini cenderung mengabaikan isu ijazah, kini berebut mewawancarai tim Jaksa Penuntut Umum dan perwakilan dari pihak Istana. Mereka tampak puas, menyatakan bahwa "kebenaran telah terungkap" dan "pelaku penyebar hoaks telah dihukum."

Namun, di sudut lain, Bramastra bersama beberapa netizen dan perwakilan TPUA, dikelilingi oleh wartawan dari media alternatif dan netizen yang merekam menggunakan ponsel mereka.

"Ini adalah kemunduran bagi keadilan di negeri ini!" seru Bramastra, suaranya parau namun penuh semangat. "Putusan ini adalah bukti nyata bahwa hukum telah dibengkokkan demi melindungi kekuasaan. Recky adalah korban dari sebuah sistem yang takut pada kebenaran. Mereka bisa memenjarakan tubuh Recky, tetapi mereka tidak akan bisa memenjarakan kebenaran yang sudah terlanjur terungkap!"

Ia melanjutkan dengan menuntut KPU untuk transparan, UGGMNN untuk jujur, dan kepolisian untuk bertindak adil. "Jika mereka memang tidak punya apa-apa untuk disembunyikan, tunjukkan ijazah itu! Uji secara forensik oleh lembaga independen! Mengapa ini tidak pernah dilakukan?"

Video dan pernyataan Bramastra kembali viral di media sosial, menjadi penyeimbang narasi mainstream. Kemarahan dan kekecewaan publik meluap di dunia maya. Banyak yang merasa bahwa keadilan telah mati di ruang sidang.

 

Recky dibawa ke lembaga pemasyarakatan. Ia berbagi sel dengan beberapa narapidana lain. Di balik jeruji, ia memiliki banyak waktu untuk merenung. Ia tidak menyesal. Ia telah melakukan apa yang ia yakini benar. Ia telah mempertaruhkan segalanya demi mengungkap kebenaran yang selama ini terkubur.

Ia seringkali membayangkan Dani Mukidar. Apakah ia aman dalam persembunyiannya? Apakah ia juga mengikuti berita tentang vonisnya? Recky berharap Deni tetap aman, dan bahwa kesaksiannya, meskipun tidak bisa ia ulangi di pengadilan, akan terus hidup dan menggema di luar sana.

Ibrami Nasdi, meskipun terus mendapat tekanan, tak pernah berhenti. Ia terus mengundang narasumber-narasumber yang berani, membahas kasus Recky, dan mengingatkan publik akan pentingnya kebebasan berpendapat dan independensi hukum. Ia menjadi simbol perlawanan yang tak kenal lelah.

Bramastra, di sisi lain, beralih strategi. Ia tahu bahwa jalur hukum formal mungkin akan menemui jalan buntu selama kekuasaan ini masih tegak. Maka, ia memutuskan untuk menjaga api kebenaran tetap menyala di luar jalur hukum. Ia mulai menulis buku, mengumpulkan semua informasi, kesaksian, dan analisis yang ia miliki tentang kasus ijazah ini. Ia ingin memastikan bahwa kisah ini tidak akan pernah terlupakan, bahwa suatu hari nanti, sejarah akan mencatat apa yang sebenarnya terjadi.

"Ini bukan tentang kemenangan di pengadilan, Recky," Bramastra menulis dalam surat yang ia kirimkan ke penjara. "Ini tentang kemenangan kebenaran dalam jangka panjang. Kamu telah menyalakan api. Sekarang, tugas kita yang di luar adalah menjaga api itu tetap menyala, sampai dia membakar semua kebohongan dan membebaskan keadilan."

 

Di balik dinding Istana, Widakdos dan lingkaran dalamnya merayakan "kemenangan" di pengadilan. Mereka yakin telah berhasil membungkam isu ini. Namun, jauh di dalam lubuk hati Widakdos, ada keraguan yang terus menggerogoti. Ia tahu, putusan ini tidak didasarkan pada kebenaran. Ia tahu, ada sesuatu yang busuk di inti fondasi kekuasaan mereka.

"Hanya soal waktu," pikir Widakdos, sambil memandang foto presiden di mejanya. "Hanya soal waktu sebelum bara yang tersembunyi itu kembali menjadi api."

Kasus Recky menjadi preseden, peringatan bagi siapa pun yang berani mempertanyakan kekuasaan. Namun, bagi Bramastra dan Recky, ini adalah bara yang tak akan pernah padam. Bara kebenaran yang akan terus menghangatkan hati nurani, menanti saat yang tepat untuk kembali menyala menjadi kobaran api yang akan menerangi kegelapan.

Novel ini belum selesai, tetapi babak utama dari pertarungan kebenaran di era yang penuh intrik ini telah mencapai puncaknya. Apakah kebenaran akan benar-benar terungkap sepenuhnya? Apakah para pelaku akan menghadapi konsekuensi? Itu adalah pertanyaan yang akan dijawab oleh waktu, dan mungkin, oleh perjuangan generasi berikutnya.

 

Catatan:

Bab ini menjadi klimaks dari alur persidangan Recky, di mana ia divonis bersalah. Ini menyoroti kekecewaan terhadap putusan hukum yang tidak adil, tetapi juga menampilkan perlawanan yang tak padam dari Bramastra dan Recky (bahkan di dalam penjara). Fokusnya bergeser dari kemenangan hukum menjadi kemenangan narasi dan perjuangan jangka panjang untuk kebenaran di luar jalur hukum formal. Ini memberikan resolusi sementara pada alur persidangan, sambil meninggalkan pintu terbuka untuk implikasi jangka panjang dan perjuangan yang berkelanjutan.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel