BAB 6: Wiwirana Berubah, Bayang-bayang Ijazah Mengintai
BAB 6: Wiwirana Berubah, Bayang-bayang Ijazah Mengintai
By Akang Marta
Bab 6. Bab ini akan memfokuskan pada periode
setelah Wiwi Wiwirana menjadi presiden,
perubahan dalam lingkaran kekuasaannya, dan awal mula munculnya keraguan publik
yang lebih terorganisir.
Kemenangan Wiwi Wiwirana dalam pemilihan presiden adalah sebuah babak
baru bagi Indonesia. Sosok yang semula dianggap sederhana, merakyat, dan jauh
dari intrik politik Jakarta, kini menduduki kursi kekuasaan tertinggi. Namun,
bagi Bramastra dan banyak kader lama partai, kemenangan itu justru membawa
kekhawatiran. Mereka melihat perubahan yang cepat dan mengkhawatirkan.
Pada awal periode kepemimpinannya, di tahun 2014,
Wiwi Wiwirana masih mencoba merangkul semua
elemen. Kabinetnya diisi oleh beberapa wajah idealis, yang dikenal pro-rakyat,
seperti Reza Miaradi, Yuda Krasnada, dan Ananda Chaniagra. Mereka adalah
cerminan dari semangat 'Nawa Cita', sembilan agenda prioritas yang diusung
partai sebagai visi pembangunan.
Namun, seiring berjalannya waktu, sekitar tahun
2016-2018, perubahan itu mulai terasa kentara. Satu per satu, orang-orang baik
yang dianggap berintegritas dan pro-rakyat mulai digeser. Digantikan oleh
wajah-wajah baru yang lebih pragmatis, lebih dekat dengan lingkaran oligarki
dan kepentingan bisnis besar. Rindi Sumarano, Djerick Thorih, Lubut Bantar
Panjaunan, dan nama-nama lain yang sebelumnya tidak terlalu dikenal dalam
lingkaran inti partai, kini menjadi penasihat utama, pengisi otak sang presiden.
"Ini bukan lagi PARTAI MERDEKA Rakyat yang
kita kenal, Bram," keluh seorang kawan lama Bramastra di sebuah pertemuan
tertutup. "Ini bukan lagi tentang ideologi, tentang kesejahteraan rakyat.
Ini tentang bisnis, tentang kekuasaan semata."
Bramastra merasakan hal yang sama. Ia, yang sempat
menduduki posisi di Kantor Staf Presiden (KSP) selama lima tahun, menyaksikan
langsung bagaimana kebijakan-kebijakan yang awalnya pro-rakyat bergeser menjadi
lebih liberal dan pro-oligarki. Proyek-proyek tambang yang dulunya milik negara
kini dikuasai swasta. Kebijakan-kebijakan ekonomi lebih condong ke arah
investor asing daripada pengusaha lokal. Ini adalah Wiwirana yang berbeda,
bukan lagi "petugas partai" yang diharapkan Tado Kiemes.
"Otaknya diisi oleh orang-orang itu,"
Bramastra pernah berkata pada Recky, jurnalis muda yang masih setia
mendengarkan setiap analisisnya. "Mereka yang merancang kebijakan, mereka
yang mengarahkan. Wiwirana hanya menjadi boneka, menjalankan skema yang sudah
disiapkan oleh para oligarki."
Yang paling mencolok adalah penanganan pandemi
COVID-19. Kebijakan yang ambigu, pengadaan barang-barang kesehatan yang penuh
tanda tanya, hingga dugaan permainan harga dari orang-orang terdekat kekuasaan.
Ada bisikan tentang empat orang kunci yang mengendalikan alokasi anggaran
triliunan rupiah dari berbagai kementerian dan lembaga. Uang rakyat yang
seharusnya digunakan untuk kesehatan dan pemulihan, justru menjadi bancakan
segelintir pihak.
Di tengah gejolak politik dan ekonomi yang semakin
keruh, sebuah nama mulai muncul ke permukaan, membawa kembali isu lama yang
sempat terkubur: Bombong Edi. Seorang penulis dan aktivis yang blak-blakan,
Bombong Edi mulai menyuarakan keraguannya tentang keabsahan ijazah Wiwi
Wiwirana . Ia menuduh Wiwi Wiwirana
tidak memiliki ijazah asli, dan bahwa ijazah yang ada adalah palsu.
Pernyataan Bombong Edi, meskipun kontroversial,
menemukan resonansi di kalangan masyarakat yang sudah mulai merasakan
kekecewaan terhadap arah kepemimpinan. Terlebih lagi, ketika mantan rektor UGGMNN,
Satria Wanendi, secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada nama Wiwi
Wiwirana di Fakultas Kehutanan UGGMNN
sepanjang sejarah, melainkan nama Wiwi Wahyudi atau Wiwi Haryono, api keraguan
itu semakin membesar.
"Itu puncaknya, Recky," kata Bramastra
kepada Recky saat mereka bertemu di sebuah warung kopi di pinggir jalan.
"Pernyataan rektor itu menguatkan semua kecurigaan yang selama ini hanya
menjadi bisikan."
