Demokrasi dan Transisi Kekuasaan: Stabilitas di Tengah Kerapuhan
Demokrasi dan Transisi Kekuasaan: Stabilitas di Tengah Kerapuhan
Oleh: Sumarta
Peneliti, Pegiat Tradisi dan Budaya
Diskusi
menyoroti fenomena seorang presiden atau pemerintah yang telah menjabat dua
periode dan ingin terus berkuasa, namun jika kalah dalam pemilu, hasil tersebut
dapat diterima tanpa gejolak berarti. Ini mengindikasikan adanya stabilitas pasca-pemilu yang patut diapresiasi,
meskipun pikiran kemerdekaan mungkin masih terasa "fragile" atau
rentan.
Fenomena
ini adalah cerminan kompleks dari dinamika politik. Di satu sisi, penerimaan
hasil pemilu, bahkan kekalahan, menunjukkan tingkat kematangan demokrasi dan
kepercayaan terhadap proses. Ini adalah fondasi penting bagi stabilitas politik
jangka panjang. Masyarakat dan elit politik tampaknya telah menerima aturan
main, di mana kekuasaan diperoleh dan dilepaskan melalui mekanisme konstitusional.
Ini berbeda dengan banyak negara lain di mana kekalahan pemilu seringkali
memicu kerusuhan atau krisis politik.
Namun,
istilah "fragile" dalam konteks pikiran kemerdekaan tetap menjadi
catatan penting. Mungkin ini mengacu pada potensi kerentanan terhadap isu-isu
populis, polarisasi, atau bahkan godaan untuk memanipulasi sistem di masa
depan. Kerapuhan ini bisa berasal dari kurangnya pendidikan politik yang
mendalam, atau ketidakmampuan masyarakat untuk sepenuhnya memahami hak dan
tanggung jawab mereka dalam sistem demokrasi. Jika stabilitas pasca-pemilu
hanya didasarkan pada kepatuhan pragmatis dan bukan pada pemahaman ideologis
yang kuat tentang nilai-nilai demokrasi, maka fondasi tersebut bisa rapuh di
kemudian hari.
Penting
untuk terus memperkuat institusi demokrasi, menjamin transparansi, dan
memastikan akuntabilitas. Edukasi politik yang berkelanjutan bagi seluruh
lapisan masyarakat juga krusial agar pikiran kemerdekaan menjadi semakin kokoh,
bukan hanya sekadar penerimaan hasil pemilu.
Krisis
Berpikir Logis dan Filosofis dalam Pendidikan
Permasalahan
mendasar kedua yang diangkat adalah kekurangan dalam cara berpikir,
logika, dan filosofi di kalangan generasi baru. Fokus pada pendidikan
kedokteran di hampir seluruh institusi dan universitas dianggap sebagai
kekeliruan, mengingat pentingnya kemampuan berpikir kritis dan analitis yang
seharusnya menjadi prioritas.
Kekurangan
ini adalah alarm serius bagi masa depan bangsa. Pendidikan yang terlalu
berorientasi pada aspek teknis atau praktis tanpa diimbangi dengan pengembangan
kemampuan berpikir kritis, logis, dan filosofis akan menghasilkan generasi yang
hanya mampu meniru atau menyerap informasi tanpa mampu mengolahnya secara
mendalam. Jika kita hanya mengandalkan Google atau sekadar "fotokopi"
pengetahuan, maka inovasi dan kemajuan sejati akan sulit tercapai.
Kemampuan
berpikir logis memungkinkan individu untuk menganalisis masalah,
mengidentifikasi kausalitas, dan merumuskan solusi yang efektif. Pemikiran
filosofis, di sisi lain, membantu individu mempertanyakan asumsi, memahami
nilai-nilai, dan mengembangkan pandangan dunia yang komprehensif. Tanpa
kemampuan ini, diskusi yang sehat tidak akan terjadi; keputusan akan didasarkan
pada emosi atau prasangka, bukan pada penalaran yang rasional.
Tanggung
jawab ini terletak pada seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan,
khususnya universitas. Kurikulum harus direformasi untuk menekankan mata kuliah
yang mendorong pemikiran kritis, seperti logika, filsafat, etika, dan ilmu
sosial humaniora. Metode pengajaran juga harus bergeser dari sekadar transmisi
informasi menjadi fasilitasi diskusi, debat, dan proyek-proyek yang membutuhkan
pemecahan masalah kompleks.
Keadilan
Sosial dan Persepsi Hukum: Antara Norma Legal dan Norma Sosial
Isu
ketiga yang muncul adalah ketidakselarasan antara norma hukum (legal
norm) dan norma sosial (social/moral norm), khususnya dalam kasus-kasus
yang melibatkan perempuan sebagai pelaku kekerasan. Penegakan hukum yang kaku,
tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan penderitaan yang melatarbelakangi
tindakan kriminal, dianggap sebagai kelemahan sistem peradilan.
Contoh
kasus seorang ibu yang membunuh suaminya setelah bertahun-tahun mengalami
penderitaan dan penelantaran adalah gambaran nyata dari kegagalan sistem untuk
melihat dimensi kemanusiaan. Respons "kita ikut saja law law di sini"
tanpa "perasaan sosial" menunjukkan bahwa para pengambil keputusan di
bidang hukum seringkali hanya melihat kasus dari kacamata hitam-putih
pasal-pasal, mengabaikan kompleksitas emosional dan sosial yang mendorong
seseorang melakukan tindakan ekstrem.
Ini
adalah masalah besar dalam sistem peradilan. Hukum memang harus ditegakkan
untuk menjaga ketertiban, namun keadilan sejati tidak hanya berarti penerapan
pasal-pasal secara mekanis. Keadilan juga berarti memahami akar masalah,
konteks, dan dampak sosial dari setiap keputusan hukum. Ketika norma legal
berdiri sendiri, terpisah dari norma sosial dan moral, ia kehilangan legitimasi
di mata masyarakat.
Penting
bagi para penanggung jawab keadilan, termasuk hakim, jaksa, dan aparat penegak
hukum lainnya, untuk memiliki kepekaan sosial yang
tinggi. Mereka harus dilatih untuk tidak hanya memahami hukum, tetapi juga
psikologi manusia, sosiologi, dan dampak sosial dari keputusan mereka. Perlu
ada ruang bagi pertimbangan mitigasi dan restoratif dalam sistem peradilan,
terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan korban kekerasan domestik atau
penderitaan jangka panjang.
Diplomasi
di Era Teknologi: Pertarungan Ide atau Transaksi Dagang?
Diskusi
mengenai diplomasi menyentuh transformasi drastis bidang ini di era teknologi.
Diplomasi, yang dulunya merupakan upaya untuk menghindari perang dan kekerasan
melalui akal budi, kini kehilangan hakikatnya karena efisiensi perang modern
yang difasilitasi oleh teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan drone.
Pertanyaan krusialnya adalah: apakah diplomasi masih tentang pertarungan
pikiran atau telah mereduksi dirinya menjadi sekadar alat untuk memfasilitasi
transaksi dagang?
Secara
historis, diplomasi adalah seni negosiasi, retorika, dan logika untuk
menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Namun, dengan munculnya teknologi perang
yang "efisien" dan "tanpa manusia," persepsi tentang perang
telah berubah. Perang kini bisa terjadi tanpa terlihatnya kombatan fisik di
medan laga, menjadikannya kurang "biadab" di mata sebagian orang,
sehingga urgensi diplomasi untuk mencegah kekerasan konvensional menjadi
berkurang.
Meskipun
demikian, ada penegasan bahwa diplomasi tetap menjanjikan karena kemampuan
untuk mengatakan "tidak" dengan dasar pemikiran yang logis tetap
esensial. Namun, kemampuan diplomasi kini semakin diambil alih oleh model
ekonometri, di mana interaksi diprediksi berdasarkan algoritma, mengurangi
ruang bagi negosiasi tatap muka dan pertarungan argumen yang substantif.
Dalam
konteks keamanan global, nilai diplomasi semakin terkikis. Namun, bagi
negara-negara baru atau kecil, seperti Timor Leste, diplomasi justru bisa
menjadi kekuatan utama. Mereka tidak memiliki kekuatan militer untuk bersaing
dengan negara-negara adidaya, sehingga kemampuan berdiplomasi menjadi
satu-satunya cara untuk mempromosikan kepentingan nasional dan menjaga
perdamaian. Konsep "small is beautiful" di sini berarti negara kecil
dapat menjadi suara moral yang menyerukan kembali pada diplomasi sebagai
"pertarungan pikiran" daripada deploy persenjataan.
