Menolak Bungkam, Merawat Harapan: Membayangkan Ulang Pendidikan Tinggi dalam Krisis
Menolak
Bungkam, Merawat Harapan: Membayangkan Ulang Pendidikan Tinggi dalam Krisis
Oleh: Sumarta
Dosen dan
Peneliti
IAI Padhaku Indramayu
Di tengah
derasnya arus disinformasi, pembatasan kebebasan akademik, serta politisasi
dunia pendidikan tinggi, muncul pertanyaan mendasar yang harus kita renungkan
bersama: Untuk apa sebenarnya universitas itu ada? Jika kebenaran tidak
lagi diperjuangkan, jika ilmu pengetahuan dikebiri atas nama kepentingan
politik, dan jika para pengajar tidak bisa lagi menyebut kata-kata seperti
"keadilan sosial", "perempuan", atau "kulit
hitam" tanpa risiko kehilangan pekerjaan, maka kita patut mempertanyakan,
apa esensi pendidikan?
Tulisan
ini merupakan sebuah opini reflektif dan optimistik—sekaligus penuh
kegelisahan—atas kondisi yang sedang melanda dunia pendidikan tinggi, terutama
di Amerika Serikat, namun resonansinya terasa global. Lewat kisah inspiratif
seperti "Hillmantok University" dan berbagai inisiatif pendidikan
alternatif, kita disodori harapan bahwa bahkan di tengah pembungkaman, masih
ada ruang untuk melawan, bertahan, dan membayangkan dunia yang lebih adil.
Krisis Kebebasan Akademik: Gejala dan Dampaknya
Kita
sedang menyaksikan kemunduran nyata dalam dunia akademik: ilmu vaksin dan
epidemiologi dipertanyakan, buku-buku dilarang, sejarah perbudakan dihapus dari
buku teks, dan bahkan kata-kata seperti “keadilan sosial” bisa menjadi alasan
pemecatan seorang pengajar. Fenomena ini bukan sekadar ironi dalam masyarakat
modern, tapi merupakan gejala berbahaya dari pembungkaman sistematis terhadap
kebebasan berpikir dan berekspresi.
Universitas
sebagai pilar demokrasi dan pencarian kebenaran ilmiah justru dilumpuhkan dari
dalam, melalui kebijakan politik yang oportunistik dan kontrol ideologis yang
semakin ketat. Jika para akademisi tidak lagi bisa mengatakan hal-hal yang
benar karena takut diberhentikan, lalu siapa yang akan menyuarakan kebenaran?
Hillmantok University: Perlawanan dari Dunia Maya
Dari
keprihatinan muncul kreativitas. Seorang dosen di North Carolina A&T State
University mengajar pengantar studi Afrika-Amerika dan membagikan silabusnya di
TikTok. Tak disangka, dari hanya 35 mahasiswa, kelas tersebut menarik empat
setengah juta orang dalam waktu singkat. Dosen-dosen lain pun ikut serta,
membuka kelas mereka secara cuma-cuma. Mereka menamainya “Hillmantok
University”, sebuah institusi imajiner yang terinspirasi dari serial A Different
World—namun sarat makna.
Inisiatif
ini menunjukkan bahwa keterbatasan bisa melahirkan inovasi. Ketika jalur formal
dipagari oleh sensor, jalur alternatif menjadi ruang resistensi. Namun, bahkan
platform seperti TikTok pun kini mulai melakukan shadow banning terhadap
pengajar-pengajar ini. Ini memperlihatkan bahwa ruang digital pun tak lepas
dari kendali kekuasaan. Maka, pertanyaannya bukan hanya bagaimana kita
mengakses pendidikan, tapi juga bagaimana kita melindungi medium untuk
menyebarkannya.
Imajinasi sebagai Tindakan Politik
Salah
satu kekuatan terbesar dalam menghadapi krisis ini adalah imajinasi. Imajinasi
bukan sekadar angan, tetapi tindakan politis yang memungkinkan kita melihat
dunia yang lebih baik, bahkan ketika dunia sekarang sedang runtuh. Seperti yang
dikatakan oleh salah seorang narasumber, “Nenek moyang saya yang diperbudak
harus membayangkan kebebasan sebelum mereka mencapainya.”
Itulah
kekuatan imajinasi: membayangkan hal-hal yang belum ada seolah-olah sudah
nyata, lalu bekerja keras untuk mewujudkannya. Dalam konteks pendidikan, ini
berarti membayangkan kurikulum yang tidak dikontrol oleh kekuasaan politik,
sistem pengajaran yang kolaboratif, serta institusi yang inklusif terhadap
semua golongan.
Kolaborasi sebagai Bentuk Perlawanan
Krisis
pendidikan bukan hanya soal pendanaan atau kebijakan, tetapi juga soal
solidaritas. Dunia akademik selama ini terlalu kompetitif—antar universitas,
antar fakultas, bahkan antar dosen. Padahal, saat ini kita justru membutuhkan
kolaborasi lintas institusi, lintas disiplin, dan lintas komunitas.
Contoh
terbaik datang dari aliansi nasional yang menghimpun 590 rektor universitas
untuk memperjuangkan hak-hak mahasiswa imigran. Tak satu pun dari mereka bisa
melawan kebijakan diskriminatif sendirian. Tetapi bersama, mereka membentuk
kekuatan kolektif yang mampu menekan perubahan.
Semangat
kolaborasi ini juga tercermin dalam banyak inisiatif pendidikan alternatif,
seperti kelas gratis yang diadakan di taman-taman New York oleh profesor yang
dipecat karena mengajarkan hukum hak sipil. Ini adalah bentuk perlawanan yang
konkret, yang tidak menunggu perubahan dari atas, tetapi memulainya dari
bawah—dari komunitas, dari solidaritas.
Membaca Kembali Visi Pendidikan Tinggi
Ketika
politik mulai mencengkeram dunia pendidikan, satu cara untuk melawan adalah
dengan kembali kepada akar: apa misi dan visi institusi pendidikan tinggi sejak
awal? Banyak kampus besar berdiri dengan semangat mencerdaskan masyarakat,
mendorong keadilan, dan membuka akses terhadap pengetahuan. Nilai-nilai ini
harus terus dijaga dan diperjuangkan, bahkan ketika dihadapkan pada tantangan
politis.
Institusi
yang sehat tidak sekadar melahirkan lulusan, tetapi membentuk warga negara yang
kritis, kreatif, dan berani menyuarakan kebenaran. Jika akreditasi dan
pendanaan kini dijadikan alat untuk mengontrol isi pengajaran, maka sudah
saatnya dunia akademik bersatu untuk mempertahankan “cerita
penciptaannya”—nilai-nilai dasar yang telah menjadi fondasi sejak mula.
Membayangkan Ulang Masa Depan Pendidikan
Masa
depan pendidikan tinggi tidak harus mengikuti pola yang lama. Kita bisa, dan
harus, membayangkannya ulang. Bukan sebagai institusi eksklusif yang hanya
dapat diakses oleh segelintir orang, tetapi sebagai ruang terbuka yang
menghubungkan komunitas dengan ilmu pengetahuan. Pengajaran tidak harus terjadi
di ruang kelas formal—ia bisa hadir melalui video, puisi, lagu, pertunjukan,
atau dialog daring yang inspiratif.
Pendidikan
masa depan adalah pendidikan yang inklusif, adaptif, dan partisipatif. Ini adalah
pendidikan yang tidak hanya mengejar nilai akademis, tetapi juga nilai
kemanusiaan. Hillmantok University hanyalah salah satu contoh dari banyak
kemungkinan yang bisa kita ciptakan, jika kita cukup berani dan kreatif untuk
mencobanya.
Membangun dari Reruntuhan
Kita
hidup di tengah sistem pendidikan yang sedang retak. Namun seperti kata
pepatah, dalam setiap krisis terdapat peluang. Sejarah membuktikan bahwa saat
krisis melanda, sering kali muncul lompatan besar. Lihat saja bagaimana Morrill
Act selama Perang Saudara melahirkan universitas-universitas negeri, atau
bagaimana pasca-McCarthyisme melahirkan gelombang pemikiran progresif di
kampus-kampus.
Hari ini,
kita kembali dihadapkan pada tantangan besar. Tapi ini juga berarti, kita punya
kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru—lebih adil, lebih terbuka, dan
lebih bermakna. Tapi untuk itu, kita perlu membuang ego sektoral, melepaskan
kecintaan pada status quo, dan bekerja sama untuk merancang masa depan yang
lebih baik.
Pendidikan sebagai Tindakan Kemanusiaan
Dalam
dunia yang terus berubah—seringkali ke arah yang lebih represif—pendidikan
tidak boleh tunduk pada kekuasaan, tetapi justru menjadi alat untuk
membebaskan. Kita tidak bisa membiarkan politik membatasi apa yang boleh dan
tidak boleh diajarkan. Kita tidak boleh membiarkan universitas kehilangan
jiwanya sebagai tempat mencari kebenaran.
Untuk
itu, kita butuh imajinasi, kolaborasi, dan keberanian. Kita harus terus
membangun ruang-ruang pendidikan yang bebas, baik di kampus, di taman, maupun
di platform digital. Karena pendidikan adalah tindakan kemanusiaan. Dan selama
kita masih percaya pada nilai-nilai kemanusiaan, maka kita punya alasan untuk
terus memperjuangkannya.
Seperti
yang dikatakan oleh seorang narasumber dalam forum ini: “Kita harus melihat
kebebasan dalam pikiran kita sebelum kita bisa menciptakannya dalam realitas.”
Maka mari kita bayangkan, bangun, dan pertahankan kebebasan itu bersama.
Catatan
akhir: Artikel ini merupakan refleksi dan interpretasi bebas berdasarkan pidato
dan diskusi dalam acara The Future of Higher Education di CUNY.