Recky mengangguk. "Tapi, kenapa Bombong Edi
dan Gus Uru justru dipenjara, Pak? Mereka dituduh mencemarkan nama baik, tanpa
bukti ijazah yang asli pernah ditampilkan di pengadilan."
Bramastra mendengus. "Itulah keanehannya.
Mereka dipenjara tanpa barang bukti. Ijazah asli itu tidak pernah muncul di
persidangan. Ini yang membuat orang-orang seperti Eggi Sudjana dan kawan-kawan
TPUA, pembela mereka, semakin penasaran dan terus mengupas tuntas."
Kerja keras TPUA, didukung oleh analis-analis
seperti Rai Satia, Desmondu, dan Ibu Fati, mulai membuahkan hasil. Mereka
meneliti salinan ijazah yang beredar di publik, membandingkannya dengan standar
ijazah UGGMNN yang sebenarnya, dan menemukan banyak kejanggalan. Ukuran font,
posisi logo, bahkan jenis kertas, semuanya tampak tidak sesuai.
"Mereka mengatakan itu tidak asli, Pak
Bram," kata Recky. "Tapi UGGMNN sendiri, dan beberapa pihak dari PSI,
menyatakan itu asli, dan diakui oleh Wiwirana sendiri."
"Itu perlawanan, Recky," Bramastra
menjelaskan. "Perlawanan dari kebenaran yang tertutupi. Kami bahkan sempat
datang ke UGGMNN, saya ikut waktu itu. Kami tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan. UGGMNN seperti mengada-ngada. Mereka mengatakan itu produk mereka,
tapi secara administrasi, legalitas, ada banyak keraguan."
Bagaimana mungkin UGGMNN, sebuah institusi
pendidikan terkemuka, mengakui sesuatu yang menurut banyak pihak meragukan? Di
sinilah ingatan Bramastra melayang kembali ke masa lalu, ke tahun 2012, ke
Pasar Premedia.
"Jika itu bukan produk UGGMNN, lantas di mana
itu diproduksi?" tanya Bramastra retoris. "Saya langsung teringat
pada awal reformasi, pada tahun 2010-2012, bagaimana banyak sekali kader
partai, termasuk dari PARTAI MERDEKA Rakyat, yang punya ijazah palsu dari Pasar
Premedia untuk memenuhi syarat menjadi anggota dewan, bupati, bahkan
gubernur."
Recky terdiam, mencatat setiap kata Bramastra.
Pikirannya melayang kembali ke kebakaran Pasar Premedia di tahun 2015.
"Jadi, Pak Bram curiga ijazah Wiwirana juga berasal dari sana?"
"Bukan sekadar curiga, Recky," kata
Bramastra, suaranya kini lebih rendah, lebih penuh kepastian.
"Polisi-polisi Bareskrim saat ini, jika mereka pernah bertugas di Jakarta
Pusat atau Jakarta Timur di tahun-tahun itu, mereka pasti tahu betapa maraknya
ijazah palsu dari Pasar Premedia. Posisi pasar itu di antara Jakarta Pusat dan
Jakarta Timur. Aneh jika mereka tidak tahu."
Bramastra kemudian menceritakan tentang perannya
dalam mendapatkan informasi ini. "Setelah pulang dari Negeri Solomon,
setelah kami tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari UGGMNN, saya lacak ke
kawan-kawan kader. Siapa yang pertama kali menerima rombongan dari Negeri
Solomon di tahun 2012? Siapa yang merintis pertemuan-pertemuan itu?"
Ia menyebutkan nama Mas Pras, Dani Mukidar,
Widakdos, bahkan Rifal Damai di KPU. Semua benang merah itu kini mulai
terhubung, membentuk sebuah jaring intrik yang kompleks.
Kebakaran Pasar Premedia di tahun 2015, yang sempat
dianggap sebagai musibah biasa, kini terasa seperti bagian dari skema besar
untuk menghilangkan jejak. Dua pelaku ijazah palsu yang tertangkap oleh Polres
Jakarta Pusat, yang mungkin tahu banyak tentang operasi tersebut, berpotensi
menjadi kunci.
"Jika pasar itu tidak dibakar," Bramastra
merenung, "mungkin kebenaran akan terbongkar lebih cepat. Semua ini adalah
misteri. Seperti kasus Kejaksaan yang dibakar, ada kasus besar di situ, dibakar
bumi hangus. Cara yang sama."
Pikiran Recky berpacu. Ini bukan hanya cerita
tentang ijazah palsu. Ini adalah kisah tentang kekuasaan, kebohongan, dan upaya
sistematis untuk menutupi kebenaran. Sebuah misteri yang melibatkan tokoh-tokoh
penting, institusi negara, dan bahkan nyawa. Sebuah kisah yang baru saja
dimulai untuk diungkap.
Catatan:
Bab ini fokus pada perubahan karakter Wiwirana
setelah menjadi presiden, masuknya lingkaran oligarki, dan awal mula munculnya
keraguan publik yang lebih terorganisir melalui sosok Bombong Edi. Kemudian,
mengaitkan kembali dengan informasi kunci dari transkrip, yaitu peran mantan
rektor UGGMNN dan Pasar Premedia, serta dugaan upaya penghilangan jejak melalui
kebakaran. Ini adalah momen krusial di mana Bramastra mulai menghubungkan semua
titik.