Masa Depan Pendidikan Tinggi, Kebebasan Akademik, dan Kolaborasi Komunitas sebagai Arah Baru Perguruan Tinggi di Abad ke-21

 

Masa Depan Pendidikan Tinggi, Kebebasan Akademik, dan Kolaborasi Komunitas sebagai Arah Baru Perguruan Tinggi di Abad ke-21

Oleh: Sumarta

Dosen dan Peneliti

IAI Padhaku Indramayu

 


Pendidikan tinggi di abad ke-21 sedang mengalami guncangan besar. Tidak hanya akibat kemajuan teknologi dan perubahan pasar kerja global, tetapi juga karena semakin meningkatnya ketegangan antara kebebasan akademik dan tekanan politik, serta ketidakmampuan banyak institusi pendidikan tinggi dalam merespons secara transformatif terhadap realitas sosial yang terus berkembang. Dalam sebuah diskusi panel pada tahun 2015 yang dikemas dalam forum The Future of Higher Education, sejumlah pemikir pendidikan, akademisi, dan pemimpin institusi mengangkat isu-isu penting yang kini tampaknya makin relevan, jika bukan makin genting.

Tulisan ini bertolak dari narasi forum tersebut untuk mengeksplorasi ide-ide kunci yang muncul: dari pentingnya menjadikan karya akademik sebagai sesuatu yang terlihat, dorongan membentuk “ruang ketiga” kolaboratif antara kampus dan komunitas, hingga urgensi mempertahankan dan menegaskan makna sejati kebebasan akademik. Kita akan menggali opini atas arah baru pendidikan tinggi yang lebih kolaboratif, demokratis, dan berakar kuat pada komunitas tempat kampus berada.

 

Pendidikan Tinggi Sebagai Ruang Eksperimen Sosial dan Inovasi Kolaboratif

Salah satu kisah paling mencolok dalam forum tersebut datang dari pengalaman 15 mahasiswa pascasarjana dari berbagai disiplin ilmu di lingkungan CUNY (City University of New York) yang diminta merancang kelas lintas bidang hanya dalam waktu 45 menit. Mereka bukan hanya berhasil merancang sebuah kelas, tetapi dalam prosesnya juga menciptakan model pendidikan yang benar-benar berbeda: partisipatif, kolaboratif, dan bersifat eksperimental.

Lebih dari itu, setiap minggu mereka menguji teori pendidikan baru yang kemudian diimplementasikan langsung dalam kelas mereka masing-masing. Salah satu eksperimen paling mengesankan datang dari seorang mahasiswa yang menugaskan mahasiswanya membawa lima orang yang belum pernah ke museum untuk datang ke pameran Kehinde Wiley di Brooklyn Museum of Art. Tak hanya berhasil, inisiatif ini mengubah museum menjadi ruang inklusi sosial, mempertemukan mahasiswa, komunitas lokal, dan seni dalam sebuah peristiwa publik yang bermakna.

Kisah ini bukan sekadar anekdot; ia adalah bukti hidup bahwa pendidikan tinggi bisa menjadi lokus transformasi sosial yang konkret, asalkan diberi ruang untuk berinovasi dan berkolaborasi di luar batasan-batasan birokratis dan kurikulum yang kaku.

 

Universitas Sebagai Institusi Pengikat Komunitas

Apa yang kemudian disebut oleh panelis sebagai kebutuhan untuk menciptakan third spaces atau "ruang ketiga" juga patut digarisbawahi. Ini adalah gagasan tentang menciptakan ruang fisik dan intelektual yang tidak semata-mata milik kampus atau milik komunitas, tetapi ruang bersama di mana keduanya saling menciptakan pengetahuan dan pengalaman.

Contoh ekspresif datang dari Express Newark, sebuah proyek seluas 50.000 kaki persegi di kota Newark, New Jersey. Di sana, universitas dan komunitas bekerja sama membangun collaboratory seni, media, dan narasi, khususnya untuk komunitas imigran baru. Dalam dunia yang makin terpolarisasi, model semacam ini menjadi oase yang menunjukkan bahwa kolaborasi lintas institusi dan komunitas bukan hanya mungkin, tetapi penting dan mendesak.

Sebagaimana disampaikan oleh salah satu narasumber, universitas harus mengambil peran sebagai anchor institution, institusi jangkar yang tidak berdiri di atas menara gading, tetapi benar-benar tertanam di dalam jaringan sosial, ekonomi, dan budaya tempat ia berada. Perguruan tinggi, dalam semangat ini, tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga agen pembangun masyarakat yang adil dan inklusif.

 

Menjadikan Karya Akademik Terlihat dan Terhubung

Poin penting lain yang mengemuka adalah kebutuhan untuk menjadikan karya akademik terlihat (visible). Dalam banyak kasus, karya mahasiswa dan dosen, terutama di bidang humaniora dan ilmu sosial, seringkali tetap tersembunyi di dalam jurnal akademik yang hanya dibaca oleh segelintir orang. Padahal, dampak nyata dari pengetahuan dan riset itu baru bisa terjadi ketika karya-karya tersebut tampil ke publik dan menjadi bahan dialog sosial.

Publikasi tidak boleh hanya dilihat sebagai ukuran kinerja dosen dalam sistem insentif akademik, tetapi juga sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan politik universitas untuk membagikan pengetahuan. Maka, pameran hasil kerja mahasiswa bersama masyarakat, seperti yang terjadi dalam showcase di Graduate Center, adalah contoh nyata bagaimana karya akademik dapat menjadi jembatan antar kelas sosial, antar generasi, dan antar pengalaman hidup.

 

Menolak Netralitas Institusional dan Memahami Arti Kebebasan Akademik

Salah satu bagian yang paling kuat dari forum tersebut adalah ketika diskusi beralih ke topik kebebasan akademik. Dalam nada yang tegas dan berani, Nancy Cantor dan panelis lainnya menyampaikan bahwa gagasan tentang netralitas institusional adalah ilusi dan bahkan bertentangan dengan esensi kebebasan akademik itu sendiri.

Dalam konteks universitas yang berlokasi di tengah komunitas yang menghadapi berbagai persoalan—rasisme, ketimpangan, perubahan iklim, ketidakadilan ekonomi—bersikap netral berarti membiarkan status quo berjalan tanpa koreksi. Sebaliknya, kebebasan akademik harus diartikan sebagai hak dan tanggung jawab untuk mengambil posisi kritis, untuk menyuarakan perspektif yang terpinggirkan, dan untuk menciptakan ruang diskusi yang terbuka bagi semua ide yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan etis.

Menariknya, Martin Luther King Jr. dalam Letter from Birmingham Jail menyebutkan academic freedom sebagai bagian dari praktik civil disobedience. Dalam bayangan King, kebebasan akademik bukanlah sekadar hak untuk berpikir dan mengajar, tetapi juga kewajiban moral untuk menantang ketidakadilan meski dengan risiko tertentu. Panelis lain menyambung pemikiran ini dengan menegaskan bahwa mempertahankan kebebasan akademik seringkali menuntut keberanian, dan bisa berbiaya tinggi, baik secara karier, sosial, maupun psikologis.

 

Kritik Terhadap Keseimbangan Semu: Tidak Semua Perspektif Perlu Dimoderasi

Salah satu kesalahan dalam narasi publik soal kebebasan akademik adalah anggapan bahwa semua sudut pandang harus diberi tempat yang sama, bahkan ketika satu di antaranya mendasarkan argumen pada penyangkalan fakta atau kebencian. Dalam forum tersebut, dikritisi keras praktik menyandingkan kebenaran ilmiah dengan pseudo-science atas nama “keseimbangan.”

Misalnya, dalam pengajaran soal kolonialisme, apartheid, atau genosida, beberapa pihak menuntut agar selalu ada perspektif “penyeimbang.” Padahal, tugas akademik adalah menginterogasi gagasan, bukan sekadar meletakkan dua posisi dan membiarkan siswa “memilih.” Mengkritisi kolonialisme bukan tindakan politis yang bias, tetapi tindakan ilmiah yang berbasis pada bukti, sejarah, dan metode akademik yang ketat.

 

Masa Depan Pendidikan Tinggi: Antara Harapan dan Tantangan

Pertanyaan pamungkas yang diajukan moderator forum itu sangat menggugah: kapan terakhir kali kita benar-benar merasakan kebebasan akademik yang terbuka dan didukung penuh? Pertanyaan itu sekaligus menjadi tantangan bagi kita semua: jika kebebasan akademik hari ini terancam, jika keterlibatan komunitas belum terwujud maksimal, jika karya-karya masih tersembunyi, maka siapa yang bertanggung jawab untuk mengubah itu semua?

Jawabannya adalah kita sendiri: mahasiswa, dosen, rektor, peneliti, masyarakat, dan pemangku kebijakan. Pilihan politik, arah kebijakan publik, dan sistem pendidikan yang kita bangun saat ini akan menentukan apakah perguruan tinggi tetap menjadi benteng kebebasan berpikir, atau berubah menjadi korporasi penjual gelar semata.

 

Menuju Universitas yang Terlibat dan Berani

Apa yang kita butuhkan bukan hanya kampus yang pintar, tetapi kampus yang berani. Kampus yang berani menampakkan karyanya ke publik. Kampus yang berani membangun kolaborasi dengan komunitas tanpa syarat. Kampus yang berani mempertahankan ruang-ruang kebebasan berpikir dan mengkritik. Kampus yang berani mengatakan bahwa netralitas adalah bentuk lain dari kepasifan terhadap ketidakadilan.

Dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi, polarisasi, dan ketimpangan, pendidikan tinggi tidak boleh hanya menjadi cermin masyarakat, tetapi harus menjadi cahaya yang menuntunnya. Dan untuk itu, pendidikan tinggi harus kembali ke akar terdalamnya: sebagai ruang pembebasan.

Catatan akhir: Artikel ini merupakan refleksi dan interpretasi bebas berdasarkan pidato dan diskusi dalam acara The Future of Higher Education di CUNY.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel