BAB 2: Jejak di Jalan Cikini
BAB 2: Jejak di Jalan Cikini
By Akang Marta
Baik, mari kita lanjutkan novel ini dengan Bab 2.
Bab ini akan mulai menggali lebih dalam ke masa lalu, memperkenalkan Deni
secara lebih pribadi dan hubungannya dengan janji-janji politik, serta sedikit
sentuhan pada karakter Pras.
Lima tahun sebelum kobaran api melahap Pasar
Premedia, Jakarta bergejolak dalam hiruk pikuk persiapan Pilkada. Tahun 2012
adalah era di mana politik mulai merambah ke setiap lapisan masyarakat, bukan
hanya di gedung parlemen, tetapi juga di warung kopi, di terminal bus, bahkan
di gang-gang sempit ibukota. Di tengah pusaran ini, sebuah nama baru muncul
dari Negeri Solomon, digadang-gadang sebagai kuda hitam yang akan mengubah peta
kekuasaan Jakarta. Ia adalah Wiwi, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai
Wiwirana.
Kantor tim pemenangan di Jalan Berubur 22, Menteng,
adalah sarang lebah yang tak pernah sepi. Di sanalah, setiap malam, strategi
dirancang, janji-janji dilontarkan, dan mimpi-mimpi dibangun. Tiga serangkai
menjadi motor penggerak: Roy dikin, seorang veteran partai dengan karisma
kebapakan; Pradanta Edo , sosok pragmatis dengan jaringan luas di DPRD NEGERI
WANDA; dan Dani Mukidar, seorang aktivis senior partai yang cerdas namun
seringkali tak terlihat di garis depan.
Deni adalah otaknya. Bukan otak yang terbiasa
dengan retorika panggung atau jargon politik yang muluk-muluk, melainkan otak
yang piawai dalam memecahkan masalah. Masalah-masalah yang seringkali tak kasat
mata, yang tersembunyi di balik tumpukan berkas dan persyaratan birokrasi. Ia
adalah tipe orang yang bisa menemukan jalan keluar, bahkan ketika semua pintu
tampaknya tertutup.
Malam itu, di sebuah sudut kafe remang-remang di
Jalan Cikini, aroma kopi pahit dan asap rokok mengepul tebal. Deni duduk
berhadapan dengan Widakdos, tangan kanan Wiwirana dari Negeri Solomon. Suasana
tegang menyelimuti meja mereka, jauh dari riuh rendah kampanye yang membakar
semangat massa. Ini adalah percakapan rahasia, inti dari sebuah kesepakatan
yang akan menentukan nasib banyak orang.
Widakdos, dengan wajah yang selalu tenang namun
sorot mata yang penuh perhitungan, membuka pembicaraan. "Pak Deni, kami
datang dari Negeri Solomon dengan bekal semangat dan dukungan rakyat. Tapi, ada
satu kendala krusial yang harus diselesaikan segera. Dokumen Pak Wiwi... kami
tidak memiliki kelengkapan persyaratan formal untuk pencalonan gubernur."
Deni mengernyitkan dahi. Ia sudah menduga masalah
ini akan muncul. Selentingan bahwa "jagoan" dari Negeri Solomon itu
memiliki latar belakang yang "aneh" sudah lama beredar di kalangan
internal partai. Namun, mendengar langsung dari orang kepercayaannya, tetap
saja mengejutkan. "Maksud Anda, dokumen apa, Pak Wiwirana ? KTP? Surat
Nikah? Ijazah?"
"Semuanya, Pak Deni. Atau hampir
semuanya," jawab Widakdos datar, seolah sedang melaporkan daftar belanja.
"Surat keterangan sehat, bebas narkoba, bahkan ijazah. Sepertinya,
dokumen-dokumen itu tidak pernah ada, atau sulit dilacak. Dan waktu kita sangat
mepet."
Deni menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin
seorang calon kepala daerah, yang sudah begitu populer, tidak memiliki
dokumen-dokumen dasar? "Ini masalah besar, Pak Wiwirana . KPU tidak akan
meloloskan ini."
Widakdos mengangguk. "Tentu saja. Karena itu
kami datang kepada Anda, Pak Deni. Kami tahu reputasi Anda dalam mencari
solusi, dalam merintis jalan yang tak terlihat. Pak Pras yang merekomendasikan
Anda."
Deni menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia adalah
seorang idealis yang terpaksa berhadapan dengan realita pahit dunia politik.
Namun, ia juga ambisius. Ia melihat peluang di balik masalah ini. "Solusi
selalu ada, Pak Wiwirana . Tapi setiap solusi ada harganya."
"Kami mengerti, Pak Deni," kata Widakdos,
tangannya mengambil secarik kertas dan mendorongnya ke hadapan Deni. "Ini
adalah daftar kebutuhan. Satu paket, seperti yang Pak Deni katakan. Foto-foto
untuk ijazah, untuk dokumen nikah, semuanya harus seragam dan terlihat
meyakinkan. Dan tentu saja, yang paling penting, ijazah S1. UGGMNN, Fakultas
Kehutanan, jika memungkinkan. Itu akan memberikan kesan yang kuat."
Mata Deni menyapu daftar itu, lalu berhenti pada
nama "UGGMNN". Ia tahu persis di mana ia bisa mendapatkan itu semua,
dengan cepat, efisien, dan tanpa jejak yang terlalu mencolok. Ia teringat akan
sebuah 'jasa' di Pasar Premedia, yang sudah lama ia ketahui. Tempat di mana
keaslian bisa diproduksi dengan presisi yang menakutkan.
"Saya tahu tempatnya, Pak Wiwirana ,"
kata Deni, suaranya pelan namun penuh kepastian. "Pasar Premedia. Ada
beberapa orang di sana yang sangat 'ahli' dalam hal ini. Mereka bisa membuat
apa pun yang Anda butuhkan, dengan cap, stempel, dan legalisir yang sempurna."
Widakdos tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai
ke matanya. "Bagus, Pak Deni. Saya yakin Anda adalah orang yang tepat.
Kami butuh ini diselesaikan secepatnya. Dan untuk imbalannya... Pak Wiwirana
tahu bagaimana menghargai sebuah jasa. Direktur Utama Pasar Jaya. Itu posisi
yang bisa Anda pegang jika semua ini berhasil."
Deni terdiam sejenak. Direktur Utama Pasar Jaya.
Sebuah posisi strategis, kekuatan ekonomi di ibukota. Impian yang selalu ia
pendam, namun tak pernah teraih. Ia, sang perancang di balik layar, akhirnya
akan mendapatkan pengakuan yang layak. Ambisi dan idealisme bergumul dalam
dirinya. Namun, janji itu terlalu menggiurkan untuk ditolak.
"Baik, Pak Wiwirana . Saya akan atur.
Orang-orang di Pasar Premedia itu akan saya perkenalkan langsung kepada Anda.
Kita akan pastikan semua berjalan lancar."
Dari sanalah, benang merah itu mulai terajut. Dari
bisikan rahasia di kafe Cikini, hingga ke lorong-lorong remang Pasar Premedia.
Dari janji manis kekuasaan, hingga jejak-jejak yang akan berusaha dihapus oleh
api. Deni, sang perancang, tidak pernah tahu bahwa janji itu akan menjadi
sebuah ilusi, dan perannya dalam transaksi gelap itu akan menghantuinya
bertahun-tahun kemudian.
Catatan:
Bab ini mulai memperkenalkan latar belakang
"transaksi" ijazah di Pasar Premedia, melibatkan Deni dan Widakdos,
serta janji politik yang mengikat Deni. Saya mencoba memberikan gambaran
suasana politik saat itu dan karakterisasi singkat dari Deni sebagai otak di
balik operasi ini, dan Pras sebagai penghubung. Ini adalah langkah awal untuk
mengembangkan plot menuju intrik dan konsekuensi di bab-bab selanjutnya.