Perjalanan Batin Sang Sunan: Kegelisahan di Tengah Kegelapan
Perjalanan Batin Sang Sunan: Kegelisahan di Tengah Kegelapan
Bayangkan sebuah malam ketika hutan menahan napasnya sendiri, diselimuti
oleh keheningan pekat yang membius. Di tengah gelapnya Alas Mentaok,
sebuah rimba legendaris yang membentang misterius, Sunan Kalijaga berjalan
seorang diri. Langkahnya teratur, namun jiwanya dipenuhi sebuah kegelisahan
yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun.
Sudah bertahun-tahun lamanya ia berdakwah. Dari desa ke desa, dari
pesisir hingga pedalaman, ia telah menjadi tonggak syariat. Ia mengajarkan
wudu, salat, zakat, dan berbagai hukum agama dengan tekun, membangun fondasi
keimanan yang kokoh di tanah Jawa. Banyak orang yang menerima ilmunya; banyak
yang bertobat dan berubah menjadi lebih baik di bawah bimbingannya. Di mata
umat, ia adalah salah satu dari Wali Songo yang
agung, seorang penyebar Islam dengan metode yang lembut dan mengakar pada
budaya lokal.
Namun, di balik semua keberhasilan dan pujian itu, ada sebuah ruang
kosong dalam hatinya yang tidak pernah terisi. Ia melaksanakan ibadahnya dengan
konsisten, tirakatnya tak pernah putus, tetapi selalu terasa ada pintu yang
belum terbuka. Ia merasa seolah hanya menyentuh kulit luar dari agama, sebuah
pemahaman yang, meski benar secara lahiriah, masih kurang substansi batiniah.
"Apakah selama ini aku hanya memahami syariat tanpa hakikat?"
pertanyaan itu terus menghantuinya. Kegelisahan spiritual ini, yang makin lama
makin tajam menusuk hatinya, adalah alasan utama mengapa malam itu ia memilih
menyendiri di Alas Mentaok.
Ia datang ke sini bukan untuk melarikan diri dari tugas dunia, melainkan
untuk mencari jawaban. Selama beberapa hari, ia telah melakukan tirakat yang
ketat: tidak banyak bicara, tidak banyak bergerak, hanya duduk merenung, dan
menyimak suara batinnya sendiri. Namun, semakin lama ia tenggelam dalam sunyi,
semakin besar rasa gundah itu tumbuh. Ia haus akan kedalaman, mendambakan
pemahaman yang berakar dari kedalaman hati, bukan sekadar hafalan dan ritual.
Ia butuh sebuah petunjuk untuk membuka tabir tersembunyi yang selama ini
memisahkan dirinya dari kebenaran sejati (al-haq).
Saat ia berhenti di sebuah tanah lapang kecil, angin malam bergerak
pelan menyentuh wajahnya. Dingin yang menusuk tulang tak seberapa dibandingkan
dengan kerinduan hatinya akan bimbingan. Di saat itulah, sebuah keajaiban sunyi
terjadi. Sebuah cahaya kecil, lembut, dan bergetar pelan, tiba-tiba muncul di
antara pepohonan. Cahaya itu bergerak pelan, seolah memanggil namanya, memandu
langkahnya. Ia tidak tahu, cahaya itu akan membawanya bertemu sosok agung yang
telah menjaga tanah Jawa sejak zaman para leluhur—sosok yang akan membuka
rahasia tentang agama sejati, rahasia yang bahkan para wali jarang sekali
mendengarnya. Malam itu, di Alas Mentaok, semuanya akan terungkap. Perjalanan
batin sang Sunan baru saja dimulai.
Kontributor: Akang Marta
