Bagian 18 Epilog: Senyuman di Ujung Perjalanan
Epilog: Senyuman di Ujung Perjalanan
Beberapa tahun kemudian. Aku kini sudah menikah, dan memiliki seorang
putri cantik. Kehidupanku jauh dari hiruk pikuk pabrik tua itu. Aku masih
bekerja sebagai admin, namun dengan posisi yang lebih baik dan gaji yang lebih
layak.
Suatu malam, aku sedang menemani putriku tidur. Dia meminta diceritakan
kisah. Aku tersenyum, dan mulai bercerita. Bukan tentang putri-putri cantik
atau pangeran tampan, melainkan tentang seorang pemuda yang berjuang mencari
nafkah, tentang pabrik tua yang menakutkan, dan tentang sebuah tangan yang
hilang.
Aku menceritakan tentang nenek bergaun putih itu, tentang bisikannya,
dan tentang rasa sakit yang luar biasa. Namun, aku juga menceritakan tentang
keberanian, tentang dukungan keluarga, dan tentang bagaimana ia bangkit dari
keterpurukan.
Putriku mendengarkan dengan mata berbinar. "Apakah nenek itu jahat,
Ayah?" tanyanya polos.
Aku tersenyum tipis. "Ayah tidak tahu, Nak. Tapi Ayah belajar
banyak darinya. Ayah belajar bahwa hidup ini penuh misteri, dan kita harus
selalu berhati-hati. Ayah juga belajar bahwa bahkan dari hal yang paling
menakutkan sekalipun, kita bisa menemukan kekuatan dan pelajaran
berharga."
Setelah putriku tertidur pulas, aku bangkit dan berjalan ke jendela.
Bulan bersinar terang di langit malam. Aku memandang lenganku yang tidak utuh,
dan seulas senyum terukir di bibirku. Bekas luka itu adalah pengingat bahwa aku
pernah melalui masa yang sangat sulit. Tapi lebih dari itu, itu adalah
pengingat akan kekuatanku untuk bertahan, dan kemampuanku untuk bangkit
kembali.
Aku tidak lagi dihantui ketakutan. Aku telah menemukan kedamaian, dan
aku tahu bahwa kisahku, dengan segala suka dan dukanya, adalah bagian tak
terpisahkan dari siapa diriku sekarang. Sebuah kisah tentang jejak teror yang
berubah menjadi jejak harapan.