Ambisi
banyak negara Asia, termasuk Indonesia, untuk memiliki uranium dan tenaga
nuklir mencerminkan filosofi kuno si vis pacem, para bellum
(jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang). Namun, dalam
konteks perang nuklir, ini menjadi absurd karena Mutual Assured Destruction
(MAD) – kemenangan berarti kehancuran bersama. Di sinilah peran negara kecil
seperti Timor Leste menjadi krusial: untuk menegur sistem pertikaian dunia dengan
mengingatkan kembali pada esensi diplomasi.
Kesimpulan:
Urgensi Refleksi dan Perubahan Paradigma
Saat ini, kita berada di
persimpangan krusial, di mana nilai-nilai fundamental
bangsa tengah diuji. Tantangan-tantangan yang muncul menuntut
refleksi mendalam dan perubahan paradigma di berbagai sektor.
Demokrasi yang
Kokoh
Stabilitas
pasca-pemilu memang patut diapresiasi, namun
ini tak cukup. Demokrasi kita harus diperkuat dengan pemahaman ideologis yang
mendalam tentang nilai-nilai dasarnya, bukan sekadar kepatuhan
pragmatis terhadap hasil. Tanpa fondasi ideologis yang kuat, stabilitas bisa
goyah di tengah gelombang populisme atau polarisasi.
Mendidik
Pemikir Kritis
Sistem pendidikan kita menghadapi
urgensi untuk direformasi. Fokus yang berlebihan pada aspek teknis telah
mengorbankan pengembangan kemampuan berpikir kritis,
logis, dan filosofis. Padahal, kemampuan inilah yang esensial
untuk melahirkan inovator dan pemecah masalah, bukan sekadar penyerap informasi
pasif.
Keadilan dengan
Hati Nurani
Dalam ranah keadilan sosial,
sistem peradilan kita perlu lebih peka terhadap dimensi sosial dan moral.
Penegakan hukum tak bisa hanya terpaku pada teks pasal. Para penegak hukum
harus dilengkapi dengan "perasaan sosial"
agar keputusan yang diambil tidak hanya sesuai aturan, tetapi juga mewujudkan
keadilan sejati yang mempertimbangkan konteks kemanusiaan.
Diplomasi
sebagai Perisai
Meskipun diplomasi tergerus oleh
efisiensi teknologi perang, perannya sebagai "pertarungan
pikiran" justru semakin krusial. Bagi negara-negara kecil
yang tak punya kekuatan militer besar, diplomasi adalah satu-satunya perisai
dan suara moral untuk perdamaian global. Mereka bisa menjadi lokomotif yang
menyerukan kembali pada dialog dan negosiasi.
Diperlukan perubahan paradigma yang holistik, di mana setiap keputusan tak hanya didasarkan pada akal sehat, tetapi juga dijiwai oleh empati dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Inilah saatnya bagi kita untuk membangun masa depan yang lebih kokoh, berlandaskan pada pemikiran kritis, keadilan yang berhati nurani, dan diplomasi yang sesungguhnya. Apakah kita, sebagai bangsa, siap untuk menerima tantangan ini dan bergerak maju?
Secara
keseluruhan, diskusi ini menyoroti pentingnya refleksi mendalam dan perubahan
paradigma di berbagai sektor. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan
cara-cara lama dalam menghadapi tantangan baru. Diperlukan keberanian untuk
mempertanyakan asumsi, mengembangkan pemikiran kritis, dan memastikan bahwa
setiap keputusan didasarkan pada kombinasi akal sehat, empati, dan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal.
Sumber:
Tulisan
ini diinspirasi dari https://www.youtube.com/@RockyGerungOfficial_2024
yang tayang tayang perdana pada 18 Jun 2025 dengan tema Momen Mantan Presiden
Timor Leste Xanana Gusmao Sindir Jokowi & Berani Bentak Rocky Gerung