BAB 3: Pabrik Kebenaran Buatan

BAB 3: Pabrik Kebenaran Buatan

By Akang Marta

 


Bab 3 akan fokus pada proses pembuatan dokumen palsu di Pasar Premedia, mempertemukan Widakdos dengan "para ahli" di sana, dan menyoroti peran Deni dalam keseluruhan skema.

Lorong-lorong Pasar Premedia di hari-hari biasa adalah sebuah simfoni kekacauan. Teriakan pedagang, tawar-menawar pembeli, dan denting troli bercampur dengan aroma obat-obatan, ramuan herbal, dan bau apak barang-barang bekas. Namun, di balik keramaian itu, ada sebuah sudut yang lebih tenang, bahkan terkesan kumuh dan tidak mencolok. Sebuah ruko tua dengan cat yang mengelupas, pintu besinya sering tertutup rapat, hanya sesekali terbuka untuk menyambut "klien" tertentu. Inilah sarang dari para "seniman" yang mampu menciptakan kebenaran dari ketiadaan, para pembuat ijazah palsu.

Dani Mukidar mengatur pertemuan itu dengan cermat. Ia membawa Widakdos, sang penghubung dari Negeri Solomon, ke sarang tersebut. Bukan pertemuan di kafe mewah, melainkan di sebuah ruangan sempit yang dipenuhi tumpukan kertas, alat cetak usang, dan berbagai jenis stempel yang tersimpan rapi dalam laci-laci kayu. Udara di ruangan itu pengap, berbau tinta dan lem.

Di sana, mereka bertemu dengan dua orang pria yang dijuluki "Profesor Kertas" dan "Doktor Stempel." Nama asli mereka tidak penting, karena yang mereka jual bukanlah identitas diri, melainkan identitas yang lain. Profesor Kertas, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal dan jemari yang cekatan, adalah otak di balik desain. Dia bisa mereplikasi logo universitas mana pun, jenis huruf, bahkan serat kertas yang khas. Doktor Stempel, rekannya yang lebih pendiam, adalah master dalam seni legalisasi. Dia memiliki koleksi stempel basah dari berbagai lembaga, mulai dari rumah sakit hingga kementerian, yang hampir mustahil dibedakan dari aslinya.

"Jadi, Tuan Deni membawa proyek besar kali ini?" sambut Profesor Kertas dengan senyum licik, matanya menari di balik kacamata. Dia sudah mengenal Deni dari "proyek-proyek" sebelumnya, meski biasanya skalanya lebih kecil, untuk kader-kader partai yang hanya butuh ijazah sarjana demi melengkapi syarat caleg di tingkat daerah. Kali ini, auranya berbeda.

Deni mengangguk, memperkenalkan Widakdos. "Ini Pak Wiwirana , dari tim pemenangan Pak Wiwi. Kebutuhan kali ini cukup kompleks. Satu paket dokumen, lengkap dengan ijazah S1 Fakultas Kehutanan UGGMNN."

Widakdos menyerahkan sebuah USB flash drive kepada Profesor Kertas. "Foto-fotonya sudah ada di sini. Formatnya sudah kami sesuaikan. Detail nama, tanggal lahir, dan tahun kelulusan juga sudah tertera. Kami butuh kualitas terbaik, dalam waktu yang sangat singkat."

Profesor Kertas memasukkan USB itu ke laptop lamanya. Layar monitor memancarkan cahaya biru, menampilkan deretan foto seorang pria yang sama, namun dengan pose dan ekspresi yang berbeda-beda. "Ah, jadi ini wajah dari sang 'sarjana' baru kita," gumamnya, melirik sekilas ke arah Deni dan Widakdos. "Untuk UGGMNN, Fakultas Kehutanan... itu tantangan yang menarik. Kami punya beberapa referensi ijazah asli dari sana, jadi identifikasi pola dan detailnya tidak akan terlalu sulit. Yang penting, data yang Bapak berikan harus akurat."

"Data sudah diverifikasi," tegas Widakdos. "Kami hanya butuh produk jadinya, secepat mungkin. Dan semua dokumen pendukung lainnya."

Daftar dokumen itu cukup panjang: surat keterangan sehat dari rumah sakit, surat bebas narkoba, surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, bahkan surat nikah yang 'baru'. Deni tahu, ini bukan hanya tentang ijazah. Ini tentang menciptakan sebuah narasi hidup yang utuh, yang dapat lolos dari saringan birokrasi yang paling ketat sekalipun.

Doktor Stempel, yang sejak tadi hanya menyimak, kini angkat bicara. "Untuk stempel dan legalisir, kami punya semua bahannya. Tinggal disesuaikan dengan tanggal dan tahun yang diminta. Rumah sakit? Polisi? Bahkan cap notaris? Semua bisa diatur. Tinggal berikan detailnya."

