Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Cahaya Pemandu: Gerbang Menuju Hakikat
Perjalanan Batin Sang Sunan Bagian Cahaya Pemandu: Gerbang Menuju Hakikat
Cahaya itu sangat lembut, bergetar pelan, seakan menari dalam kepekatan
malam. Kalijaga menatapnya dengan penuh waspada. Dalam sunyi yang pekat, cahaya
sekecil itu terlihat begitu hidup, begitu berenergi, seperti memiliki maksud
dan tujuan tertentu. Ini bukan kunang-kunang, bukan pula cahaya lentera dari
pemburu yang tersesat. Cahaya ini terasa ilahi, sebuah manifestasi dari
petunjuk yang ia mohonkan dalam tirakatnya.
Hatinya berdebar, tetapi bukan karena takut. Debaran itu adalah
resonansi dari sebuah kepastian batin. Ia merasa cahaya itu adalah bagian dari
jawaban yang selama ini ia cari. Selama tirakatnya, ia sering memohon petunjuk
kepada Tuhan agar dibukakan jalan menuju pemahaman yang lebih dalam, pemahaman
yang melampaui batas syariat dan memasuki dimensi hakikat. Dan kini, seolah
Allah menjawab doa itu melalui kilau kecil yang menggantung di udara malam.
Ia mengikuti cahaya itu tanpa ragu. Setiap langkah terasa seperti
langkah menuju sebuah kebenaran yang telah menunggu sejak lama. Ia tidak tahu
apa yang akan ia temui, tidak tahu siapa yang menuntunnya, tetapi ia yakin
bahwa perjalanan malam ini bukanlah perjalanan biasa. Cahaya itu bergerak lebih
jauh, melayang rendah, memandu jalan. Gerakannya tenang, tidak tergesa-gesa,
memberi kesempatan bagi Kalijaga untuk menjaga ritme dan menyadari setiap
pijakan kakinya.
Langkahnya memasuki bagian hutan yang lebih lebat. Suara malam semakin
tenggelam, digantikan oleh keheningan yang dipenuhi kehadiran tak terlihat.
Dedaunan yang biasanya bergoyang oleh angin kini diam seperti lukisan. Tanah
yang ia pijak terasa lebih ringan, seolah ada energi halus yang menyapunya.
Kalijaga menelan ludah. Ia merasakan bahwa ini bukan sekadar perjalanan fisik;
ini adalah perjalanan batin yang membawanya menuju sesuatu yang sangat tua,
sangat besar, dan mungkin sangat mulia.
Ketika ia semakin dekat, cahaya itu perlahan memudar, meredup agar Kalijaga
bisa melihat sesuatu yang lebih besar di baliknya. Ia berhenti sesaat,
menstabilkan napasnya, mencoba memastikan bahwa ini bukan sekadar halusinasi
akibat tirakat panjang. Namun, heningnya hutan, tenangnya angin, dan perasaan
yang tiba-tiba hadir di dadanya menegaskan bahwa cahaya itu nyata dan ia pasti
memiliki tujuan.
Cahaya kecil itu kembali muncul di kejauhan, kali ini lebih terang,
lebih stabil, seakan sengaja menunggu dirinya mendekat. Kalijaga mempercepat
langkahnya, tetapi tetap menjaga kewaspadaan. Cahaya itu akhirnya berhenti di
depan sebuah area lapang yang tampak berbeda dari bagian hutan sebelumnya.
Pohon-pohonnya lebih renggang, udaranya terasa lebih hangat, dan ada ketenangan
yang sangat dalam—seperti sebuah ruang yang disiapkan khusus untuk sebuah
pertemuan suci yang tidak boleh sembarangan disaksikan manusia.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati. Tiba-tiba, cahaya itu berhenti
bergerak dan melayang diam di udara, memancarkan kilau lembut sebelum perlahan
memudar hingga hilang sepenuhnya. Namun, tak lama setelah cahaya itu padam,
sesuatu yang lain mulai tampak.
Di tengah area lapang itu, Kalijaga melihat sebuah siluet kecil duduk
membelakanginya. Siluet itu tidak bergerak, tetapi auranya begitu kuat sehingga
hutan di sekitarnya terasa menunduk. Sosok itu berperut buncit dan dikelilingi
cahaya samar—bukan cahaya yang menyilaukan, tetapi cahaya yang menghangatkan
dan memancarkan wibawa yang luar biasa. Kalijaga terpaku. Perasaan hormat,
takut, penasaran, dan keyakinan bercampur aduk. Ia tahu, langkahnya telah
memasuki wilayah yang berbeda, wilayah yang menyimpan rahasia besar. Cahaya
kecil itu hanyalah gerbang pertama dari perjalanan batin yang akan mengubah
hidupnya selamanya.
Kontributor: Akang Marta
