BAB 5: Tangga Kekuasaan dan Benih Perpecahan

BAB 5: Tangga Kekuasaan dan Benih Perpecahan

By Akang Marta

 


Bab 5. Bab ini akan memfokuskan pada periode setelah kemenangan Wiwirana sebagai Gubernur dan kemudian ke pencalonan presiden, menyoroti bagaimana dokumen yang sama digunakan kembali, dan awal mula keretakan di internal partai.

Kemenangan Wiwi Wiwirana  sebagai Gubernur NEGERI WANDA Jakarta adalah sebuah fenomena politik. Euforia menyelimuti pendukungnya, dan bagi partai pengusung, ini adalah bukti sahih keampuhan strategi 'blusukan' dan citra kerakyatan yang dibangun. Di tengah perayaan itu, dokumen-dokumen yang diproduksi di Pasar Premedia, kini tersimpan rapi dalam arsip KPUD, menjadi bukti bisu dari sebuah awal yang penuh keraguan.

Dani Mukidar, sang perancang di balik layar, menanti janjinya. Jabatan Direktur Utama Pasar Jaya. Namun, waktu berlalu, dan kabar itu tak kunjung tiba. Pradanta Edo , yang seharusnya menjadi jembatan bagi Deni, hanya bisa menggelengkan kepala.

"Sabar, Den," kata Pras suatu sore di sebuah kedai kopi langganan mereka. "Ini masih awal. Banyak yang harus diatur. Lagipula, Pak Wiwirana mungkin ingin Anda memulai dari posisi yang lebih kecil dulu, seperti komisaris. Itu kan juga posisi strategis."

Deni mendengus. "Komisaris? Itu bukan yang dijanjikan, Pras. Aku bekerja keras untuk ini. Aku yang merancang, aku yang menghubungkan, aku yang mengambil risiko." Ada nada kekecewaan yang kentara dalam suaranya. Ia merasa dikhianati. Ini bukan hanya tentang jabatan, tetapi tentang pengakuan atas pengorbanannya.

Pras hanya bisa menepuk pundak Deni. "Aku tahu, Den. Tapi ini politik. Nanti aku coba bicarakan lagi. Tapi, yang jelas, kau tahu kan, Pak Wiwirana sekarang punya banyak pertimbangan. Dia bukan lagi Wiwirana yang dulu datang dari Negeri Solomon, polos dan tanpa jaringan."

Percakapan itu meninggalkan Deni dengan rasa pahit. Janji yang menggiurkan kini terasa hambar. Ia telah menanam benih, namun orang lain yang memetik buahnya. Ini adalah pelajaran pertama baginya tentang kejamnya dunia politik, di mana loyalitas seringkali hanya dihargai selama masih dibutuhkan.

 

Tak lama berselang, roda politik kembali berputar kencang. Nama Wiwi Wiwirana , yang baru sebentar menduduki kursi NEGERI WANDA 1, mulai digadang-gadang untuk posisi yang jauh lebih tinggi: Presiden Republik Indonesia. Gelombang popularitasnya tak terbendung. Rakyat menginginkan perubahan, dan Wiwirana seolah menjadi simbol dari harapan itu.

Di internal partai, terutama di DPP, persiapan pencalonan presiden berlangsung intens. Tim administrasi partai mulai mengumpulkan kembali dokumen-dokumen calon. Di sinilah Adi Prasojo, seorang elit partai yang memang ditugaskan khusus untuk mengawasi administrasi, menemukan keganjilan yang sama seperti Rifal Damai di KPU NEGERI WANDA dulu.

Randi, seorang yang teliti dan memiliki memori yang kuat, memegang bundelan dokumen Wiwi Wiwirana . Ia meneliti setiap lembar. Ijazah, surat keterangan, surat nikah. Semuanya. Lalu, ia menemukan kejanggalan pada foto-foto di semua dokumen itu.

"Bang, ini fotonya sama semua nih," kata Randi kepada seorang rekan senior di DPP. "Foto nikah, foto ijazah, foto SMA... seperti dicetak pada waktu yang sama, dari satu studio yang sama. Ini aneh."

Rekan senior itu hanya melambaikan tangan. "Sudahlah, Di. Yang penting lengkap. Itu dokumen dari pencalonan gubernur kemarin. Sudah lolos KPU NEGERI WANDA. Bu Dewi sendiri yang sudah restui. Jangan dicari-cari masalah."

Meskipun demikian, keraguan itu tertanam dalam benak Randi. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, namun tekanan dari atas begitu kuat. Ini adalah pertaruhan besar partai. Menggugat keaslian dokumen calon presiden berarti mengguncang fondasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Ia hanya bisa menghela napas, menyerahkan bundelan dokumen itu kepada LO (Liaison Officer) yang akan membawanya ke KPU Pusat.

Di KPU Pusat, dokumen yang sama kembali diserahkan, melalui proses verifikasi yang kurang lebih mirip. Tekanan politik, popularitas calon yang sudah melambung tinggi, dan asumsi bahwa "sudah lolos di NEGERI WANDA, pasti beres," membuat verifikasi tidak dilakukan secara mendalam. Informasi tentang keberadaan dokumen asli yang tidak dapat diverifikasi oleh mantan rektor UGGMNN, Satria Wanendi, masih menjadi bisikan yang belum mengemuka ke publik secara luas.

 

Di sisi lain, di lingkungan dekat Tado Kiemes, kekecewaan semakin mendalam. Sang Ketua Umum, Ibu Dewi, akhirnya memberikan restu untuk pencalonan presiden. Keputusan ini, lagi-lagi, didasarkan pada hasil survei yang terus menunjukkan angka fantastis bagi Wiwirana. Tado Kiemes, dengan instingnya yang tajam, merasa partainya sedang terjerat dalam ilusi.

"Kita ini petugas partai, Bram," kata Tado kepada Bramastra dalam salah satu pertemuan sore mereka yang rutin di kediaman Tado. "Tapi kita juga punya akal sehat. Ada hati nurani. Bagaimana mungkin kita mencalonkan seseorang yang latar belakangnya buram? Yang dokumennya saja meragukan?"

"Ibu melihatnya dari popularitas, Pak," jawab Bramastra lirih. "Survei-survei itu telah membutakan banyak orang di partai."

"Itu menyesatkan!" Tado membanting tangannya ke meja, membuat cangkir tehnya bergetar. "Survei itu hanya mengambil sampel segelintir orang, lalu mengklaimnya sebagai suara rakyat. Rakyat sesungguhnya, seperti kita, yang tahu apa yang terjadi di lapangan, diabaikan. Ini bukan lagi tentang ideologi partai, bukan tentang pro-rakyat. Ini tentang kekuasaan. Dan untuk kekuasaan, mereka rela mengorbankan integritas."

Kesehatan Tado Kiemes mulai menurun drastis setelah itu. Kekecewaan yang mendalam terhadap arah partai, terhadap pilihan-pilihan yang dibuat berdasarkan kalkulasi politik jangka pendek daripada prinsip, menggerogoti semangatnya. Bagi Bramastra, menyaksikan kemunduran kesehatan Tado adalah sebuah tragedi. Ia melihat bagaimana pemimpin sejati, yang berpegang teguh pada nilai-nilai, terpaksa menelan pil pahit demi kepentingan yang lebih besar, atau mungkin, demi ambisi yang lebih besar dari orang lain.

Kematian Tado Kiemes tak lama setelah itu, meninggalkan lubang besar di hati banyak kader partai. Bagi Bramastra, kematian itu bukan hanya karena penyakit fisik, tetapi juga karena kekecewaan mendalam atas perubahan arah partai, atas hilangnya idealisme yang dulu dipegangnya. Pertanyaan tentang ijazah Wiwirana, yang dulunya hanya bisikan samar di lingkaran Tado, kini terasa seperti bom waktu yang terus berdetak, siap meledak di kemudian hari.

Dokumen-dokumen dari Pasar Premedia, yang kini telah mengantarkan seorang gubernur menuju gerbang kepresidenan, menjadi simbol dari sebuah kompromi besar. Kompromi antara kebenaran dan popularitas, antara integritas dan ambisi. Dan di balik kilau kemenangan, benih-benih perpecahan dan intrik telah tertanam, menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh menjadi badai.

 

Catatan:

Bab ini melanjutkan alur cerita dengan fokus pada penggunaan kembali dokumen yang sama untuk pencalonan presiden, peran Adi Prasojo dalam menemukan keganjilan foto, dan semakin mendalamnya kekecewaan Tado Kiemes yang berujung pada menurunnya kesehatannya. Ini juga menyoroti bagaimana popularitas dan hasil survei dapat menutupi keraguan dan mendorong keputusan politik yang kontroversial, menanamkan benih konflik internal yang lebih besar di kemudian hari.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel