BAB 7: Perlawanan Kebenaran dan Misteri Barang Bukti

BAB 7: Perlawanan Kebenaran dan Misteri Barang Bukti

By Akang Marta

 


Bab 7. Bab ini akan fokus pada reaksi dan perlawanan dari pihak yang meragukan ijazah, terutama Rai Satia, Desmondu, dan Ibu Fati, serta menyoroti keanehan perilaku kepolisian dan pengadilan terkait barang bukti.

Gelombang keraguan yang dipicu oleh pernyataan Bombong Edi dan mantan rektor UGGMNN, Satria Wanendi, tak dapat lagi dibendung. Meskipun Bombong Edi dan Gus Uru dijebloskan ke penjara, api itu justru semakin berkobar. Ini adalah titik balik. Jika sebelumnya hanya bisikan di lingkaran dalam dan kekecewaan para idealis partai, kini isu ijazah palsu itu menjadi konsumsi publik, menyeret berbagai pakar untuk ikut angkat bicara.

Rai Satia, seorang ahli IT dan telematika yang dikenal kritis, menjadi salah satu garda terdepan. Bersama Desmondu dan Ibu Fati, mereka tak henti-hentinya menganalisis setiap detail ijazah yang beredar di media massa dan media sosial. Mereka membandingkan salinan ijazah yang diklaim milik Wiwi Wiwirana  dengan spesimen ijazah asli UGGMNN dari tahun yang sama. Hasilnya, mencengangkan.

"Ini tidak identik!" seru Rai Satia dalam sebuah konferensi pers daring yang diikuti Bramastra dan Recky. "Ukuran font berbeda, kop surat tidak presisi, bahkan nomor seri dan kode etik yang seharusnya ada pada ijazah UGGMNN yang asli, tidak cocok. Ini seperti ada kejanggalan pada angka 1112 atau 114 atau 115 yang tidak sesuai. Kalau polisi bilang ini identik, mereka pasti tidak menggunakan kaidah forensik yang benar!"

Desmondu, yang memiliki latar belakang hukum, menambahkan, "Polisi menyatakan ijazah itu 'identik', padahal hasil perbandingan forensik menunjukkan banyak ketidaksesuaian. Ini seperti dipaksakan. Bagaimana mungkin institusi pendidikan sekelas UGGMNN, yang reputasinya dipertaruhkan, bisa mengakui sesuatu yang secara administratif dan fisik sangat meragukan?"

Pernyataan mereka mengguncang jagat maya, menciptakan perdebatan sengit antara pendukung dan penentang. UGGMNN sendiri terus bersikukuh bahwa ijazah itu asli, sebuah sikap yang membingungkan Bramastra.

"UGGMNN ini sampai kapan mau mempertahankan kebohongan ini?" gumam Bramastra pada Recky. "Mereka tempat KKN? Kalau kita pernah kuliah, kita tahu, semua data itu lengkap. Lahirnya, tanggalnya, nama skripsi, semua tercatat rapi. Sekarang yang diributkan lahirnya, ijazahnya tidak ada skripsi. Karena memang dibikin oleh Pasar Premedia!"

Recky mencatat setiap kekesalan Bramastra. "Lalu bagaimana dengan Kuwotoro, Pak? Dia sempat mengaku sebagai pengajar di kehutanan UGGMNN dan membantah tudingan Bombong Edi."

"Kuwotoro itu dimanfaatkan," jawab Bramastra. "Saya yakin. Coba saja ditanya, apakah dia pernah bertemu Wiwi Wiwirana  pada waktu kuliah tahun 80-an itu? Apakah dia benar-benar mengenalnya? Apakah dia dosen pembimbing atau penasihat akademiknya? Pasti dia akan jawab tidak." Bramastra menghela napas. "Itu logika saja, Recky."

 

Namun, yang paling membingungkan bagi Bramastra adalah perilaku aparat penegak hukum. Kasus Bombong Edi dan Gus Uru adalah anomali. Mereka divonis tanpa barang bukti berupa ijazah asli yang pernah ditampilkan di pengadilan.

"Barang bukti itu hakikatnya harus ada di tangan kepolisian, lalu ke kejaksaan, baru ke pengadilan," jelas Bramastra dengan nada frustrasi. "Tapi kenapa dalam kasus ini, ijazah itu diambil kembali oleh Wiwirana setelah diserahkan ke polisi? Harusnya kan disimpan sebagai barang bukti!"

Recky menunjukkan artikel berita di ponselnya. "Ada pernyataan bahwa dokumen di KPU juga hilang, Pak. Setelah gonjang-ganjing Bombong Edi ini."

Bramastra mengepalkan tangan. "Itu dia! Ini mirip sekali dengan kasus Bombong Edi dan Gus Uru. Polisi menerima barang bukti, lalu entah kenapa 'diserahkan' kembali kepada Wiwi Wiwirana . Alasannya, katanya akan dibawa jika diperintah hakim. Lho, bagaimana hakim mau memerintah jika barang bukti saja tidak ada di polisi atau kejaksaan? Bagaimana barang itu bisa sampai ke pengadilan?"

"Jadi, polisi memproses kasus ini tanpa barang bukti?" Recky bertanya, tak percaya.

"Ya, begitulah kelihatannya," Bramastra mengangguk pahit. "Hampir sama dengan kasus matinya enam orang di Km 50, ada barang bukti parang, pedang, celurit. Ada. Tapi ini? Tidak ada! Bagaimana mau menyidangkan dan menghukum orang di atas tiga tahun penjara untuk pencemaran nama baik, sementara barang bukti utamanya tidak ada?"

Ini adalah titik di mana kepercayaan Bramastra terhadap penegakan hukum di Indonesia mulai runtuh. Polisi, jaksa, dan pengadilan, seolah-olah, bersekongkol untuk mengadilkan orang tanpa bukti yang kuat, mendahulukan pidana pencemaran nama baik daripada kebenaran perdata tentang keaslian ijazah.

"Ada kekhawatiran, Recky," Bramastra melanjutkan, suaranya pelan. "Kekhawatiran Wiwirana terhadap barang bukti itu. Dia tahu, jika ijazah itu benar-benar diproses secara forensik oleh pihak independen, kebenaran akan terkuak. Maka, diambil. Dan polisi tidak berani melawan, tidak bisa menahannya."

 

Malam itu, Bramastra mencoba menghubungi Mas Pras. Pembicaraan mereka singkat, namun penuh makna.

"Om Bram," sapa Pras dari ujung telepon. "Ada apa?"

"Pras, soal ijazah ini," Bramastra langsung ke intinya. "Kamu tahu kan, di awal pencalonan gubernur dulu, ada masalah dokumen. Kamu yang menerima dari Widakdos. Kamu tahu siapa Dani Mukidar, dan apa perannya."

Pras terdiam sejenak. "Ya, Om. Saya tahu. Widakdos memang tidak punya dokumen lengkap saat itu. Deni yang bantu merancang. Saya kenal semua orang Negeri Solomon itu. Saya yang bawa mereka ketemu Deni."

"Apa kamu tahu tentang Pasar Premedia? Tentang ijazah itu?" desak Bramastra.

Pras terdengar ragu. "Saya… saya tidak tahu detailnya, Om. Saya tahunya dari Widakdos saja. Deni yang memprakarsai pertemuan dengan orang-orang di Pasar Premedia itu. Tapi dia bilang dia hanya mendraftnya. Saya tidak pernah mendengar pembicaraan antara Deni dan Widakdos secara spesifik tentang ijazah palsu."

"Tapi kamu tahu janji ke Deni, kan?" Bramastra tidak menyerah. "Janji Direktur Utama Pasar Jaya?"

Ada helaan napas berat dari Pras di ujung telepon. "Ya, itu... itu memang sempat dibicarakan, Om. Deni dijanjikan Dirut, tapi dia dapatnya hanya komisaris. Makanya dia marah sampai sekarang. Dia bilang saya brengsek karena tidak menepati janji."

Bramastra bisa merasakan frustrasi Pras. "Jadi, kamu mengakui ada janji itu, dan Deni tidak mendapatkannya?"

"Ya, Om. Begitulah. Ini politik, Om," jawab Pras, mencoba meredakan suasana.

Percakapan itu semakin menguatkan dugaan Bramastra. Ada benang merah yang jelas. Janji yang tidak ditepati, sebuah ijazah yang meragukan, dan perilaku aneh aparat penegak hukum. Semua ini menunjukkan sebuah pola. Pola di mana kekuasaan digunakan untuk menutupi kebenaran, untuk menginjak-injak integritas.

"Ini bukan hanya tentang kebohongan, Recky," kata Bramastra kepada Recky setelah teleponnya dengan Pras terputus. "Ini tentang bagaimana sistem ini bisa dibengkokkan. Bagaimana hukum bisa dipaksa tunduk pada kepentingan. Bagaimana kebenaran bisa dikaburkan oleh narasi yang dibangun kuat. Ini pelajaran besar bagi kita semua."

Dan bagi Recky, ini adalah panggilan untuk menggali lebih dalam. Ia harus menemukan Dani Mukidar, orang yang menjadi arsitek kebohongan itu, dan orang yang paling merasa dikhianati. Mungkin, dari Deni, kebenaran yang sesungguhnya akan mulai terungkap. Kebenaran yang selama ini mati-matian berusaha disembunyikan.

 

Catatan:

Bab ini fokus pada reaksi dan perlawanan dari pihak yang meragukan ijazah (Rai Satia, Desmondu, Ibu Fati), dengan detail yang diambil dari transkrip. Saya menyoroti keanehan perilaku kepolisian dan pengadilan terkait barang bukti ijazah, serta percakapan Bramastra dengan Mas Pras yang mengkonfirmasi adanya janji kepada Deni dan peran Pasar Premedia. Ini semakin memperkuat konflik dan urgensi untuk mencari Dani Mukidar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel