Bagian 8: Perjalanan Menuju Harapan
Bagian 8: Perjalanan Menuju Harapan
Sopir membawa mobil seperti kesetanan. Kami melaju sangat kencang.
Sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh menit, kami sampai di rumah sakit.
Kami masuk ke UGD.
Baru saja aku diturunkan kepalaku, pihak rumah sakit berkata, "Mas,
waduh, Pak, maaf, Pak, di sini enggak ada alatnya, Pak. Tolong dibawa ke rumah
sakit yang lebih besar aja, karena di sini juga enggak ada ambulansnya."
Ari, temanku, marah-marah. Dia memohon-mohon pada pihak rumah sakit.
"Tolonglah, Pak, tolong, Pak, ini orang, Pak," katanya.
"Tolongin, Pak, tolongin."
"Mau gimana nolongin, ya, Pak, kita alatnya enggak ada," jawab
pihak rumah sakit.
Akhirnya, Ari ditarik oleh sopir. "Udah, udah, ayo, yuk, kita bawa
ke rumah sakit yang lebih besar," katanya. Kami naik lagi ke mobil.
Di situ, aku sudah pasrah. Aku sampai berbicara dalam hati saat keluar dari
rumah sakit itu, mencari rumah sakit yang lebih besar. "Ya Allah, kalau
emang nyawa saya sampai di sini, saya ikhlas banget. Kalau emang ini yang
terakhir buat saya, tolong jangan tetesin air mata, jangan apa lihatin saya air
mata orang tua saya itu sampai keluar." Aku berbicara seperti itu dalam
hati, karena perasaanku saat itu hanya kepada orang tuaku. Bagaimana kalau
orang tuaku melihat keadaanku seperti ini?
Rasa sakitnya? Seperti patah tulang, ditambah luka yang disayat-sayat.
Perihnya campur aduk.