Bagian 9: Senyuman Mengerikan dan Kehangatan Keluarga
Bagian 9: Senyuman Mengerikan dan Kehangatan Keluarga
Setelah pasrah, nenek-nenek itu tetap mengikutiku. Dia ada di belakang
Indra. Aku yang berada di bawah, melihat dia. Dia menatapku sambil tersenyum.
Senyumnya begitu girang. Aku tidak mempedulikannya. Bajunya sama seperti sosok
yang kulihat di pabrik, putih dengan bercak darah. Dia ruku', melihatku dari
bawah, sambil tersenyum. Rambutnya putih, yang terlihat adalah merah, bercak
merah di sini. Ditambah kukunya panjang, hitam. Bercak merahnya banyak, di baju
dan di mulutnya.
Aku tidak memikirkannya. Aku memikirkan diriku sendiri. Indra dan
teman-temanku menampari wajahku, "Lu sadar! Lu sadar! Jangan tidur! Jangan
tidur!"
Memang, di situ rasanya sangat mengantuk, ingin langsung mendengkur.
Indra terus menampari wajahku sepanjang jalan agar aku tidak tidur.
"Jangan ngorok! Jangan ngorok! Lu bisa, Jal, lu bisa, Jal, lu bisa!"
Indra bahkan meneteskan air mata. "Dikit lagi sampai kita, dikit lagi
sampai."
Saat itu pukul tiga setengah sore. Kami sudah dalam perjalanan. Rumah
sakit padahal hanya sembilan ratus meter lagi, sudah terlihat. Tiba-tiba, di
depan ada lampu merah. Kami menunggu, lebih dari dua menit. Rumah sakit sudah
terlihat di sana.
Kami menunggu lama. Ari, temanku yang duduk di samping sopir, berkata,
"Udah, ayo kita bawa aja yuk, kita gotong, kita bawa ke rumah sakit!"
Dia bilang begitu karena mobil tidak jalan, macet total di lampu merah. Posisi
kami paling belakang.
Sopir menenangkan kami. "Udah, jangan pada panik. Tenang, lu
tenang. Kalau kita bawa nih orang, si Rizal ini kita keluarin, entar yang ada
orang pada keluar semua, takut ada polisi juga, kita sangkanya
ngapa-ngapa."
Akhirnya, kami menunggu. Lampu hijau. Mobil melaju. Kami langsung masuk
ke UGD. Di sana, tanggapannya cepat. Aku langsung diurus, masuk ke ruang UGD.
Waktu itu, rasanya seperti orang yang mau meninggal. Dari ujung kaki
sampai ujung kepala, dingin semua. Di ranjang, aku bukan lagi goyang atau
menggigil, tapi sudah seperti orang kejang. Suster menghampiriku, panik.
"Kenapa ini, kenapa?" Dia berkata. Aku masih bisa mendengarnya. Dia
mengambil selimut, lalu memasangkan infusan. Aku masih bisa melihatnya.
Setelah itu, aku agak reda. Goyangan dan rasa menggigil sudah hilang,
hanya tinggal menggigil ringan. Setelah merasa lebih baik, suster pergi. Aku
menoleh ke kiri, sambil berbaring. Sosok nenek itu ada di sebelah kiriku,
dengan raut muka yang masih tersenyum seperti di mobil, menatapku terus.
Kemudian, aku menoleh ke kanan. Di samping kananku, ada kedua orang
tuaku. Umi dan Bapakku. Aku memejamkan mata, lalu membukanya lagi. Ada banyak
anggota keluargaku. Aku dikelilingi oleh mereka. Ibuku, Bapakku, kakekku yang
sudah meninggal, nenekku yang sudah meninggal, keluarga dari pihak Ibu,
keluarga dari pihak Bapak. Mereka semua ada di sana, baik yang almarhum maupun
yang masih hidup. Wajah mereka datar, tanpa ekspresi. Aku tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Aku menoleh lagi ke nenek-nenek yang tadi ada di sana. Dan
ternyata...