Bagian 4: Teror Pertama di Balik Tumpukan Karung
Bagian 4: Teror Pertama di Balik Tumpukan Karung
Hari Rabu. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Aku pamit pada orang tua,
Umi berpesan, "Jangan macam-macam lu, ya." Aku mengiyakan, lalu
menjemput Ari dan kami berangkat.
Awalnya, kami ditugaskan membongkar barang. Truk-truk berisi
karung-karung menumpuk, dan kami, sekitar dua puluh orang, bahu-membahu
mengangkutnya. Pekerjaan ini terasa ringan karena dikerjakan bersama, diselingi
canda tawa. Dua hari berturut-turut, Rabu dan Kamis, kami sibuk menurunkan
barang.
Sore Kamis, Indra memanggilku. "Jal, besok lu kerjanya jangan di
sini, ya," katanya. "Besok gua taruh lu di bagian mesin."
Aku menurut saja, "Ya udah, mau taruh di mana juga gua mah oke aja
lah." Ari, temanku, masih di bagian bongkar barang. Aku pulang ke rumah,
bersiap untuk hari esok yang baru.
Jumat pagi, aku memulai pekerjaan di bagian mesin. Hanya berdua dengan
Robi, partner kerjaku yang sudah berpengalaman. Dia mengajariku mengoperasikan
mesin. Kami mengangkat barang ke mesin, lalu menurunkannya dari corong di bawah,
lalu memasukkannya lagi ke karung. Lelah, namun hari itu adalah Jumat.
Pukul sebelas, kami istirahat untuk Salat Jumat. Kami mencari masjid
terdekat. Sebelum Salat Jumat, badanku sudah terasa sangat lelah. Pulang dari
masjid, aku langsung tidur, tak sempat makan siang. Aku tidur di sela-sela
tumpukan karung, di atas palet.
Tak lama, sosok itu datang. Seorang nenek, bergaun putih, dengan bercak
darah kering di dadanya. Wajahnya putih dan keriput, rambutnya putih panjang
sepaha. Yang paling menakutkan, kukunya hitam dan panjang sekali. Aku sedang
tidur, dan tiba-tiba dia sudah di depanku. Dia langsung menindihku. Wajah kami
berhadapan, sangat dekat. Rasanya seperti mimpi, tapi nyata.
Dia berteriak di depan wajahku, sekuat tenaga. Aku ikut berteriak. Teriakan
itu ternyata nyata. Teman-temanku menghampiriku. Mereka melihatku terikat,
badan seperti diikat. Indra membangunkan aku.
"Lu kenapa?" tanyanya.
"Enggak kenapa-napa," jawabku, tetap tak ingin bercerita.
Aku pulang kerja jam lima sore. Di jalan, aku bercerita pada Ari tentang
mimpi nenek-nenek itu. Ari, yang memang tidak percaya hal-hal gaib, bilang,
"Alah, lu mah kecapekan. Udah, enggak usah yang aneh-aneh. Besok nih kita
hari Sabtu gajian."
Kami dibayar harian, tapi gajiannya mingguan, setiap hari Sabtu.
"Besok gajian, ya," aku mengulanginya, tapi pikiran tentang nenek itu
masih menghantuiku. "Sosok apaan sih sebenarnya?"
Malam Minggu, aku masih memikirkan kejadian itu. Kebetulan hari Minggu
aku libur. Aku kembali bekerja di hari Senin.