Deni dan Widakdos duduk mendengarkan penjelasan teknis dari kedua "ahli" tersebut. Mereka membahas jenis kertas, tinta khusus, font yang digunakan, hingga detail paling kecil seperti letak tanda tangan dan nomor seri. Semua direncanakan dengan presisi yang menakutkan, seolah mereka sedang membangun sebuah karya seni, bukan memalsukan dokumen penting negara.

"Satu hal lagi," kata Profesor Kertas sebelum mereka beranjak. "Untuk ijazah, kami bisa membuat transkrip nilai yang meyakinkan. Tapi untuk skripsi... itu agak sulit. Biasanya, kami hanya mencantumkan bahwa skripsi telah 'diselesaikan'. Apakah itu cukup?"

Widakdos menoleh ke Deni. Deni mengangguk. "Itu sudah cukup. Yang penting, ijazah itu sendiri bisa diverifikasi secara visual dan administratif. Detail lain akan kita pikirkan nanti jika ada pertanyaan."

Kesepakatan tercapai. Harga disepakati, jumlah dicatat, dan tenggat waktu dipatok. Deni memberikan uang muka yang cukup besar, sebagian dari dana kampanye yang telah dialokasikan untuk "kebutuhan tak terduga". Ia merasa sedikit mual, namun janji Direktur Utama Pasar Jaya membayangi benaknya, mengalahkan rasa bersalah.

Beberapa hari kemudian, Deni kembali ke ruko itu. Di atas meja, tertata rapi sebuah bundel dokumen. Ijazah S1 Fakultas Kehutanan UGGMNN dengan nama Wiwi Wiwirana  terpampang jelas, lengkap dengan tanda tangan rektor yang dipalsukan dengan sangat mirip, stempel universitas yang sempurna, dan bahkan hologram palsu yang berkilauan. Ada transkrip nilai yang tampak kredibel, meski tanpa detail skripsi. Di sebelahnya, surat keterangan sehat dari rumah sakit terkemuka, surat bebas narkoba, dan berbagai dokumen lain, semuanya tampak asli, seolah keluar langsung dari institusi resmi.

Deni memeriksanya satu per satu, mengagumi keahlian para pemalsu itu. Profesor Kertas dan Doktor Stempel memang layak menyandang gelar "ahli" dalam bidangnya. Jika ia tidak tahu asalnya, ia pun akan tertipu.

"Sempurna, Profesor," puji Deni. "Kalian memang yang terbaik."

Profesor Kertas tersenyum puas. "Kami selalu memastikan kepuasan pelanggan, Tuan Deni. Dan ingat, rahasia adalah kunci keberhasilan bisnis kami."

Deni membawa bundel dokumen itu langsung kepada Widakdos. Widakdos, setelah memeriksanya dengan teliti, mengangguk puas. "Ini luar biasa, Pak Deni. Ini akan sangat membantu. Langkah selanjutnya, kita akan serahkan ini ke Pak Pras untuk diajukan ke KPUD."

Pada titik ini, Deni merasa seperti seorang arsitek yang baru saja menyelesaikan pembangunan sebuah fondasi raksasa. Fondasi yang rapuh, dibangun di atas pasir kebohongan, namun sangat krusial bagi sebuah menara ambisi yang akan menjulang tinggi. Ia telah menjalankan perannya, kini giliran yang lain.

Ia tak tahu, di kemudian hari, dokumen-dokumen itu akan menjadi pusat badai yang mengguncang negeri. Ijazah yang dibuat di sebuah ruko sempit di Pasar Premedia, kini akan menjadi objek perdebatan panas antara politisi, akademisi, dan bahkan masyarakat luas. Dan api yang melahap pasar itu bertahun-tahun kemudian, seolah ingin menghapus jejak dari pabrik kebenaran buatan ini, namun gagal. Sebab, bara dari kebohongan, seringkali, lebih sulit dipadamkan daripada api yang melahap kayu dan kertas.

Catatan:

Bab ini fokus pada "aksi" di Pasar Premedia, memperkenalkan "Profesor Kertas" dan "Doktor Stempel" sebagai karakter fiktif yang menjalankan operasi pemalsuan. Detail mengenai jenis dokumen yang dibuat, prosesnya, dan interaksi antara Deni, Widakdos, serta para pemalsu, ditonjolkan. Tujuan adalah untuk memberikan gambaran lebih konkret tentang bagaimana dugaan pemalsuan ini terjadi, sekaligus menanamkan benih konflik di masa depan.

 

 

 

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel