Bagian 11: Bangkit dari Koma
Bagian 11: Bangkit dari Koma
Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap. Ketika kesadaranku perlahan
kembali, yang pertama kurasakan adalah rasa sakit yang menusuk di lengan
kananku. Lalu, bau obat-obatan yang khas rumah sakit. Aku membuka mata
perlahan, silau oleh cahaya lampu neon di langit-langit.
Wajah Umi adalah hal pertama yang kulihat. Matanya sembab, tapi ada
sorot kelegaan yang luar biasa. "Afrizal... nak..." bisiknya,
suaranya parau.
Aku mencoba tersenyum. "Umi..." Suaraku terdengar serak.
Umi langsung memelukku erat, tangisnya pecah. "Ya Allah, Nak... Umi
kira..." Dia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Bapak juga ada di sana, di samping Umi. Wajahnya terlihat lebih tua,
dengan kantung mata yang menghitam. Dia menepuk pundakku, air matanya menetes.
"Syukur, Nak, kamu selamat."
Aku mencoba menggerakkan lengan kananku, tapi rasa sakit yang tajam
membuatku meringis. Saat itulah aku menyadari perban tebal melilit lenganku,
dari bahu hingga siku. Dan ketika aku mencoba merasakan ujung tanganku, tidak
ada apa-apa. Jantungku mencelos. Ingatan tentang mesin giling, bisikan nenek
itu, dan putusnya tanganku, menyeruak kembali.
"Tangan... tanganku, Mi?" tanyaku, suara gemetar.
Umi dan Bapak saling pandang, raut wajah mereka berubah sedih. Umi
membelai kepalaku. "Sabar, Nak... sabar..."
Seorang dokter datang, menjelaskan kondisiku. Tanganku tidak bisa
diselamatkan. Proses amputasi sudah dilakukan untuk mencegah infeksi dan
komplikasi lebih lanjut. Aku mendengar penjelasannya dengan hati kosong.
Tanganku... anggota tubuhku yang selama ini menopang pekerjaanku, sudah tiada.
Meskipun hatiku hancur, aku bersyukur masih hidup. Aku melihat kembali
wajah Umi dan Bapak, dan menyadari betapa berharganya kesempatan kedua ini.
Mereka telah melewati masa-masa sulit, menjaga dan menungguku.
Selama masa pemulihan di rumah sakit, Ari dan Indra sering menjenguk.
Ari, yang biasanya tak percaya hal mistis, kini tampak lebih diam. Dia
menceritakan bagaimana ia dan Indra berusaha mencari tahu tentang nenek itu.
"Setelah kejadian lu, banyak yang ngelihat nenek-nenek di pabrik,
Jal," kata Ari. "Bahkan sampai ada beberapa karyawan yang keluar
karena ketakutan."
Indra menambahkan, "Pabrik itu memang udah lama kosong sebelum
dibuka lagi, Jal. Kata orang-orang sekitar, ada kejadian tragis di sana puluhan
tahun lalu. Ada seorang nenek-nenek pekerja yang tewas kecelakaan di mesin
giling yang sama dengan mesin yang lu operasikan."
Aku terdiam. Jadi, nenek itu adalah arwah pekerja yang tewas? Apakah dia
ingin balas dendam? Atau apakah dia hanya ingin aku merasakan apa yang dia
rasakan? Bisikannya, "Masukin tangan kamu," kembali terngiang di
telingaku. Itu adalah cara dia menarikku ke dalam nasibnya yang tragis.