Bagian 6: Peringatan Umi dan Bisikan Mematikan

 Bagian 6: Peringatan Umi dan Bisikan Mematikan



Aku terbangun dari mimpi. Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul tiga pagi. Keringatku membanjir, bajuku basah kuyup. Tak lama, Umi mengetuk pintu. "Jal, lu kenapa, Jal?" katanya, suaranya cemas.

Aku membuka pintu. Aku masih menjawab, "Enggak apa-apa, Mi." Aku tidak ingin bercerita pada orang tuaku tentang mimpi-mimpi aneh ini. Aku hanya bisa bercerita pada Ari.

Aku mandi, masuk kamar, dan berganti baju. Ketika keluar kamar, Umi sudah menyiapkan sarapan: nasi goreng, kopi susu, dan air putih. Sembilan hari ke belakang, Umi belum pernah menyiapkan sarapan seperti itu. Biasanya, aku mengambil sendiri.

"Jal, tuh sarapan udah Umi siapin," kata Umi. "Dimakan."

"Iya, Mi," jawabku sambil bertanya-tanya dalam hati, "ada apaan sih?" Aku makan, masih memikirkan hal itu. Setelah selesai, aku bersalaman dengan Umi, mencium tangannya. "Mi, mau berangkat kerja, ya."

Tiba-tiba, Umi memelukku. "Kalau kerja tuh hati-hati, ya," pesannya. Aku menjawab singkat, "Iya, Mi." Dia menatapku saat aku naik motor dan pergi.

Aku sampai di pabrik, berganti pakaian, dan masuk ke ruangan produksi mesin. Rasanya seperti kemarin lagi. Baru mengangkat karung, badanku sudah pegal sekali. Pikiranku terasa kosong, seperti badanku di sini, tapi pikiranku entah di mana. Aku memaksakan diri bekerja dari Jumat pagi sampai jam tiga siang.

Robi, temanku, sampai berkata, "Jal, lu kalau sakit, pulang aja dah. Izin sama atasan. Muka lu pucat banget."

"Ah, entar juga pulang jam empat," jawabku.

"Enggak, maksudnya kalau lu kenapa-napa kan kita gimana," katanya lagi.

Kami melanjutkan pekerjaan. Pukul tiga setengah, kami istirahat untuk merapikan gudang sebelum pulang. Jam pulang kami adalah jam empat. Robi menyapu lantai yang berceceran sisa barang, mengumpulkannya ke tempat sampah. Aku bertugas membersihkan mesin.

Posisi mesin masih hidup. Baling-balingnya berputar kencang, agar barang bisa turun ke corong. Aku membersihkan sisa-sisa barang, menampungnya dengan plastik agar tidak berceceran di lantai. Aku bahkan menggebrak-gebrak mesin, badanku sudah sangat lemas. Aku hanya ingin cepat pulang.

Tiba-tiba, di samping kiriku, terdengar bisikan. Suara nenek-nenek itu jelas sekali, tapi terasa sangat dekat di gendang telingaku. Suara itu menyuruhku memasukkan tanganku ke mesin, ke corong itu.

"Masukin tangan kamu," bisik suara itu. "Masukin tangan kamu." Suaranya berat, suara nenek-nenek.

Entah mengapa, aku langsung terhasut. Aku ingin menyentuh baling-baling yang berputar di dalam. Aku mencoba memasukkan tanganku. Kejadian itu sangat singkat, mungkin sepersekian detik. Awalnya, aku memegang baling-baling, jari-jariku terjepit baling-baling dan corong mesin. Tangan kananku tertarik semua, masuk ke atas, sampai mentok di sini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel