BAB 8: Perburuan Deni dan Bayang-bayang Pengkhianatan
BAB 8: Perburuan Deni dan Bayang-bayang Pengkhianatan
By Akang Marta
Bab 8. Bab ini akan fokus pada upaya Recky untuk
menemukan Dani Mukidar dan latar belakang Deni yang lebih mendalam, termasuk
kekecewaannya.
Percakapan dengan Bramastra telah membakar semangat
Recky. Dani Mukidar. Nama itu terus berputar di benaknya. Sosok kunci yang
selama ini bergerak di balik layar, yang mungkin memegang banyak jawaban. Jika
ada orang yang tahu persis detail "operasi" di Pasar Premedia, orang
itu adalah Deni. Dan jika ada orang yang paling merasa dikhianati oleh
janji-janji kekuasaan, orang itu juga Deni.
Mencari Dani Mukidar tidak semudah membalik telapak
tangan. Deni adalah hantu. Setelah tidak mendapatkan jabatan yang dijanjikan,
ia menarik diri dari lingkaran politik, menghilang dari radar. Ia tidak lagi
aktif di markas partai, tidak lagi terlihat di acara-acara publik. Recky
mencoba melacaknya melalui Pradanta Edo , namun Pras hanya mengatakan bahwa ia
sudah lama tidak bertemu Deni secara langsung.
"Dia memang marah besar sama saya, Om,"
kata Prasetyo saat Recky menghubunginya kembali atas saran Bramastra. "Dia
merasa dikhianati. Saya sudah coba ajak ketemu, tapi dia selalu menolak. Dia
maunya Dirut, bukan komisaris."
"Apa Anda tahu di mana dia sekarang?"
desak Recky.
"Tidak pasti. Mungkin di Jakarta, tapi dia
memang sulit ditemui. Dia orang cerdas, tapi nasibnya memang belum beruntung di
politik," jawab Pras, terdengar menyesal.
Recky tak menyerah. Ia mulai menggali informasi
dari kader-kader PARTAI MERDEKA Rakyat NEGERI WANDA Jakarta yang lebih senior,
yang pernah berinteraksi dengan Deni. Ia menyusuri jejak-jejak lama: dari
kantor tim pemenangan di Jalan Berubur 22, hingga ke kafe-kafe dan warung makan
yang dulu sering menjadi tempat kumpul para politisi.
Dani Mukidar dulunya adalah aktivis PARTAI MERDEKA
di NEGERI WANDA, menjabat sebagai sekretaris tim pemenangan Wiwirana saat
Pilkada gubernur. Ia adalah seorang pentolan, orang penting di akar rumput. Ia
mungkin tidak punya jabatan struktural di pusat seperti Bramastra, tetapi
pengaruhnya di NEGERI WANDA sangat kuat. Ia adalah arsitek strategi di balik
layar, orang yang memikirkan detail-detail teknis yang seringkali diabaikan
para politisi besar. Termasuk, tentu saja, masalah dokumen.
Beberapa minggu kemudian, setelah bertanya
sana-sini dan mengikuti bisikan dari jaringan informasi lapis kedua, Recky
akhirnya mendapatkan petunjuk. Dani Mukidar kadang terlihat di sebuah pom
bensin tua yang dulunya sering menjadi tempat kongko Tado Kiemes dan
kawan-kawan. Sebuah tempat yang jauh dari gemerlap politik, tempat di mana
orang-orang bisa berbicara lepas, tanpa beban citra.
Sore itu, Recky mendatangi tempat itu. Sebuah pom
bensin yang kini lebih berfungsi sebagai warung kopi dan tempat makan
sederhana. Aroma bensin bercampur dengan wangi kopi tubruk dan gorengan. Di
salah satu meja pojok, ia melihat Dani Mukidar. Pria itu tampak lebih kurus,
rambutnya sedikit memutih, dan sorot matanya menyimpan kelelahan yang dalam. Ia
sendirian, sibuk dengan ponselnya.
Recky menghampiri dengan hati-hati. "Pak Dani
Mukidar?"
Deni mendongak, matanya menatap Recky dengan
curiga. "Anda siapa?"
"Nama saya Recky, Pak. Jurnalis lepas. Saya
ingin berbicara dengan Bapak tentang... beberapa hal terkait masa lalu,
khususnya soal pencalonan Pak Wiwirana dulu." Recky sengaja tidak langsung
menyebut "ijazah palsu", ia ingin Deni merasa nyaman terlebih dahulu.
Deni mengamati Recky sejenak, lalu menghela napas.
"Masa lalu sudah jadi masa lalu, Nak. Tidak ada yang perlu dibicarakan
lagi."
"Mungkin bagi Bapak begitu, tapi tidak bagi
kebenaran, Pak Deni," Recky membalas, suaranya lembut namun penuh tekad.
"Kami tahu Bapak adalah salah satu kunci. Tentang dokumen-dokumen yang
disiapkan di Pasar Premedia. Tentang janji yang tidak ditepati. Ini bukan hanya
tentang Pak Wiwirana, Pak. Ini tentang integritas sistem kita."
Mendengar kata "Pasar Premedia" dan
"janji yang tidak ditepati", mata Deni terpicing. Ada kilatan amarah
dan kekecewaan di sana. Ia meletakkan ponselnya. "Duduklah," katanya,
menunjuk kursi di hadapannya.
Recky duduk, hatinya berdebar. Ia tahu, ini adalah
kesempatan langka.
"Jadi, Anda sudah tahu banyak," kata
Deni, suaranya berat. "Siapa yang memberitahu Anda? Bramastra?"
Recky mengangguk. "Ya, Pak Bram banyak
membantu. Beliau sangat khawatir tentang kondisi negara ini."
Deni terdiam sejenak, memandang cangkir kopinya.
"Bramastra itu orang lurus. Sayang, orang lurus seringkali kalah di dunia
politik." Ia menyesap kopi. "Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Semuanya, Pak Deni," jawab Recky.
"Dari awal. Bagaimana rombongan Negeri Solomon datang? Bagaimana Anda
bertemu Widakdos? Bagaimana ide pembuatan dokumen itu muncul? Dan terutama,
mengapa Anda bersedia melakukannya?"
Deni menghela napas panjang. Ia teringat kembali
hari-hari itu. Hari-hari penuh ambisi, di mana ia merasa akan mendapatkan
pengakuan yang selama ini ia impikan. Ia menceritakan bagaimana rombongan dari Negeri
Solomon, yang dipimpin oleh Widakdos, datang ke Pradanta Edo . Bagaimana Pras
kemudian menghubungkannya dengan Widakdos.
"Mereka datang tanpa dokumen, Recky,"
kata Deni, suaranya lirih. "Tidak ada ijazah, tidak ada surat nikah,
bahkan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Nol. Kosong."
Recky terkejut. "Sama sekali tidak ada? Bahkan
untuk persyaratan paling dasar?"
"Ya. Mereka minta dibuatkan satu paket.
Lengkap. Untuk maju Pilkada harus ada surat polisi, SKCK, surat bebas narkoba,
surat kesehatan, surat nikah. Semua itu mereka minta dibikinkan." Deni
meneguk kopi lagi. "Waktu itu mepet. Tidak ada waktu untuk mengurus semua
itu secara normal. Jadi mereka minta dipercepat."
"Dan Anda langsung memikirkan Pasar
Premedia?"
Deni mengangguk. "Saya tahu tempatnya. Ada
koneksi lama. Orang-orang di sana memang ahli. Saya memperkenalkan Widakdos
kepada mereka. Widakdos dan Isnaini, orang Negeri Solomon itu, yang
menindaklanjuti langsung dengan para pembuatnya. Saya hanya mendraft,
mengarahkan."
Ia menceritakan tentang Profesor Kertas dan Doktor
Stempel, tentang keahlian mereka dalam mereplikasi dokumen. Tentang betapa
sulitnya membedakan antara yang asli dan yang palsu jika dilihat sekilas.
"Dan untuk semua itu," lanjut Deni,
"Saya dijanjikan Direktur Utama Pasar Jaya. Bukan janji main-main, Recky.
Itu posisi yang dijanjikan langsung oleh Pak Wiwirana, melalui Mas Pras. Saya
merancang semua ini, agar mereka bisa lolos. Saya berjuang di tim
pemenangan."
"Tapi janji itu tidak ditepati," potong
Recky, merasa iba.
Deni menatapnya tajam, matanya berkilat.
"Tidak! Ketika Pak Wiwirana terpilih jadi gubernur, jabatan itu diberikan
kepada orang lain. Saya hanya ditawari komisaris. Saya menolak. Sampai
sekarang, saya tidak punya jabatan apa-apa. Saya di-PHP, Recky. Aku merasa
dikhianati oleh orang-orang yang dulu kuangkat."
Ada kesedihan yang mendalam dalam nada suaranya.
Deni, sang arsitek kebohongan, adalah korban dari kebohongan yang lebih besar:
janji politik. Ia adalah saksi hidup bagaimana kekuasaan bisa menghalalkan
segala cara, termasuk mengorbankan orang-orang yang berjasa di dalamnya.
"Jadi, Bapak yakin ijazah yang digunakan Pak
Wiwirana itu hasil produksi Pasar Premedia?" tanya Recky, memastikan.
Deni mengangguk. "Seratus persen. Tidak ada
keraguan sedikit pun. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba punya ijazah, punya
surat-surat itu semua, dalam waktu yang begitu mepet? Dan dengan semua
ciri-ciri yang disebutkan oleh Rai Satia dan kawan-kawan, itu hanya menguatkan
dugaan saya."
Ia kemudian menyebutkan nama Herubendo, adik ipar
Wiwirana, suami Hidayati, yang nikah dengan Anwar Usman. "Orang ini adalah
pemilik sah ijazah UGGMNN yang asli. Fotonya juga berbeda dengan Wiwirana.
Jadi, ketika ijazah dengan foto orang lain dianggap asli, itu kan aneh. Berarti
yang palsu itu Wiwirananya?"
Recky terdiam, memproses informasi yang begitu
besar ini. Pengakuan Deni adalah kepingan puzzle yang sangat penting. Ini bukan
lagi sekadar spekulasi. Ini adalah kesaksian dari orang dalam, orang yang
terlibat langsung.
"Lalu, bagaimana dengan kebakaran Pasar
Premedia?" tanya Recky.
"Itu misteri yang ingin saya percaya,"
jawab Deni, matanya menerawang. "Dua orang pelaku yang tertangkap di 2015
itu, yang ditangkap Polres Jakarta Pusat, mereka tahu banyak. Jika itu tidak
dibakar, kebenaran akan terbongkar lebih cepat. Api itu seperti mencoba
menghapus jejak, mengubur rahasia."
Recky merasakan gelombang tanggung jawab. Informasi
ini terlalu penting untuk disimpan. Ia harus menuliskannya, mengungkapkannya ke
publik. "Terima kasih, Pak Deni. Ini sangat berharga."
Deni hanya mengangguk, kembali memandang kosong ke
cangkir kopinya. Wajahnya terlihat letih, seolah beban rahasia yang ia pikul
selama bertahun-tahun kini sedikit terangkat. Namun, di matanya, masih ada
bayang-bayang pengkhianatan dan kekecewaan yang mendalam. Kebenaran, bagi Deni,
mungkin tidak akan pernah memberinya jabatan atau kekuasaan, tetapi mungkin
akan memberinya kedamaian.
Catatan:
Bab ini adalah titik krusial di mana Recky berhasil
menemukan Dani Mukidar dan mendapatkan kesaksian langsung yang sangat detail
tentang proses pembuatan dokumen palsu di Pasar Premedia, janji yang tidak
ditepati, dan kekecewaan Deni. Pengakuan Deni menguatkan banyak dugaan
Bramastra dan memberikan konteks lebih dalam pada peristiwa-peristiwa
sebelumnya, termasuk kebakaran Pasar Premedia. Bab ini juga menyebutkan
Herubendo, memperdalam misteri "foto orang lain" di ijazah.