BAB 4: Jalan Dokumen ke KPU dan Bisikan Keraguan

BAB 4: Jalan Dokumen ke KPU dan Bisikan Keraguan

By Akang Marta

 


Bab 4. Bab ini akan menyoroti penyerahan dokumen, proses di KPU, dan kekecewaan Tado Kiemes, yang terinspirasi dari informasi tentang "Tado Kemas enggak mau terima" dan "jebakan hasil survei".

Dokumen-dokumen "lengkap" dari Pasar Premedia, diserahkan oleh Widakdos kepada Mas Pradanta Edo . Pras, sosok yang cekatan dan terbiasa dengan segala seluk-beluk birokrasi politik, menerima bundel itu tanpa banyak pertanyaan. Matanya terlatih untuk melihat kelengkapan formalitas, bukan keaslian intrinsik. Baginya, tugasnya adalah memastikan semua persyaratan administratif terpenuhi agar calon yang didukung bisa melaju.

"Sudah lengkap semua, Pras?" tanya Widakdos, saat mereka bertemu di sebuah restoran masakan Sunda tak jauh dari kantor tim pemenangan.

Pras mengangguk sambil mengunyah karedoknya. "Lengkap. Deni memang hebat. Dia bisa gerak cepat. Tadi saya sudah cek sekilas, semua sesuai dengan format yang diminta KPU. Nanti sore langsung kita serahkan ke KPUD NEGERI WANDA."

Widakdos tersenyum tipis. "Bagus. Pastikan tidak ada celah."

"Tenang saja, Widakdos," kata Pras, menyeka sudut bibirnya. "Juliantoro di KPU juga orang kita. Dia pasti akan membantu melancarkan. Dia mungkin tidak akan membaca setiap detail, yang penting formalitas terpenuhi."

Dan memang, ketika rombongan tim pemenangan tiba di kantor KPUD NEGERI WANDA, suasana verifikasi dokumen berjalan relatif mulus. Juliantoro, yang menjabat di KPU, menerima berkas-berkas itu dengan profesional. Ia melihat tumpukan dokumen yang tebal, lengkap dengan stempel dan tanda tangan yang tampak meyakinkan. Matanya sempat berhenti sejenak pada foto di ijazah S1 UGGMNN, lalu beralih ke surat-surat lainnya. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun ia cepat menepisnya. Mungkin hanya kelelahan.

Namun, di antara para staf KPU yang bertugas memverifikasi, ada seorang muda bernama Rifal Damai. Ia adalah staf yang teliti, dengan mata yang tajam terhadap detail. Ketika ia melihat bundelan dokumen Wiwi Wiwirana , ada sesuatu yang terasa ganjil. Fotonya. Semua foto di berbagai dokumen – ijazah, surat nikah, bahkan surat keterangan sehat – tampak seragam, seolah diambil pada waktu yang bersamaan, dalam studio yang sama. Ini tidak lazim. Biasanya, dokumen-dokumen penting seperti ijazah dan surat nikah diambil dalam rentang waktu yang berbeda, di tempat yang berbeda, dan seringkali menunjukkan perbedaan usia atau gaya rambut.

Haidar mencoba bertanya pada rekannya, namun rekannya hanya mengangkat bahu. "Sudah lengkap, Haidar. Apalagi? Yang penting lolos administrasi." Ia memutuskan untuk menyimpan keganjilan itu dalam benaknya, sebuah bisikan keraguan yang belum bisa ia buktikan. Apa daya seorang staf rendahan di tengah tekanan kampanye politik besar?

Jauh dari hiruk pikuk Jakarta, di sebuah rumah peristirahatan di Cisarua, Bogor, Bapak Tado Riemes merasakan kegelisahan yang sama. Ia adalah tokoh sentral di partai, seorang politisi senior dengan insting tajam yang jarang meleset. Sejak awal, ia tidak pernah sreg dengan pencalonan Wiwi Wiwirana .

Sore itu, ia duduk di teras sambil menyesap teh hangat, ditemani beberapa kader muda partai yang sering datang untuk sekadar mendengarkan petuah darinya. Salah satunya adalah Bramastra, yang loyalitasnya kepada Tado tak diragukan lagi.

"Saya bilang ke Ibu, orang ini aneh," kata Tado, suaranya pelan namun penuh penekanan. "Dia ini rakus kekuasaan. Saya lihat orang ini tak jelas. Bego kita kalau dukung dia."

Bramastra hanya mengangguk, mendengarkan. Ia tahu persis bagaimana pandangan Tado terhadap Wiwi Wiwirana . Tado selalu melihat ke dalam, mencoba menembus citra yang dibangun, mencari esensi seorang pemimpin. Dan dalam diri Wiwi Wiwirana , ia menemukan kekosongan yang mengkhawatirkan.

"Tapi Ibu tetap bersikukuh, Pak Tado," kata salah seorang kader muda. "Lembaga survei bilang popularitasnya sangat tinggi. Sampai 80 persen. Bahkan, mereka bilang Wiwirana berpasangan dengan sandal saja bisa menang."

Tado menghela napas panjang, sorot matanya menerawang jauh ke puncak gunung yang diselimuti kabut. "Ah, survei. Itulah jebakan. Terjebak oleh angka-angka semu, yang dibuat oleh segelintir orang. Rakyat yang sesungguhnya tidak pernah disurvei. Kita yang bekerja di lapangan, yang tahu denyut nadi masyarakat, justru dipinggirkan oleh popularitas buatan."

"Jadi, karena survei itu, kita terpaksa menerima pencalonannya, Pak?" tanya Bramastra, lebih ke diri sendiri daripada kepada Tado.

Tado mengangguk lesu. "Ya, begitulah. Partai ini ibaratnya sudah 'tutup mata'. Mengikuti arus yang diciptakan oleh lembaga survei. Padahal, kita tahu ada yang tidak beres. Ini orang tidak punya ijazah, Bram. Dokumennya tidak jelas. Dari mana dia bisa lolos di Negeri Solomon, saya juga tidak tahu. Sekarang di Jakarta, entah apa yang mereka buat untuk meloloskannya."

Kekhawatiran Tado bukan tanpa dasar. Ia telah mendengar bisikan-bisikan dari jaringan lamanya tentang "paket dokumen" yang sedang disiapkan untuk Wiwi Wiwirana . Bisikan-bisikan tentang Pasar Premedia, tentang upaya "membuat" latar belakang yang meyakinkan. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang busuk, sesuatu yang akan mengguncang pondasi integritas partai dan negara. Namun, suara instingnya kalah oleh gema hasil survei yang memekakkan telinga.

"Kita akan jadi petugas partai yang buta, Bram," lanjut Tado, memijit pelipisnya. "Melaksanakan perintah tanpa tahu kebenaran di baliknya. Ini akan jadi preseden buruk. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dipilih berdasarkan popularitas semu dan dokumen yang meragukan?"

Bramastra hanya bisa diam. Ia merasakan kepedihan yang sama. Ia tahu Pak Tado benar. Tapi keputusan sudah diambil. Roda politik sudah bergerak, dan mereka, para kader partai, harus patuh. Meskipun, di dalam hati, keraguan itu terus membara, menanti waktu yang tepat untuk menjadi api yang sesungguhnya.

Pencalonan Wiwi Wiwirana  sebagai gubernur NEGERI WANDA Jakarta berjalan lancar, seolah tanpa hambatan berarti. Berkas-berkas yang diproduksi dengan presisi di Pasar Premedia, lolos verifikasi administratif. Popularitas yang dibangun oleh lembaga survei, melesat tak terbendung. Dan keraguan dari orang-orang seperti Tado Kiemes, hanya menjadi bisikan-bisikan di pojok ruangan, tertelan oleh gemuruh euforia politik.

Namun, di setiap awal yang mulus, seringkali tersembunyi benih-benih kehancuran. Dan ijazah S1 dari UGGMNN, yang kini sah tercantum sebagai syarat pencalonan, adalah bom waktu yang suatu saat akan meledak, menghancurkan bukan hanya reputasi individu, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem.

 

Catatan:

Bab ini memperlihatkan perjalanan dokumen palsu ke KPU, menyoroti sedikit keganjilan yang diperhatikan staf KPU (Rifal Damai), dan yang terpenting, mendalami kekecewaan serta kekhawatiran Tado Kiemes terhadap pencalonan Wiwi Wiwirana  karena isu dokumen dan pengaruh survei. Ini membangun ketegangan naratif dan foreshadowing konflik yang akan datang.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel